Penyakit Pseudo rabies

Pseudo rabies merupakan penyakit menular bersifat akut yang dapat menimbulkan gejala syaraf, respirasi dan gangguan reproduksi pada babi.

Kerugian ekonomi yang diakibatkan cukup besar karena mortalitas tinggi, turunnya berat badan dan gangguan reproduksi. Disamping itu menurunkan devisa negara atau daerah akibat larangan ekspor atau lalu lintas ternak dan hasil olahannya antar pulau.

ETIOLOGI

Agen Penyebab

Penyakit ini disebabkan oleh Alphaherpesvirus dari famili Herpesviridae. Ada beberapa strain diketahui seperti strain bartha (PRV-Ba) dan Ka (PRV- Ka). Materi genetik virus tersusun atas DNA beruntai ganda double stranded dioxyribonucleic Acid (ds-DNA) dengan berat molekul 70 x 106, dalton. Asam inti (DNA) ini dilapisi oleh lapisan protein pelindung yang disebut dan keduanya bersama-sama disebut bucleocapsid. Capsid tersebut terdiri dari 162 sub unit protein (capsomere), sedangkan nukleokapsid mempunyai diameter 105 nm. Di sebelah luar dari nukleokapsid terdapat lapisan protein sebagai amplop. Bentuk virus adalah ikosahedral dan viriori yang lengkap berukuran 150 nm.

Patogenesis

Patogenesis virus ini tidak diketahui secara jelas. Virus bersifat neurotropik yang dapat menyebar dari tempat replikasi virus di bagian perifer kemudian menyebar ke sistem syaraf pusat lewat penularan axonal dan hematogenous menghasilkan trigeminal ganglionitis non supuratif dan meningoencefalitis. Kemungkinan alur penyebaran virus dimulai dari gigitan pada kulit di daerah telinga kemudian langsung masuk Central Nervous System (CNS) melalui oronasal. Virus kemudian menginfeksi syaraf trigeminalis dan langsung menyebar ke CNS melalui traktus gastrointestinal, pleksus mesenterik kemudian ke batang spinal melalui syaraf aotonom kemudian ke CNS lewat syaraf sensoris.

Babi yang terinfeksi virus Pseudorabies akan menderita pneumonia sebagai akibat infeksi sekunder oleh Actinobacillus pleuropneumonia, Pasteurella multocida atau kemungkinan Salmonella cholearsuis. Pneumonia tersebut terjadi akibat kegagalan fungsi imun sel mediasi spesifik oleh virus

EPIDEMIOLOGI

Sifat Alami Agen

Virus tahan terhadap panas, kondisi alkali dan asam. Virus juga tahan berminggu-minggu pada suhu 20-25°C dan bahkan pada suhu 36°C akan hidup selama 4 minggu sebelum daya infeksinya hilang. Virus dalam jerami dan pakan lebih dari 10 hari pada suhu 24°C dan lebih tahan 46 hari pada suhu dingin. Pada suhu 1°C tahan berbulan-bulan. Selanjutnya pada suhu -20°C virus menjadi kurang stabil dibandingkan pada suhu 4°C, tetapi masih tetap hidup selama berbulan-bulan. Pada suhu -40°C virus tersebut dapat disimpan bertahun tahun tanpa kehilangan daya infeksinya. Namun virus cepat nonaktif pada suhu panas, sinar ultraviolet dan sinar gamma. Virus non aktif pada suhu 56°C selama 15 menit, 70°C selama 5 menit, 80°C selama 3 menit dan 100°C selama 1 menit.

Virus PR tetap stabil terhadap pH asam dan alkali. Antara ph 5,0 dan 13.0 kemampuan infeksinya sebagian besar masih terpelihara, bahkan dalam keadaan sangat asampun (pH 2,0) atau alkali (pH 14,0) masih diperlukan waktu beberapa jam sebelum virus tersebut menjadi nonaktif.

Virus sangat peka terhadap pelarut lemak. seperti ether dan khloroform demikian pula hidrokarbon-flour dan deterjen. Bahan-bahan kimia ini sangat merusak struktur virus dalam beberapa menit dan akan menyebabkan dekomposisi partikelnya. Penggunaan formalin 3% sebagai larutan desifektan akan membunuh virus dalam waktu 3 jam. Klorin sangat efektif. Larutan kloramin 3% membuat virus nonaktif dalam 10 menit, larutan 1 % dalam waktu 30 menit. Larutan Na-hipoklorit juga sangat efektif untuk menonaktifkan virus. Basa bervalensi empat (quarterly ammonium) juga efektif. Berbagai desifektan untuk penyakit ini ialah CaCI , CaCI yang larutan dalam air, 2 2 kloramin, dan zat-zat yang mengandung minimum 1 % formaldehida aktif.

