Penyakit Septicemia Epizootica (SE)

Sinonim : Penyakit ngorok, Septicemia hemorrhagica, Hemorrhagic septicemia, Borbone

A. PENDAHULUAN

Penyakit Septicemia epizootica (SE) atau ngorok adalah suatu penyakit infeksi akut atau menahun pada sapi dan kerbau. Yang terjadi secara septikemik. Penyakit ini terjadi juga pada jenis ternak yang lain seperti pada onta, kambing, domba, babi dan kuda. Sesuai dengan namanya, pada kerbau dalam stadium terminal akan menunjukkan gejala ngorok (mendengkur), disamping adanya kebengkakan busung pada daerah-daerah submandibula dan leher bagian bawah.

Penyakit SE menyebabkan kerugian besar karena dapat menyebabkan kematian, penurunan berat badan, serta kehilangan tenaga kerja pembantu pertanian dan pengangkutan. Selain itu peternak sering terpaksa harus menjual ternaknya di bawah harga untuk dipotong termasuk di antaranya yang masih berguna bagi peternakan untuk menghindari kerugian akibat kematian ternak.

B. ETIOLOGI

Penyakit ngorok atau SE disebabkan oleh Pasteurella multocida serotype 6B dan 6E menurut klasifikasi Namioka dan Mlirata. Type B dikenal sebagai type I pada klasifikasi Carter dan biasanya diisolasi di Asia, sedang type E biasanya terisolasi di Afrika.

Dengan pewarnaaan Giemsa atau Methylene Blue, organisme penyebab penyakit ini terlihat berukuran relatif kecil, berbentuk kokoid dan bipolar bila diwarnai dengan Giemsa Wright atau karbol fuchsin. Bersifat Gram negatif, tidak membentuk spora, non motil dan berselubung (kapsul) yang lama kelamaan dapat hilang karena penyimpanan yang terlalu lama.

Bentuk koloni tidak selalu seragam, tergantung pada berbagai faktor, antara lain macam media yang digunakan, umur bakteri dalam penyimpanan, frekwensi pemindahan bakteri dan sebagainya. Koloni bakteri yang baru diisolasi dari hewan sakit atau hewan percobaan biasanya bersifat mukoid, dan lama- kelamaan berubah menjadi smooth atau rough. Bakteri Pasteurella multocida membebaskan gas yang berbau seperti sperma.

C. EPIDEMIOLOGI

1. Spesies rentan

Telah diketahui bahwa bakteri bersifat saprofit pada hewan yang menjadi inang. Hewan-hewan tersebut akan menjadi pembawa (carier) penyakit dan mungkin akan menjadi sumber penularan bagi hewan lain yang rentan. Di negara lain telah dilakukan penelitian dan diketahui bahwa Pasteurella dapat menginfeksi babi (48%), sapi (80%), tonsil anjing (85%), rongga hidung anjing (10%), gusi kucing (90%) dan tenggorokan manusia (3%).

Selain itu bakteri telah pula diisolasi dari kelinci, burung dara, burung pelican, kuda, kambing, domba, rusa, tikus, kanguru, ayam dan itik.

Berdasarkan penghitungan LD 50 dengan galur kupang, waktu derajat kerentanan hewan mulai dari yang paling rentan adalah kelinci, mencit, burung perkutut, burung merpati dan marmut. Ayam dan itik bersifat resisten.

2. Pengaruh Lingkungan

Penyakit SE ditemukan disebagian besar wilayah Indonesia, dan negara lainnya, kecuali Australia, Oceania, Amerika Utara, Afrika Selatan dan Jepang. Kebanyakan wabah bersifat musiman, terutama pada musim hujan. Secara sporadik penyakit juga ditemukan sepanjang tahun. Selain itu ditambah faktor predisposisi seperti kelelahan, kedinginan, pengangkutan, anemia dan sebagainya. Ekskreta hewan penderita (saliva, kemih dan feses) dapat mengandung bakteri Pasteurella. Bakteri yang jatuh di tanah, apabila keadaan sesuai untuk pertumbuhan bakteri (lembab, hangat, teduh) akan tahan kurang dari satu minggu dan dapat menulari hewan-hewan yang digembalakan di tempat tersebut. Tanah tidak lagi dianggap sebagai reservoir permanen untuk bakteri Pasteurella, ada kemungkinan bahwa insekta dan lintah dapat bertindak sebagai vektor.

