Penyakit Tuberculosis Sapi

A. PENDAHULUAN


Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri dari genus Mycobacterium. Sebagai penyakit menular, tuberkulosis sudah dikenal sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu, ditemukan tanda menciri dari penyakit ini pada tulang mumi Mesir kuno. Robert Koch, antara tahun 1882-1884 berhasil memperlihatkan agen penyebab pada jaringan berpenyakit melalui pewarnaan, kemudian menumbuhkannya secara murni pada medium dan membuktikan sifat kepenularan penyakit ini pada hewan percobaan.

Sebutan Mycobacterium itu sendiri bermakna bakteri yang menyerupai jamur suatu penamaan yang diangkat dari kenyataan, bahwa bakteri penyebab tuberkulosis dalam pertumbuhannya pada medium cair, sesudah beberapa lama, akan membentuk lapisan tebal seperti jamur (pellicle) yang terdapat pada bagian atas medium.

Selain menyerang berbagai jenis hewan, tuberkulosis sapi juga menular kepada manusia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tuberkulosis sapi termasuk kedalam salah satu penyakit zoonosis penting yaitu penyakit yang dapat menyerang baik ke hewan maupun manusia yang perlu diwaspadai.

Kerugian ekonomi akibat tuberkulosis sapi tidak mudah dinilai. Dalam hubungan ini, kerugian ekonomi bukan saja berupa kematian sapi penderita, tetapi juga karena kehilangan efisiensi produksi (diperkirakan hingga mencapai 10-25%) pada sapi yang sakit, baik karena kehilangan atau menurunnya produksi susu maupun karena kehilangan daging dan tenaganya.

B. ETIOLOGI

Tuberkulosis adalah penyakit menular bersifat menahun yang disebabkan oleh bakteri dari genus Mycobacterium. Agen penyebab tuberkulosis pada manusia, sapi dan unggas, semula dikenal berturut-turut dengan nama Mycobacterium tuberkulosis (human type), M.tuberkulosis (bovine type) dan M.tuberkulosis (avian type). Kemudian diketahui, bahwa ternyata ketiganya memiliki sejumlah perbedaan baik dalam sifat-sifat pertumbuhan maupun patogenisitasnya pada hewan laboratorium, maka sehubungan dengan hal tersebut dapat dibedakan 3 tipe tuberkulosis dengan agen penyebabnya masing-masing sebagai berikut. Tuberkulosis manusia (human type tuberculosis), dengan agen penyebab M.tuberculosis, tuberkulosis sapi (bovine type tuberkulosis), dengan agen penyebab M.bovis dari tuberkulosis unggas (avian type tuberculosis), dengan agen penyebab M.avium.

Tuberkulosis sapi adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium bovis, dengan sifat penyakit yang berjalan menahun dan ditandai dengan terbentuknya lesi yang berupa bungkul/ benjolan (dikenal sebagai tuberkel) yang disertai dengan proses perkejuan dan perkapuran.

Bila penyakit berlanjut, maka hewan sakit akan menunjukkan gejala batuk dengan kelenjar limfe di daerah kepala dan ususnya membesar (beberapa kali lipat dari ukuran normal) yang dapat dilihat dan diraba, serta kondisi tubuh penderita yang sangat kurus (emasiasi).

Karena bakteri penyebab tuberkulosis ini memiliki sifat tahan asam, maka untuk pemeriksaan mikroskopik di laboratorium biasa digunakan pewarnaan preparat menurut cara Ziehl-Neelsen (Z-N). Sebagai pewarnaan alternatif, preparat juga dapat diwarnai menurut cara Kinyoun, atau menggunakan pemeriksaan teknik mikroskoopik berpendapat (fluorescence antibody technique, FAT).