Virus dapat ditumbuhkan secara in vivo pada telur ayam berembrio dan in vitro pada biakan sel. Pada telur ayam berembrio, virus dapat tumbuh dan membentuk pock pada selaput korio-alantois setelah 4 hari pasca infeksi, sedangkan secara in vitro virus dapat tumbuh pada berbagai biakan sel seperti sel ginjal dan paru kelinci, BHK21, ginjal babi (PK-15), sel Vero, paru fetus kambing, turbinatus sapi dan sel ginjal embrio kalkun. Diantara sel tersebut yang paling sering digunakan untuk isolasi virus adalah sel turbinatus (BT) dan sel ginjal babi (PK15) yang dianggap sama dengan uji pada hewan percobaan. Namun yang paling peka adalah sel ginjal babi (PK-15) ditandai dengan CPE lebih awal dibandingkan pada sel turbinatus. Virus yang replikasi pada biakan sel mamalia menghasilkan badan inklusi tipe A Cowdry di dalam inti sel. selain itu ditemukan sel raksasa.

Pengaruh Lingkungan

Pengaruh lingkungan alam bebas dapat menonaktifkan virus. Dalam lumpur, virus dapat hidup selama 3-4 bulan di musim dingin dan sekitar 1 bulan di musim panas. Dalam feses hewan yang padat virus menjadi nonaktif dalam 8-15 hari di musim dingin dan dalam 8-10 hari di musim panas. Dalam tanah penelitian virus ditemukan hidup selama 33 hari pada suhu 4° C. tetapi setelah 14 hari sampel sudah menjadi negatif. Dalam bahan pakan, virus dapat hidup selama 15 hari di musim panas dan 40 hari di musim dingin. Virus yang dikeringkan dalam karung dan kayu dapat hidup selama 10-15 hari di musim panas.

Spesies rentan

Hewan yang paling peka adalah babi. Kasus sporadis dapat terjadi pada sapi, domba, kambing, anjing dan kucing. Hewan liar seperti serigala kutub, serigala perak, rusa liar, landak, beruang kutub, harimau totol, anjing laut, kelinci liar, luak, kuskus, musang, berang-berang dan tikus. Berbagai hewan percobaan, seperti kuda, rusa (Odocoileus virginianus), serigala merah (Vulpes fulva), macaca (Macaca mulatta), kelinci (Sylvilagus floridanus), cavia, tikus, merpati, angsa, itik (Anas platyrhynchos), kalkun, burung merpati dan kelelawar.

Cara Penularan

Penyakit ini ditularkan secara langsung dari babi yang sakit kepada babi yang sehat dan persisten dalam suatu populasi. Virus dapat dikeluarkan melalui sekresi mulut dan hidung dan lewat udara. Babi terinfeksi kronis selama lebih dari 1 tahun atau bersifat laten yang sewaktu-waktu mengeluarkan virus apabila hewan dalam keadaan stres, biasanya pada waktu melahirkan. Kebanyakan wabah terjadi sebagai akibat masuknya babi tertular ke suatu kelompok babi yang peka. Penularan virus dari suatu kandang ke kandang lainnya dapat terjadi. Peranan vektor mekanis dalam penularan penyakit ini sangat besar. Anjing, kucing, dan hewan karnivora lainnya serta tikus dapat terinfeksi akibat makan organ atau bangkai hewan atau limbah tercemar virus PR.

Penyakit dapat bersifat endemik. Tingkat mortalitas pada babi berkisar antara 20-100% terutama anak babi yang berumur kurang dari 2 minggu. Anak babi yang baru disapih, tingkat mortalitas antara 5-10%.

PENGENALAN PENYAKIT

Gejala Klinis

Gejala klinis yang muncul dapat berupa gatal, menjilat, hewan tidak mampu berdiri, sangat lemah sampai akhirnya konvulsi. Akibat paralisis faring, mulut berbuih dan kematian dapat terjadi dalam waktu 2 hari setelah gejala klinis muncul.