3. Sifat Penyakit

Pada SE dikenal tiga bentuk yaitu, bentuk busung, pektoral dan intestinal.

a. Bentuk Busung

Ditemukan busung pada bagian kepala, tenggorokan, leher bagian bawah, gelambir dan kadang-kadang pada kaki muka. Tidak jarang pula terjadi pada bagian alat kelamin dan anus. Derajat kematian bentuk ini tinggi sampai mencapai 90% dan berlangsung cepat (hanya 3 hari, kadang-kadang sampai 1 minggu). Sebelum mati, terutama pada kerbau terjadi gangguan pernafasan ditandai sesak nafas (dyspnoe) dan suara ngorok merintih dan gigi gemeretak.

b. Bentuk Pektoral

Ditandai dengan bronchopneumoni dan dimulai dengan batuk kering dan nyeri. Kemudian terdapat eksudat di hidung, pernafasan cepat dan basah. Proses berlangsung lama antara 1-3 minggu. Penyakit yang bersifat kronis ditandai dengan hewan menjadi kurus, batuk, nafas dan nafsu makan terganggu, terus mengeluarkan air mata, suhu tidak berubah, terjadi diare yang bercampur darah, kerusakan pada paru, bronchi dan pleura.

c. Bentuk Intestinal

Bentuk intestinal merupakan gabungan dari bentuk busung dan bentuk pektoral.

4. Cara Penularan

Diduga sebagai pintu gerbang infeksi bakteri ke dalam tubuh hewan adalah daerah tenggorokan (tonsil region). Hewan sehat akan tertular oleh hewan sakit atau pembawa melalui kontak atau melalui makanan, minuman dan alat yang tercemar. Ekskreta hewan penderita (Iudah, kemih dan feses) juga mengandung bakteri.

Pada babi, SE banyak yang berbentuk sebagai gangguan pernafasan dengan gejala batuk Iebih menonjol. Penularan melalui udara oleh penderita Iebih mudah terjadi, apalagi kalau babi tersebut makan dan minum dari tempat yang sama. Timbulnya SE pada babi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor predisposisi. Seperti pada kerbau dan sapi, ekskreta penderita juga mengandung bakteri.

C. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala klinis

Gejalanya tidak banyak terlihat, tetapi Iangsung timbul kematian yang mendadak. Hewan yang terserang biasanya menderita demam tinggi, tidak mau makan, diare, dan feses berdarah Kebengkakan dan busung terlihat di kepala, bagian bawah dada dan kaki atau pangkal ekor.

Lesi di kerongkongan mengakibatkan sesak nafas dan kesulitan menelan. Hewan yang menderita penyakit ini sangat tertekan dan murung, kematian dapat terjadi antara 1-2 hari setelah terjadi gejala.

Penyakit ini dapat berlangsung menahun, pada hewan muda angka kematian tinggi, terjadinya kematian adalah karena pelepasan endotoksin oleh bakteri sehingga terjadi toksemia atau tercekik.

2. Patologi

Lesi yang menonjol adalah busung pada daerah kepala, kerongkongan dan dada. Kelenjar limpe membengkak, terjadi perdarahan bawah kulit, usus dan jantung serta terdapat cairan kuning pekat dirongga dada. Paru terjadi peradangan brochopneumonia dengan jaringan yang kenyal dan bila menjadi menahun dapat timbul abses.

Pada bentuk busung terIihat busung gelatin disertai perdarahan dibawah kulit dibagian kepala, leher, dada dan sekali-sekali meluas sampai bagian belakang perut. Busung gelatin juga dapat dijumpai di sekitar pharynx, epiglotis dan pita suara. Lidah seringkali juga membengkak dan berwarna coklat kemerahan atau kebiruan dan kadang menjulur keluar, selaput lendir saluran pernafasan umumnya membengkak dan kadang-kadang disertai selaput fibrin. Kelenjar limfe retropharingeal dan cervical membengkak. Rongga perut kadang-kadang berisi beberapa liter cairan bening berwarna kekuningan atau kemerahan.
Gambar 1. Submandibula  sapi.  Terjadi  pembengkakan  dan  perdarahan multifokal pada subkutan/selaput fascia yang cukup parah. (Sumber : http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/clinical-signs-photos.php?name=hemorrhagic-septicemia)
Pada bentuk pektoral terlihat pembendungan kapiler dan perdarahan di bawah kulit dan dibawah selaput lendir, pada pleura terlihat perdarahan titik (ptekie) dan selaput fibrin tampak pada permukaan alat-alat visceral dan rongga dada. Juga terlihat gejala busung berbentuk hidrothoraks, hidroperikard dengan cairan yang kering berfibrin. Paru-paru menderita bronchopneumonia berfibrin atau fibronekrotik. Bagian paru-paru mengalami hepatisasi dan kadang-kadang konsisten agak rapuh. 
Gambar 2. Terdapat banyak bintik ptechie pada epikardium jantung sapi (Sumber : http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/clinical-signs- photos.php?name=hemorrhagic-septicemia)
Bidang sayatan paru-paru beraneka warna karena adanya pneumonia berfibrin, bagian nekrotik, sekat interlobuler berbusung dan bagian-bagian yang normal, kelenjar limfe peribronchial membengkak. Epikardium menunjukkan adanya perdarahan yang tdk merata/ptekie.