C. EPIDEMIOLOGI

1. Spesies rentan

Sapi merupakan inang sejati tuberkulosis sapi. Selain sapi, ternak kambing dan babi, juga rentan terhadap serangan tuberkulosis. Sedangkan sejumlah hewan lain seperti kerbau, onta, jenis rusa, kuda, bison dan berbagai satwa liar baik yang hidup di alam bebas (seperti harimau, singa, leopard) maupun yang hidup terkurung dalam kebun binatang (seperti bangsa kera), juga anjing dan kucing, semuanya dapat terserang tuberkulusis. Bangsa unggas (burung) dapat tertular dan menjadi sumber infeksi bagi ternak sapi yang ada di dekatnya. Di Selandia Baru, possums (Trichusurus vulpecula) dan di lnggris badgers (Meles meles) merupakan satwa-satwa liar setempat yang diketahui berpotensi besar dalam penyebaran tuberkulosis baik bagi kawanan sapi di Inggris maupun bagi kawanan sapi dan domba lokal di Selandia Baru.

2. Pengaruh ingkungan

Agen penyebab tuberkulosis sapi, yakni M.bovis, memiliki ketahanan yang sedang saja baik terhadap panas, kekeringan maupun terhadap berbagai bahan penghulas hama, seperti ortofenil 1 %, kresol 2-3%, senyawa fenol 2-3% atau etialkohol 50-95%. Sementara itu, pada lingkungan yang kering M.bovis akan mati oleh cahaya matahari langsung. Sedangkan bila lingkungan sekitarnya cukup panas dan lembab serta terlindung, maka M.bovis mampu bertahan hidup untuk beberapa minggu lamanya. Telah diketahui pula, bahwa M.bovis yang terdapat dalam susu tercemar akan terbunuh pada suhu pasteurisasi.

Sapi dari bangsa Zebu, seperti Brahman, diketahui lebih tahan terhadap infeksi dalam arti bahwa bila terserang tuberkulosis, maka sapi yang termasuk bangsa Zebu akan menampakkan gejala Klinis yang lebih ringan ketimbang sapi dari bangsa-bangsa Eropa, seperti Friesian Holstein (FH).

3. Sifat Penyakit

Pada peternakan sapi, serangan tuberkulosis sapi cenderung bersifat sporadik dengan angka prevalensi yang rendah. Bagi sekawanan sapi yang dipelihara di padang gembaIaan sepanjang tahun misalnya, maka angka morbiditas karena serangan tuberkulosis sapi dapat mencapai 60-70%. Sementara itu, angka morbiditas pada sapi Zebu yang digemukkan secara intensif dalam kandang (feedlot cattle) dapat mencapai 60% dengan disertai rendahnya pencapaian penambahan bobot badan sapi yang terinfeksi. Dari kelompok sapi dalam suatu peternakan tertular tuberkulosis, maka setiap ekor sapi anggota kelompok dapat memperlihatkan gejala klinis yang berbeda, hal itu tergantung pada stadium penyakit yang sedang menyerang.

4. Cara Penularan

Terdapat 2 cara penularan tuberkulosis sapi yang paling umum dijumpai yaitu:

a. Penularan melalui saluran pernafasan (per inhalasi), dengan terisapnya M.bovis yang dikeluarkan bersama udara ketika penderita bernafas, yang kemudian mencemari udara dalam kandang (droplet infection) oleh hewan sehat yang berada di dekatnya.

b. Penularan melalui saluran pencernaan makanan (per ingesti), dengan termakannya M.bovis yang terdapat pada pakan atau air minum tercemar oleh hewan sehat yang ada di sekitar hewan tertular.

Penularan per inhalasi sering terjadi pada sapi yang dipelihara secara terus-menerus dalam kandang, seperti sapi perah dan sapi yang digemukkan. Sedangkan penularan per ingesti lazim dijumpai pada sapi yang hidup biasa merumput di padang gembalaan. Penularan pada pedet umumnya terjadi karena pedet menyusu pada induk sakit atau diberi susu berasal dari induk sapi sakit. Cara penularan lain yang mungkin terjadi, meskipun jarang, adalah secara intrauterin (pada saat coitus), pada saat inseminasi dengan semen atau peralatan inseminasi tercemar) dan secara intramammari (karena penggunaan peralatan mesin pemerahan susu tercemar), bahkan pada babi penularan dapat terjadi karena babi diberi makan karkas yang berasal dari hewan sakit tuberkulosis. Penularan pada manusia biasanya terjadi karena manusia mengkonsumsi susu (yang tidak dipasteurisasi) yang berasal dari sapi sakit tuberkulosis. Sistem perkandangan dan praktek zero grazing merupakan faktor-faktor predisposisi penyakit yang tidak kalah pentingnya.

D. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala klinis

Pada hewan, gejala Klinis tuberkulosis dapat bervariasi, hal itu tergantung pada dimana lesi yang berupa bungkul atau tuberkel itu tersebar dalam organ tubuh penderitanya. Dalam banyak hal, gejala klinis tuberkulosis sapi yang menciri kurang terlihat atau tidak mudah diamati, bahkan pada sapi dengan tahap lanjut banyak organ terserang. Pada awal serangannya, banyak sapi yang tidak menampakkan gejala klinis, penyakit tuberculosis sapi biasanya berlangsung menahun (kronis), meskipun tidak selalu demikian halnya.

Pada sapi, kuda, domba dan kambing, penyakit dapat bersifat akut dan progresif, menyerang banyak organ tubuh. Sapi sakit terlihat kondisi badan menurun, dengan bulu-penutup yang bervariasi mungkin kasar atau mungkin lembut. Bila paru-paru terkena, maka terjadi bronkopneumoni yang ditandai dengan terdengarnya batuk serta kesulitan bernapas (dyspnoea) akibat pembesaran kelenjar limfe bronkial yang menekan jalan pernapasan. Bila penyakit berlanjut, maka terlihat membesarnya kelenjar limfe (beberapa kali lipat dari ukuran kelenjar normal) yang ada pada daerah kepala dan leher. Bahkan kadang-kadang kelenjar yang membesar itu sampai pecah dan mengeluarkan isinya. Isi kelenjar, limfe yang keluar ini mengandung agen penyebab yang bersifat infektif.

2. Patologi
Meskipun pada dasarnya semua organ tubuh dapat diserang oleh M.bovis, namun kerusakan organ atau lesi yang ditimbulkannya, berbentuk bungkul (nodule) bisa disebut granuloma atau sering pula dikenal dengan sebutan tuberkel (tubercle), pada umumnya kejadiannya diawali dengan organ yang ada dalam rongga dada (organ paru-paru) dan kadang-kadang ada kelenjar limfe (lymph nodes) didaerah kepala atau pada usus (kelenjar limfe retropharyngeal, bronkial, mediastinal dan mesenterik).

Gambar 1. Paru Sapi. Parenkim paru hampir dipenuhi oleh nodul yang menyatu dengan berbagai ukuran dan terlihat pucat. (Sumber:http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/disease-images.php?name=bovine-tuberculosis&lang=en)

Selain itu, lesi yang berupa tuberkel tadi juga ditemukan pada organ lain, seperti pada hati, limpa, glnjal, pleura dan pada membran serous lainnya. Bila penyakit berlanjut maka tuberkel tadi ditemukan menyebar pada organ dan jaringan yang secara primer jarang terkena, seperti kelenjar susu atau ambing yang memungkinkan penularan penyakit melalui konsumsi susu, uterus dan selaput otak.

3. Diagnosa

Tuberkulosis sapi dapat didiagnosa baik pada waktu hewan masih hidup maupun sesudah mati. Mengingat gejala klinis yang jelas pada hewan tertular tuberkulosis sapi jarang terlihat, maka untuk mendiagnosa penyakit ini tidak mudah. Pada hewan penderita masih hidup, maka diagnosanya didasarkan pada gejala klinis penyakit yang terlihat dan terutama dititik beratkan pada terdapatnya reaksi hipersensitivitas tipe tertunda (delayed hypersensitivity reactions) dari hewan tersangka, yang dilakukan dengan penerapan uji tuberkulin per individu hewan dari kawanan sapi yang dicurigai tertular tuberkulosis (uji tuberkulin). Pada ternak sapi, uji tuberkulin masih merupakan uji standar dan dipakai dalam perdagangan internasional. Bagi hewan tersangka tuberkulosis sapi yang sudah mati, maka diagnosanya didasarkan pada hasil pemeriksaan pasca mati terhadap bangkainya, yang dilengkapi dengan hasilpemeriksaan di laboratorium, antara lain pemeriksaan histopatologi dan bakteriololgi. Dalam hal ini, pemeriksaan bakteriologi yang dimaksud meliputi pemeriksaan mikroskopik preparat dan isolasi yang dilanjutkan dengan identifikasi dari bakteri yang ditemukan.

