Penyakit Rabies

Penyakit rabies merupakan salah satu jenis penyakit zoonosis yang menyerang susunan syaraf pusat. Rabies masih dianggap penyakit penting di Indonesia karena bersifat fatal dan dapat menimbulkan kematian serta berdampak psikologis bagi orang yang terpapar. Virus rabies dapat menyerang semua hewan berdarah panas dan manusia.

Menurut data World Health Organization (WHO) rabies terjadi di 92 negara dan bahkan bersifat endemik di 72 negara. Pada hewan penderita penyakit ini biasanya ditemukan virus dengan konsentrasi tinggi pada air Iiurnya, oleh sebab itu penularan penyakit pada umumnya melalui suatu gigitan. Kejadian penyakit rabies pada hewan maupun manusia hampir selalu diakhiri dengan kematian sehingga akibatnya penyakit ini menimbulkan rasa takut dan kekhawatiran serta keresahan bagi masyarakat. Infeksi pada hewan anjing dan kucing ditandai dengan mencari tempat yang dingin, hydrophobia diikuti dengan sikap curiga dan menyerang apa saja yang ada di sekitarnya, paralisa dan mati.


ETIOLOGI

Penyebab penyakit Encephallis Rabies adalah virus yang tergolong dalam Lyssa virus dan famili Rhabdoviridae. Morfologi partikel virus berbentuk seperti peluru dengan diameter 75 µm dan panjangnya antara 100-300 µm, Variasi ukuran ini bisa dibedakan diantara strain virus rabies. Struktur virus tersusun dari envelop yang terdiri dari matrix/membran dan glycoprotein.

Siklus infeksi dan replikasi virus rabies ke membran sel induk semang terjadi melalui beberapa tahapan yaitu adsorpsi (perlekatan virus), penetrasi (virus entry), pelepasan mantel (uncoating/envelope removal), transkripsi (sinthesis mRNA), translasi (sintesis protein), processing (G-protein gikoslasi), replikasi (produksi genomic RNA dari intermediate strand), perakitan (assembly) dan budding.

EPIDEMIOLOGI

Spesies Rentan

Semua hewan berdarah panas termasuk manusia rentan terhadap rabies. Di Indonesia hewan rentan terhadap rabies yang pernah dilaporkan adalah pada kerbau, kuda, kucing, leopard, musang, meong congkok, sapi dan kambing. Hewan tersebut adalah hewan piaraan kecuali musang. Kelelawar dan tikus liar dapat diinfeksi virus secara buatan di laboratorium dan kasus pada tikus liar pernah ditemukan di BPPH (sekarang BPPV) Bukittinggi 1991. Statistik menunjukan bahwa penyebar rabies yang utama adalah anjing (92%), kucing (6%) dan kera (3%).

Cara Penularan

Masa inkubasi pada anjing dan kucing rata rata sekitar 2 minggu tetapi dilaporkan dapat terjadi antara 10 hari-8 minggu dan pada manusia 2-3 minggu, dengan masa yang paling lama 1 (satu) tahun, tergantung pada:

a. Jumlah virus yang masuk melalui luka b. Dalam atau tidaknya luka
c. Luka tunggal atau banyak
d. Dekat atau tidaknya luka dengan susunan syaraf pusat e. Perlakuan luka pasca gigitan

Pada hewan percobaan virus masih dapat ditemukan di tempat suntikan selama 14 hari. Virus menuju ke susunan syaraf pusat melalui syaraf perifer kemudian virus berkembang biak di sel syaraf terutama pada hypocampus dan sel Purkinje dan kelenjar ludah.

Pada anjing 3-5 hari sebelum gejala klinis terlihat, kelenjar ludah telah mengandung virus dan akan terus infektif selama hewan sakit. Virus ditularkan terutama melalui luka gigitan, oleh karena itu bangsa karnivora adalah hewan utama penyebar rabies antar hewan atau ke manusia.

PENGENALAN PENYAKIT

Gejala Klinis

Gejala yang terlihat pada umumnya adalah berupa manifestasi peradangan otak (ensefalitis) yang akut baik pada hewan maupun manusia. Pada rnanusia keinginan untuk menyerang pada orang lain umumnya tidak ada. Masa inkubasi pada anjing dan kucing berkisar antara 10 hari sampai 8 minggu. Pada sapi, kambing, kuda dan babi berkisar antara 1 -3 bulan.
Gejala klinis pada anjing dan kucing