Patologi

Mukosa hidung dan faring mengalami kongesti dan disertai dengan nanah. Tonsil sering ditemukan kongesti dan edema. Selaput otak (meningen) mengalami kongesti dan di bawah selaput otak terdapat cairan cerebrospinal. Kelenjar limfe mengalami kongesti dan ada perdarahan ptekie. Terdapat perdarahan ptekie pada papilla dan kortex ginjal. Terdapat nekrosis fokal berwarna putih kekuningan. Paru mengalami konsolidasi, edema dan kongesti.

Perubahan histopatologis dapat ditemukan pada otak antara lain berupa meningo-encephalomyelitis dan ganglioneuritis non supuratif yang menyebar. Lesi ini ditandai dengan perivaskular cuffing dan gliosis fokal yang ada hubungannya dengan nekrosis glial dan neuronal yang meluas. Badan inklusi Cowdry tipe A dapat ditemukan didalam inti sel glia.

Terdapat pusat nekrosis pada hati, inti sel piknosis dan ditemukan badan inklusi di daerah nekrosis. Paru mengalami edema dan pneumonia intertisial.

Villi usus halus mengalami atrofi dan nekrosis neuronal di dalam Auerbach dan pleksus Meissner’s lambung, usus halus dan usus besar. Inti dari neuron yang mengalami degenerasi biasanya basofilik dan karyorexis dan mengandung beberapa badan inklusi di dalam inti sel.

Pada jaringan di bawah kulit terdapat sejumlah kecil jaringan nekrosa bersifat fokal diikuti dengan arteritis dan degenerasi epitel dari kelenjar seruminus. Beberapa sel mengalami balloning degeneration, nekrosis sel epitel dan badan inklusi di dalam inti sel yang dapat ditemukan di dalam stratum spinosum dari kulit telinga dan pinggul.

Diagnosa

Penyakit dapat didiagnosa berdasarkan data epidemiologi, gejala klinis, isolasi dan identifikasi virus. Berdasarkan pengamatan epidemiologi, yaitu tingkat mortalitas yang tinggi dan menyerang kelompok anak-anak babi sedang menyusui dapat digunakan sebagai indikasi pseudorabies. Selanjutnya gejala klinis dan perubahan patologis akan memperkuat dugaan penyakit tersebut. Namun diagnosa yang paling pasti adalah berdasarkan isolasi dan identifikasi agen penyebab. Isolasi virus dilakukan pada biakan sel, biasanya memerlukan waktu 2-5 hari tergantung terbentuknya efek sitopatik pada sel Kemudian identifikasi dengan VN, FAT, AGP, CFT dan immunoperoxidase. Antigen di dalam berbagai jaringan seperti otak, hati. paru-paru, kelenjar edrenal, tonsil fokal nekrotik subepitel dan sel epitel kulit dan folikel limfoid usus terutama di peyer’s patches dan selsel neuron dari flexus Auerbach,s dan Meissner.s dapat dideteksi dengan teknik imunohistokimia, sedangkan jumlah DNA dalam syaraf terutama ganglia trigeminal dapat dideteksi dengan PCR, atau dengan teknik DNA hybridization dot-blot assay. Antibodi dari babi yang divaksinasi dan yang terinfeksi dapat dideteksi dengan ELISA.

Diagnosa Banding

Pada babi ada beberapa penyakit memiliki gejala yang mirip dengan pseudorabies seperti penyakit teschen, hog cholera, heamagglutinating encephalomyelitis, streptokokosis, hipoglikema. keracunan arsen dan garam. Sedangkan pada hewan lain sangat mirip dengan rabies dan scrapie pada kambing dan domba.

PENGENDALIAN

Pengobatan

Tidak ada pengobatan yang efektif untuk penyakit ini. Babi-babi yang sudah memperlihatkan gejala klinis deberi serum hiperimun atau preparat imunoglobulin.

Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan

Pelaporan

Setiap ada kasus pseudorabies segera dilaporkan kepada Dinas Peternakan setempat yang tembusannya dikirim kepada Direktorat jenderal Kesehatan hewan di Jakarta untuk dilakukan tindakan sementara.

