Penyakit Porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS)

Porcine reproductive and respiratory syndrome (PRRS) merupakan penyakit menular pada babi berumur muda, ditandai dengan kelainan reproduksi dan pernafasan.
Penyakit ini menyebabkan kerugian ekonomi cukup besar karena tingkat morbiditas dan mortalitas tinggi, biaya yang dikeluarkan untuk investigasi atau pengamatan penyakit, mengembangkan peralatan dan reagen diagnostik, produksi vaksin dan biaya oprasional pengendalian penyakit sangat mahal, disamping itu hilangnya devisa negara akibat larangan ekspor.

ETIOLOGI

Penyakit ini disebabkan oleh virus PRRS. Virus PRRS dimasukkan kedalam genus Asterivirus dari family Togaviridae. Virus ini masuk dalam satu grup dengan Lactate dehydogenase elevating virus, equine arteritis virus dan simasn hemeorrhagic fever virus.

Virus tersusun atas RNA, terdiri dari 4 struktur protein yang masing-masing mempunyai berat molekul 15, 19, 23 dan 26 kD (nelson et al, 1993). Fungsi protein ini tidak secara lengkap diketahui, belakangan diketahui bahwa protein 15 kD merupakan protein nukleo-kapsid, sedangkan protein 19 dan 26 kD dianggap sebagai komponen amplop virus. Peranan imonologis dari protein tersebut juga tidak diketahui, para peneliti menduga bahwa protein 26 kD berperanan dalam menginduksi antibodi terhadap virus PRRS, sedangkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa protein 15 kD adalah protein yang bersifat imunogenik. Bentuk virus bundar dan beramplop.

Ada beberapa strain virus yang diketahui seperti strain PRRSV, VR-2332, Hesse dan NADC-9. Strain Hesse merupakan strain yang ganas dan strain VR-2332 dikenal sebagai virus yang paling potensial menyebabkan penyakit reproduksi dan respirasi pada babi. Diantara strain virus terdapat perbedaan antigenik, seperti strain virus PRRS Amerika Serikat dan Eropa yang dapat diperlihatkan dengan menggunakan panel 3 antibodi monoklonal spesifik untuk protein 15 kD dari virus.

EPIDEMIOLOGI

Sifat Alami Agen

Virus PRRS hanya dapat ditumbuhkan secara in vitro pada biakan sel, akan tetapi sampai saat ini ada beberapa biakan sel lestari yang peka seperti CL 2621 dan makrofag alveoler paru.

Spesies rentan

Penyakit ini terutama menyerang ternak babi semua umur, akan tetapi yang paling banyak terserang adalah yang berumur muda.

Pengaruh Lingkungan

Tidak diketahui dengan pasti apakah ada pengaruh musim terhadap kejadian PRRS. Umumnya saat melahirkan terjadi stres sehingga kemungkinan terinfeksi virus PRRS sangat besar. Faktor lingkungan kandang yang kotor karena sistem peternakan tradisional dan lalu lintas ternak yang bebas kemungkinan berpengaruh terhadap penyebaran penyakit.

Cara Penularan

Penyakit ditularkan melalui pernafasan, udara tercemar paling potensial menyebarkan virus, disamping itu juga melalui semen pada saat kawin alam atau inseminasi buatan.

Patogenesis

Patogenesis dari virus PRRS tidak diketahui dengan lengkap. Namun diketahui bahwa penyakit ini dapat bersifat imunosupresif karena babi-babi yang terserang PRRS terjadi pula peningkatan kejadian penyakit, seperti penyakit yang disebabkan oleh bakteri haemophilus parasui, Streptococcus suis, Salmonella spp, pasteurella multocida atau Actinobacillus pleuropneumoniae. Demikian pula infeksi yang terus menerus dari PRRS dan Streptococcus suis akan meningkatkan mortalitas, serta meningkatkan kejadian Porcine respiratory coronavirus, Influenza virus HL NL dan Paramyxovirus.

PENGENALAN PENYAKIT

Gejala Klinis

Babi-babi terserang ditandai dengan gejala demam, nafsu makan menurun, lesu, sesak nafas, kulit bercak kebiruan. Tingkat kebuntingan rendah, babi bunting ditandai dengan keguguran, fetus lahir mati, mumifikasi, fetus anak yang dilahirkan dalam keadaan lemah, anak sedang menyusui kematiannya tinggi dan gejala pernafasan yang berat. Gejala pernafasan ini dapat berlangsung dalam beberapa bulan.
 Patologi

Perubahan patologi yang paling menonjol adalah pada paru, kelenjar limfe dan otak. Pada paru yang terserang adalah lobus depan, tengah dan aksesoris serta bagian ventromedial dari lobus belakang, ditandai dengan pneumonia. Kelenjar limfe, membesar 3-10 kali lipat dari ukuran normal dan edema.