4. Diagnosa Banding

Penyakit tuberkulosis sapi dapat dikelirukan dengan berbagai penyakit berikut:
a. Kekurusan tubuh pada hewan penderita dapat dikelirukan dengan hewan yang terserang paratuberkulosis. Selain tubuh yang kurus, penderita paratuberkulosis biasanya juga mengalami diare yang menetap.

b. Infestasi cacing gastrointestinal yang berat mengakibatkan kekurusan tubuh penderita yang disertai dengan diare dapat dikelirukan dengan penderita tuberkulosis sapi tahap lanjut.

c. Hewan kurang gizi (baik kuantum maupun mutunya) yang berat dan yang berlangsung lama mengakibatkan kekurusan tubuh hewan yang bersangkutan. Dapat dikelirukan dengan penderita tuberkulosis sapi tahap lanjut.

d. Contagious bovine pleuro pneumonia (CBPP) kronis dapat dikelirukan, terutama bagi daerah yang endemik penyakit ini (perhatian : CBPP tidak didapatkan di Indonesia).

e. Actinobasilosis dan infeksi Actinomyces pyogenes dapat dikelirukan dengan tuberkulosis sapi. Actinobasilosis pada pedet sering disebut sebagai Calf Pneumonia, yang gejala klinisnya jelas bila pedet telah berumur 2-3 bulan, sedangkan pada infeksi Actinomyces, selain sapi terlihat kurus juga terdapat infeksi pada organ paru-parunya.

E. PENGENDALIAN 
Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan

Pada dasarnya pengendalian tuberkulosis sapi pada kelompok ternak sapi meliputi langkah-langkah seperti berikut :

1. Mendeteksi adanya tuberkulosis dan mengeluarkan sapi reaktor dari kelompok;
2. Mencegah penyebar luasan infeksi dalam kelompok;
3. Mencegah masuknya kembali penyakit ke dalam kelompok.

Ketiga langkah tersebut dianggap sangat penting untuk dikerjakan secara sungguh-sungguh. Dengan tidak mengerjakan salah satu langkah tersebut akan mengakibatkan program pengendalian tidak berhasil dengan baik.



F. DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc

Rahway, New Jersey, USA.

Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition.

Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.

Direktur Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta Indonesia.

Hardjoutorno S 1988. Fesesuan Penyakit Tuberkulosis di Indonesia kurun waktu 1901- 1985. Hemerazoa, 73 (1): 35-45.

Hardjoutorno S dan Harnidjojo AN 1994. Mernbandingkan rnutu antara Tuberkulin PPD bovin buatan Balivet, Bogordan tuberkulin PPD bovin buatan CSL, Melbourne. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Veteriner Untuk Meningkatkan Kesehatan Hewan Dan Penanganan Bahan Pangan Asal Ternak, Cisarua, 22-24 Maret 1994: 210-217. Balai Penelitian Vetedner, Bogor. 

Kementan, 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia 

Konyha LD, Hirnes EM and Thoen CO 1980. Bovine Tuberkulosis. In: CRE Handbook Series in Zoonoses. Section A, Vol.11:109-139. Stoenner H, Kaplan W, Torten T Edition. CRE Press, Inc. Boca Raton, Florida.

Kusurnaningsih A dan Hardjoutorno S 1997. Tuberkulosis sapi potong di Kabupaten pada ternak di Jawa Tirnur dan Jawa Tengah. Hemerazoa, 79:13-21.

Kusurnaningsih A dan Hardjoutorno S 1995. Penelitian tuberkulosis sapi perah di Beberapa Propinsi di Pulau Jawa 1994. Inforrnasi Pengamatan Penyakit Hewan, No.2: 2-3.

Nunn MJ and PM Thornber 1996. Animal Health in Austaralia 1994. Australia Government Publishing Service, Canberra.

Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University Press Ames.

Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.

Radostids OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailiere Tindall. London England.

Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier Science, St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.

Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.

Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum) Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.