Gejala penyakit pada anjing dan kucing hampir sama. Gejala penyakit dikenal dalam 3 bentuk :

a. Bentuk ganas (furious rabies ), masa eksitasi panjang. kebanyakan akan mati dalam 2-5 hari setelah tanda-tanda gila terlihat. (Gambar 6).
b. Bentuk diam atau dungu (dumb rabies), paralisis cepat terjadi, masa eksitasi pendek
c. Bentuk asimptomatis : hewan tiba-tiba mati tanpa menunjukan gejala- gejala sakit.
Tanda-tanda yang sering terlihat sebagai berikut :

a. Pada fase prodormal hewan mencari tempat yang dingin dan menyendiri, tetapi dapat menjadi lebih agresif dan nervous. Reflex komea berkurang/ hilang, pupil meluas dan kornea kering, tonus urat daging bertambah (sikap siaga/kaku).
b. Pada fase eksitasi hewan akan menyerang siapa saja yang ada di sekitarnya dan memakan benda asing. Dengan berlanjut nya penyakit, mata menjadi keruh dan selalu terbuka diikuti inkoordinasi dan konvulsi.
c. Pada fase paralisis maka kornea mata kering dan mata terbuka dan kotor, semua reflex hilang, konvulsi dan mati.
Gejala penyakit pada hewan pemamah biak, berkuku satu dan ternak lainnya hampir sama yaitu gelisah, gugup, liar dan rasa gatal pada seluruh tubuh, kelumpuhan pada kaki belakang dan akhirnya hewan mati. Pada hari pertama atau kedua kemungkinan temperatur naik 1 - 3°C di atas normal, anorexia, expresi wajah berubah dari yang biasa, sering menguak dan ini merupakan tanda yang spesifik untuk hewan yang menderita rabies.

Patologi

Biasanya tidak ada gambaran asca mati yang jelas, jikapun ditemukan biasanya berupa efek sekunder dari gejala syaraf yang ada. Karkas biasanya mengalami dehidrasi dan dalam keadaan buru. Kadang kadang ditemukan bekas trauma, misalnya gigi patah. Pada karnivora sering ditemukan benda- benda asing (corpora aliena) dalam lambung berupa rambut. kayu dan lain- lain.

Secara mikroskopis perubahan yang paling signifikan adalah lesi pada susunan syaraf pusat dan spinal cord. Pada otak biasanya ditemukan perivascular cuffing, gliosis focal atau difus, degenerasi neuron dan inclusion bodies (Negri bodies) intrasitoplasmik pada neuron. Negri bodies ditemukan dalam berbagai ukuran dan biasanya cukup besar pada anjing dan sapi dan relatif lebih kecil pada kucing. Negri bodies paling mudah ditemukan pada barisan neuron pada hipocampus atau pada sel Purkinje pada cerebellum. Negri bodies dapat juga ditemukan pada sel glia, sel ganglion pada kelenjar saliva dan kelenjar adrenal serta pada retina mata. Gambar 7 menunjukkan lesi berupa ensefalitis pada otak yang teraserang rabies disertai perivascular cuffing yang bersifat limfoid.

Diagnosa

Untuk mendiagnosa penyakit rabies selain memperhatikan riwayat penyakit, gejala klinis dan gambaran patologi, pemeriksaan spesimen secara laboratoris perlu dilakukan. Spesimen segar dapat berupa kepala utuh atau otak. Kepala dimasukkan dalam suatu kontainer dalam kondisi dingin (berisi es). Otak (hypocampus) diambil secara aseptis, dimasukkan ke dalam larutan gliserin 50% dan disimpan di dalam termos es. Sebagian otak disimpan dalam bufer formalin.

Diagnosa Banding

Penyakit yang dapat dikelirukan dengan rabies yaitu penyakit dengan gangguan pada susunan syaraf pusat yang disebabkan oleh:

a. Infeksi viral
- Distemper
- Infectious canine hepatitis
- Aujeszky’s disease (pseudo rabies)
- Infeksi oleh Arbovirus
- Australian bat lyssavirus
b. Infeksi bakterial (listeriosis ) dan infeksi mikotik (cryptococcosis)
c. Keracunan oleh sodium fluoro-acetat, logam berat (mis Pb), chlorinated hydrocarbon, dan pestisida (organofosfat, urea dan nitrogen trikhlorid)
d. Infeksi protozoa (babesiosis dan toxoplasmosis)
e. Benda asing pada oropharynx atau oesophagus, dan luka akibat trauma
f. Psikosis akut pada anjing dan kucing
g. Bovine Spongiform Encephalopathy (BSE) pada sapi.


PENGENDALIAN

Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
1. Pencegahan

Anjing mulai divaksinasi pada umur 8 minggu. Daerah yang ingin bebas dari rabies, vaksinasi harus dilakukan terhadap 70% dari populasi anjing.

2. Pengendalian dan Pemberantasan

a. Eliminasi
Pembunuhan anjing tak bertuan dilakukan dengan penembakan. Penembakan harus dilakukan oleh penembak yang mahir. Cara yang terbaik adalah dengan penangkapan dengan jaring dan kemudian hewan diamankan.