Perubahan histopatologi dari jaringan terserang berupa rinitis limfohistiositik multifokal pada hidung, silia jumlahnya berkurang dan epitel turbinatus membengkak dan berongga. Jumlah leukosit meningkat di dalam epitel turbinatus dan di submukosa terdapat peradangan limfohistiositik dan supuratif ringan serta edema. Paru mengalami hiperplasia dan hipertrofi diikuti dengan penebalan septa alveoli oleh sel mononuklear. Eksudat alveoli berisi makrofag, debris nekrotik dan sel multinuklear.

Jaringan limfoid pada kelenjar limfe mengalami hiperplasia dan nekrosa fokal. Folikel diinfiltrasi oleh limfoblas dan makrofag, sel piknosis dan nekrose dapat ditemukan di dalam folikel. Area perifolikuler diinfiltrasi oleh beragam tipe sel mononuklear. Pada otak ditemukan adanya ensefalitis yang ditandai dengan gliosis dan perivascular cuffing yang terdiri dari histiosit dengan derajat keparahan dari ringan, sedang sampai parah. Pada jantung ditemukan miokarditis yang ditandai dengan limfoplasmositik multifokal dan histiosit terutama di endokardium dan sekitar pembuluh darah.

Diagnosa

Penyakit dapat didiagnosa berdasarkan data epidemiologi, gejala klinis, patologis, isolasi dan identifikasi virus. Virus dapat disolasi secara in vitro pada biakan sel, selanjutnya virus diidentifikasi dengan flourescent antibody technique (FAT) sedangkan antibodi dapat dideteksi dengan berbagai uji serologis seperti FAT tak langsung (IFA), serum netralisasi (SN), immunoperoxidase (IP)dan enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Uji IFA dan IP merupakan uji yang sangat spesifik dan peka, antibodi dapat dideteksi dengan kedua uji ini dalam waktu 7 dan 15 hari setelah infeksi. Kedua uji tetap memberikan hasil yang tepat sebagai alat deteksi antibodi selama 2-3 bulan setelah infeksi, akan tetapi akan segera menurun setelah 3-6 bulan infeksi. ELISA juga dianggap uji yang spesifik dan peka. Demikian juga SN merupakan uji yang spesifik, akan tetapi sebelumnya diduga bahwa SN kurang peka dibandingkan IFA dan IP Kepekaan uji SN dapat ditingkatkan dengan penambahan serum babi normal pada serum yang akan diuji. Belakangan telah dikembangkan uji yang lebih maju seperti Western immunoblotting untuk deteksi protein virus, dengan uji ini dapat mendeteksi protein virus 15 kD dalam waktu 7 hari pasca infeksi dan persistan selama 105 hari. Reserve Transciption dan Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) dapat mengamplifikasi DNA virus, sedangkan in situ hibridization non radioaktif yang dapat mendeteksi lokasi virus di dalam sel dan jaringan yang telah difiksasi serta dapat membedakan strain virus

Diagnosa Banding

Penyakit ini mempunyai gejala klinis dan perubahan patologis yang mirip dengan beberapa penyakit seperti Hog Cholera, streptokokosis atau Haemorrhagic Septicemia.

Pengambilan dan Pengiriman Spesimen

Pengambilan spesimen ditujukan untuk isolasi dan pemeriksaan histopatologis. Spesimen untuk isolasi diambil jaringan paru, limpa dan kelenjar limfe kemudian dimasukan kedalam botol berisi media tranpor gliserin fosfat bufer 50% atau media Hank’s yang mengandung antibiotika. Untuk pemeriksaan histopatologis diambil semua jaringan dan difiksasi dengan formalin bufer 10%.

PENGENDALIAN

Pengobatan

Belum ada pengobatan yang efektif untuk penyakit ini.

Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan 
 
Pelaporan
 
Apabila ada kasus PRRS segera dilaporkan kepada Dinas Peternakan atau BPPV setempat dan tembusannya dikirimkan kepada Direktorat Kesehatan Hewan.