3. Diagnosa

Kejadian penyakit di daerah endemik mudah dikenali. Di daerah non endemik untuk diagnosa yang pertama memerlukan isolasi organisme dan penentuan serotypenya, agar dapat dipastikan agen penyebabnya. Infeksi oleh serotype yang lain lebih banyak mengakibatkan jejas di paru. Peneguhan diagnosa penyebab penyakit dengan isolasi dan identifikasi organisme diperlukan spesimen darah, paru, hati dan limpa yang dikirim secepatnya ke laboratorium dalam keadaan segar dingin. Apabila hewan telah mati selama lebih dari 8 jam dapat diupayakan dengan rnengirimkan potongan tulang panjang yang masih utuh.

4. Diagnosa Banding

Apabila busung tidak jelas terlihat, SE dapat dikelirukan dengan anthraks atau rinderpest. Pada SE tidak ditemukan perdarahan yang berwarna hitam serupa seperti halnya pada anthraks. Selain dari gejala-gejala klinisnya SE dapat dibedakan dari Rinderpest, karena pada SE tidak terdapat radang usus yang bersifat krupus difteritis, dan nekrose pada jaringan limfoid.

Diagnosa banding yang lain adalah pada kejadian gas ganggrene dan gigitan ular.

D. PENGENDALIAN

1. Pengobatan

Pengobatan dapat dilakukan dengan penyuntikan streptomisin sebanyak 10 mg secara IM atau kioromisitin, terramisin dan aureumisin sebanyak 4 mg tiap kg berat badan secara IM.

Preparat sulfa seperti sulfametasin 1 gram tiap 7,5 kg berat badan dapat membantu penyembuhan penyakit.

2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan a. Pelaporan

Laporan kepada Kepala Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan kesehatan hewan setempat, mengenai kejadian timbulnya penyakit SE termasuk tindakan-tindakan sementara yang telah diambil.

Bila dipandang perlu menyarankan kepada Bupati, Walikota setempat untuk mengeluarkan surat keputusan tentang penutupan daerah dan pembatasan lalu lintas ternak didalam wilayahnya. Sementara itu tindakan-tindakan perlu dilakukan berdasarkan peraturan-peraturan yang berlaku.

b. Pencegahan

Untuk daerah bebas SE tindakan pencegahan didasarkan pada aturan yang ketat terhadap pemasukan hewan ke daerah tersebut. Untuk daerah tertular, hewan sehat divaksin dengan vaksin oil-adjuvant, sedikitnya setahun sekali dengan dosis 3 ml IM. Vaksinasi dilakukan pada saat tidak ada kejadian penyakit.
Pada hewan tersangka sakit dapat dipilih salah satu dan perlakuan sebagai berikut :

(1) Penyuntikan antiserum dengan dosis pencegahan;
(2) Penyuntikan antibiotika;
(3) Penyuntikan kemoterapeutika.

c. Pengendalian dan Pemberantasan

Pengendalian hanya bisa dilakukan dengan pemberian vaksinasi. Vaksin untuk penyakit ini tersedia dan diproduksi oleh Pusat Veterinasia Farma (Pusvetma).

Hewan menderita SE dapat dipotong di bawah pengawasan dokter hewan dan dagingnya dapat dikonsumsi. Jaringan yang ada jejasnya terutama paru harus dibuang dan dimusnahkan.

Karkas yang sangat kurus karena penyakit yang berjalan menahun dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur.


F. DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc Rahway, New Jersey, USA.

Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition.

Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.

Direktur Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta Indonesia.

Kementan, 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia

Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University Press Ames.

Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.

Radostids OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailiere Tindall. London England.

Sewell M M H Brochlesby D W 1990. Animal Disease In The Tropic. 4th Edition. Baillere Tindall.

Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier Science, St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.

Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.

Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum) Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.