Pemberantasan daerah rabies
Daerah dimana terdapat kasus rabies dinyatakan sebagai “daerah rabies” atau daerah tertular.

1) Metode pembebasan sebagai berikut :
- Vaksinasi dan eliminasi hanya dilakukan pada anjing.
- Vaksinasi dilakukan hanya pada anjing yang berpemilik.
- Eliminasi dilakukan terhadap anjing tidak berpemilik dan anjing berpemilik tapi tidak divaksinasi.

2) Strategi pembebasan
Lokasi sasaran dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
- Lokasi tertular:
Yaitu desa/kelurahan tertular yang dalam 2 tahun terakhir pernah ada kasus, klinis. epidemiologis, laboratoris dan desa-desa disekitarnya
- Lokasi terancam:
Yaitu desa kelurahan di luar lokasi tertular dalam satu wilayah kecamatan.
- Lokasi bebas kasus:
Yaitu kecamatan yang berada di luar lokasi tertular yang terancam.

3) Tindakan pada masing-masing lokasi
Pada lokasi tertular dan terancam.
- Dilakukan vaksinasi dan eliminasi 100% dari populasi anjing minimal pada lokasi tertular.
- Vaksinasi dan eliminasi massal dilakukan serentak. Secara umum, perbandingan vaksinasi dan eliminasi adalah 70% : 30%, namun secara spesifik di tiap daerah tergantung pada kebijakan daerah masing-masing yang disesuaikan dengan situasi sosial budaya setempat.
- Setelah kegiatan massal vaksinasi dan eliminasi dilanjutkan kegiatan konsolidasi pada anjing yang baru lahir, mutasi dan belum divaksinasi pada kegiatan massal.
- Kalau ada kasus gigitan positif rabies, maka di wilayah lokasi tertular tersebut segera diadakan vaksinasi dan eliminasi.
- Vaksinasi dan eliminasi massal di lokasi tertular dimulai dari lokasi kasus mengarah keluar (sentripetal).
- Pada saat yang bersamaan dari batas luar lokasi terancam dilakukan vaksinasi dan eliminasi mengarah ke dalam lokasi tertular (sentrifugal).
- Menangkap dan melaksanakan observasi hewan menderita rabies selama 10-14 hari, terhadap hewan yang mati selama observasi atau dibunuh maka harus diambil spesimen untuk dikirim ke laboratorium (BPPH/Lab.type) untuk diagnosa.
 -  Diluar lokasi tertular dan terancam
Tindakan vaksinasi dan eliminasi hanya dilakukan pada lokasi rawan yaitu lokasi yang merupakan jalur lalu lintas anjing yang sulit dikontrol


Bila terjadi kasus rabies maka dilakukan tindakan sebagai berikut :

1) Basuh luka dengan air sabun dengan air yang mengalir, ether atau chloroform lalu bilas dengan air dan oles dengan Yodium tinctura atau alkohol 70%, anti tetanus dan antibiotika.
2) Hewan penggigit supaya dibawa Dinas Peternakan terdekat untuk dilakukan observasi paling lama selama 2 (dua) minggu.
3) Bila hewan mati maka diambil hypocampusnya dalam bentuk segar (dalam es) dalam bahan pengawet glycerin atau dibuat preparat sentuh kemudian dibawa secepatnya pada laboratorium veteriner terdekat untuk peneguhan diagnosa.
4) Bila seseorang atau hewan telah menunjukan gejala klinis rabies, maka tidak ada obat yang efektif untuk mengatasinya


DAFTAR PUSTAKA

ANIMAL HEALTH AUSTRALIA (2011). Disease strategy: Rabies (Version 3.0). Australian Veterinary Emergency Plan (AUSVETPLAN), Edition 3, Primary Industries Ministerial Council, Canberra, ACT.

ANONYMOUS, 1997, Pedoman Teknis Pelaksanaan Pembebasan Rabies Terpadu di Indonesia, Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departernen Pertanian.

ANONYMOUS. 2012. Rabies.http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/image pages/17261.htm, 14 August 2012

ANONYMOUS. 2012. Rabies. http://homepage.usask.ca/~sjd220/virology/index. html. 1 4 November 2012

Assenberg, r.o, b. Delmas, s.c, morin, x. Graham, c.de lamballerie, b. Laubert, j.m. Coutard, j.grimes, r.j. Neyts, b.w. Owens, a. Brandt, p. Gorbalenya, d.i.tucker, b. Stuart, h. Canard, h, bourhy. 2010. Genomics and structure/function studies of Rhabdoviridae proteins involved in replication and transcription. journal homepage: www.elsevier. com/locate/antiviral

BINGHAM J. & M, van der MERWE. (2002). Distribution of rabies antigen in infected brain material: determining the reliability of different regions of the brain for the rabies fluorescent antibody test. J. Virol. Methods, 101, 85–94.