Pencegahan

Babi yang sakit segera dipisah, sebaiknya dipotong bersyarat dan babi yang mati harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur yang dalam. Kandang tercemar didesinfeksi dengan formalin 2-5% atau NaOH 2%. Di daerah yang enzootik PRRS dilakukan vaksinasi, sedangkan daerah bebas dilarang memasukkan hewan dari daerah tertular. Tindakan karantina yang ketat dan pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan teliti.

Pengendalian dan Pemberantasan

Vaksinasi dilakukan pada daerah sekitar kasus (ring vaccination) dengan radius 10 km dan melakukan sistem pemusnahan (stamping out) di daerah yang bebas penyakit. Vaksinasi terhadap babi-babi yang sehat dapat dilakukan menggunakan vaksin aktif (live vaccine) atau inaktif (killed vaccine).
Hewan yang sakit tidak dianjurkan untuk dipotong, kalaupun dipotong untuk dikonsumsi harus dibawah pengawasan Dokter Hewan atau petugas yang berwenang.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 1999. Manual Diagnostik Penyakit Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Japan International Cooperation Agency (JICA), Jakarta.

Albine, EY Leforban, T Baron 1992. An enzyme linked immunosorbent assay for detection of antibodies to the porcine reproductive and respiratory syndrome virus. Ann. Rech. Vet 23:167-176.

Albina E, F madec, R carolet, J Torrison 1994. Immune response and persistence of the porcine reproductive and repiratory syndrome virus in infected pigs and farms units. Vet. Rec 134: 567-573

Halbur PG, PS Paul, X Meng, MA lum, JJ Andrews and JA Rathje 1996. Chomparative pathogenecite of nine US porcine reproductive and repiratory synrome virus isolate in a five week old cesarean derived, colostrum- derived pig model J. Vet. Diagn. Invest 8:11-20.

Henry SC 1994. Clinical considerations in acute PRRS. Proc. Am.Assoc.Swine. Pract 25:231-234.

Larochelle R, H mardassi, S Dea and R Magar 1996. Detection of porcine reproductive and respiratory syndrome virus in cell cultures and formalin- fixed tissues by in situ hibridization using a digoxigenin-labeled probe. J. Vet.Diagn.lnvest 8:3-10.

Mardassi H, L Wilson, S Mounir, S Dea 1994. Detection of porcine reproductive and respiratory syndrome virus and efficient differentiation between canadian and European strains by reverse syndrome. J.clin.microbiol 32:21972

Mengeling WL, KM Lager and AC Vorwald 1995. Diagnosis of porcine reproductive and respiratory syndrome. J. Vet.Diagn.lnvest 7:3-16.

Meredith MJ 1993. Review of porcine reproductive and respiratory syindrome. In pig disease information Centre 7th ed. Cambridge Uni.Press, England
4-9.

Meredith MJ 1994. Porcine reproductive and respiratory syindrome, 7th ed. Pig Disease Information centre, cambridge, Uk 31.

Suarez P, R Zardoya, C Prieto 1994. Direct detection of porcine reproductive and respiratory syndrome virus by reverse transcptase and polymerase chain reaction. Arch. Virol 135:89-99.

Swenson SL, HT Hill, JJ Zimmerman 1994. Exceration of porcine reproductive and respiratory syndrome virus in semen after experimentaly induced infection in boars. J.A. vet. Med,Asoc 204(12):1943-1948.

Yaeger MJ, T Prieve, J Collin 1993. evidenceforthe transmission of porcine reproductive and respiratory syndrome virus in boars semen. Swine Hlth and production 1(5):5-9.

Yoon IJ, HS Joo, WT Christianson 1992. An indirect flourescent antibody test for the detection of antibody to swine infetility and respiratory syndrome virus in swine sera. J. Vet.Dian.Invest 4:144-147.

Yoon IJ, HS joo, SM goyal, TW Molitor 1994. A modified serurfi neutralization test for the detection of antibody to porcine reproductive and respiratory syndrome virus in swine sers. J.Vet.Diagn.lnvest 6:289-292.

Yoon KJ, JJ Zimmermen, SL Swenson, MJ Mcginely, KA Eemisse, A Brevik, LL Rhinehart, ML Fery, HT Hill And KB platt 1995. Characterization of humoral immune response to porcine reproductive and respiratory syndrome virus invection. J.Vet.Diagn.lnvest 7:305-312.

http://www.respig.com/images/prrs-piglet-210.jpg.

http://www.thepigsite.com/pighealth/contents/PRRS_Ear_Oedema(190).jpg.

http://www.porcilis-prrs.com/images/virus-structure.jpg