Pencegahan

Larangan impor hewan dari tertular. Karantina yang ketat. Vaksinasi dengan killed vaksin untuk daerah enzootik. Babi-babi yang memiliki antibodi maternal masing-masing kelompok disuntik dengan muatan virus PR melalui intradermal, intranasal dan intramuskuler, ternyata memberikan kekebalan dan aman karena tidak ada babi yang menunjukan gejala klinis. Namun tidak kebal terhadap tantangan virus PV ganas.

Tindakan yang paling efektif adalah melakukan vaksinasi dengan menggunakan vaksin aktif atau hidup (live vaccine) dan vaksin inaktif atau mati (killed vaccine).

Vaksin aktif dan Vaksin inaktif telah digunakan untuk vaksinasi anak babi umur 8 dan 12 minggu. Anak-anak babi yang divaksinasi DEAE dextran memiliki antibodi maternal sampai 4 minggu. Vaksin PRV inaktif memberikan kekebalan dan tidak ada faktor resiko. Vaksinasi dilakukan 2 kali selang 4 minggu untuk mengembangkan kekebalan optimum selama 5-6 bulan.

Pengendalian dan Pemberantasan

Dilakukan tindakan pemotongan atau stamping out dan tindakan kepolisian. Hewan yang sakit dilarang untuk dipotong dan harus dimusnahkan dengan cara dibakar atau dikubur yang dalam.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim 1999. Manual Diagnostik Penyakit Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Japan International Cooperation Agency (JICA), Jakarta.

Bouma A, MCM Jon and TG Kirman 1997. The influence or maternal immunity on the transission of pseudorabies virus and on the effectiness of vaccination. Vaccine 593:287-294

Cheung AK 1996. Lafency characteristic of oan EPO and LLT mutant of pseudorabies virus. Vet Diaga.lnvest 8:112-115.

Ezura KE, Y Usami, K Tajima, H Komaniwa, S Nagai, M Narita, K Kawashima 1995. Gastrointestinal and skin lessions in piglets naturally infected with pseudoabies virus. J. Vet Diagn. Invest 7,43-37.

Jridi M, H Bouzghaia, Wand B Toma 1997. Aujzzky’s disease in wild boar in Tunia. Vet Bull 67 06) 469.

Ketut Santhia, ARN Dib`a, C Morrissy dan Soeharsono 1999. Survei serologis antibodi virus pseudorabies di daerah Nusa Tenggara Timur. ANSREFEF, AQIS dan BPPH VI Denpasar 33-39.

Kritas SK, MB pensaert and TC Mettenleiter 1994. Invassion and spread of single glycoproteIn detected mutants of Aujeszky disease virus in the trigeminal nervous pathway of pigs after intranasal inoculation. Vet. Microbiol 40:323-334

Kritas SK, HJ Neuwyock, MB Pansaert and SC Kyriakis 1997. Effect of cocentration of meternal antibodies on the neural invaion of Aujeszky’s disease virus in neontal pigs. Vet Microbiol 55 (1/4) 29-36.

Lodetti E, M ferrari, C Mo ci, GL Gualandi, A Corradi, G Tosi, S Careno, and M Covi 1997. Immungenicity of mutant Aujszky’s virus. Vet bull 67 (6) 469.

McCaw MB, J Xu and MT correa 1995. Survival of Pseudorabies virus on swebs maintened under syandard field sample shipping condition. J Vet Diagn Invest 7, 56-59.

Moon JS, YH Park, SC Jung, BG Ku, SI Lee, BH hyun, SH An and WC Davis. 1996.
Effe on lymphocity subpopulation on Quil A-ISCOM with recopbinant aujzskVs disease virus (ADVO gp5O, gI II and a-ADV protein Korean. j vet Res 36 (2) $59-369,

Sagales J, M balasch, M Domingo, LF Carvalho and C Pijoan 1997. lmrnunohistochemic0l demonstrarion of the spread of pneumotropici strain 4892 of Aujeszky’s disease virus in conventional pigs, J Comp Pathol 116(4) 387-395.

Zhao Yumn, M narita, and K Kawashima 1996. Pathologic changes in closed porcine intestine loops inoculated with Aujeszky’s disease virus. J Vet Med Sei 58(8) 809-810.

http://www.thepigsite.com/pighealth/contents/aujeskys.

http://www.thepigsite.com/pighealth/contents/aujeskys_lesions_on_nose_96dpi.jpg

http://www.sanidadanimal.info/cursos/curso/2/images/hvp1.jp