BOURHY, H, P.E. ROLLIN, J. VINCENT, and P. SUREAU. 1989. Comparative Field Evaluation of the Fluorescent-Antibody Test, Virus Isolation from Tissue Culture, and Enzyme Immunodiagnosis for Rapid Laboratory Diagnosis of Rabies. Journal of Clinical Microbiology. Vol 27 N0 23.

BOURNE, J.A. 1983. Handbook of immunoperoxidase staining methods. DAKO Corporation, Santa Barbara, USA.

CENTER FOR DISEASE CONTROL AND PREVENTION. 2011a. The Rabies Virus. (http://www.cdc.gov/rabies/transmission/virus.html), 22 April 2011

CENTER FOR DISEASE CONTROL AND PREVENTION. 2011b. Rabies. Histologic Examination. (http://www.cdc.gov/rabies/diagnosis/histologic. html), 22 April 2011

DAMAYANTI, R., ALFINUS, I.RAHMADANI dan FAISAL. 2009. Deteksiantigen virus rabies pada jaringan otak dengan metode imunohistokimia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner, Bogor, 13-14 Agustus. Pp. 797-717

DAMAYANTI, R., I.RAHMADANI dan Y. FITRIA. 2012. Deteksi antigen virus rabies pada jaringan otak dengan metode direct rapid immunohistochemical test. In Press

DIERKTORAT KESEHATAN HEWAN, DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. DEPARTEMEN PERTANIAN. 2002. Pencegahan dan pemberantasan Rabies.

DIREKTORAT BINA KESEHATAN HEWAN, DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 1999, Manual Standar Metoda Diagnosa Laboratorium Kesehatan Hewan, I. Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, hal 344-348

DUUR, S, S.NAISSENGAR, R.MINDEKEM, C.M.NIEZGODA, I.KUZMIN, C.E.RUPPRECHT and J. ZINSSTAG. 2006. Rabies diagnosis for developing countries. PloS Neglected Tropical Diseases: 2 (1): 1-6

FOOKS. A.R. 2011. New Diagnostic Tools for Rabies in Animals. In: OIE-Global Coference on Rabies Control-Towards Sustainable Prevention at the Source’, Incheon, Republic of Korea, 7-9 September 2011

HSU, S.M., L. RAINE, and H. FANGER. 1981. The use of avidin-biotin peroxidase complex in immunoperoxidase techniques. Am. J. Clin. Pathol.75: 816-
821
KANG, B, J. OH, C. LEE, B.K. PARK,, Y, PARK , K, ONG., K., LEE, B.CHO and D. SONG. (2007). Evaluation of a rapid immunodiagnostic test kit for rabies virus. J. Virol. Methods, 145, 30–36.

LEMBO, T, M. NIEZGODA, A.VELASCO-VILLA, S. CLEAVELAND, E. ERNEST and C.E. RUPPRECHT. 2006.Evaluation of a Direct, Rapid Immunohistochemical Test for Rabies Diagnosis Emerging Infectious Diseases • www.cdc.gov/eid • Vol. 12, No. 2, February 2006

OFFICE INTERNATIONALE DES EPIZOOTIES. 2011. OIE Teresterial Manual. Rabies, Chapter 2.1.13, pp1 –13

OFFICE INTERNATIONALE DES EPIZOOTIES. 2008. Rabies. Manual standard for diagnostic tests and vaccines. Volume 1. pp 304-322

RAO, TV. 2012. Rhabdoviruses.teaching. http://www.slideshare.net/doctorrao/rhabdovirusesteaching

ONDREJKOVÁ, A, J. SÜLI, R. ONDREJKA, Z. BENÍŠEK, R. FRANKA, Š. ŠVRČEK, M. MAĎAR, A. BUGARSKÝ. 2002. Comparison of the detection and quantification of rabies antibodies in canine sera. Vet. Med. – Czech, 47, 2002 (8): 218–221

WORLD HEALTH ORGANIZATION. 1996. Laboratory Techniques in Rabies.Edisi Keempat. Editor : FX Meslin, MM Kaplan dan H Koprowski (sebaiknya secara spesifik bagian yang digunakan sebagai acuan)

Van NOORDEN, S. 1986. Tissue preparation and immunostaining techniques for light microscopy. In : Immunocytochemistry- modern methods and application2nd ed. J.M. POLAK and S. VAN NOORDEN (Eds). Wright. Bristol.

XU, G., P. WEBER, Q, HU, H. XUE, L.AUDRY, C, LI, J.WU and BOURHY H. 2007. A simple sandwich ELISA (WELYSSA) for the detection of lyssavirus nucleocapsid in rabies suspected specimens using mouse monoclonal antibodies. Biologicals, 35, 297–302.