Penyakit Paratubercullosis

Sinonim: Johne’s Disease, Penyakit Johne
A. PENDAHULUAN

Paratuberkulosis dikenal pula dengan nama Johne’s Disease, adalah penyakit hewan menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium paratuberculosis. Disebut sebagai Johne’s Disease karena penyakit ini ditemukan pertama kali oleh Johne dan Frothingham pada sapi di Jerman pada tahun 1895. Ruminansia besar dan kecil, baik yang jinak maupun yang liar, mudah terjangkit oleh penyakit ini.

Pada sapi infeksi M.paratuberculosis sesudah melewati masa inkubasi yang lama (sampai 2 tahun, bahkan dapat lebih) menyebabkan terjadinya enteritis granulomatus yang menahun, yang ditandai dengan diare yang pada mulanya hilang-timbul dan yang kemudian berlangsung secara terus-menerus serta kekurusan yang mencolok pada penderitanya.

Kerugian ekonomi akibat penyakit ini lebih berupa singkatnya umur harapan hidup, hewan diafkir karena sangat kurus serta terjadinya penurunan produksi susu, hewan terserang atau angka kejadian penyakit lebih tinggi dibanding dengan angka mortalitas yang ditimbulkan. Di Siprus misalnya, angka mortalitas akibat paratuberkulosis tercatat sebesar 4% per tahun pada peternakan domba yang diternakkan secara semi-intensif untuk produksi susu yang dipakai sebagai bahan pembuat keju. Sedangkan di Amerika Serikat, serangan paratuberkulosis dalam satu kelompok ternak sapi menimbulkan angka kematian antara 3-10% per tahun.

B. ETIOLOGI


Hewan penderita paratuberkulosis mengeluarkan agen penyebab bersama fesesnya, yang mampu bertahan hidup lama bila mencemari lingkungan sekitarnya. Pada padang penggembalaan (pasture) tercemar, agen penyebab mampu bertahan hidup tanpa berkembang biak dan padang gembalaan demikian tetap infektif sampai 1 tahun Iamanya.

Mycobacterium paratuberculosis adalah bakteri berbentuk batang tebal pendek berukuran kira-kira 0,5-1 mikron, bersifat sangat tahan asam dan di bawah mikroskop sering dilihat dalam kelompok-kelompok kecil (terdiri dari 3 atau Iebih sel bakteri per kelompok). Karena termasuk ke dalam bakteri tahan asam (BTA), maka pewarnaan bakteri menurut Ziehl-Neelsen (Z-N) biasa dipakai dalam pemeriksaan mikroskopik di laboratorium.

Agen penyebab penyakit diketahui peka terhadap cahaya matahari, kekeringan, tanah yang mengandung kalsium tinggi dan pH tinggi. Sedangkan kontak secara terus-menerus dengan urin dan feses memberi akibat berkurangnya ketahanan hidup agen penyebab. Dalam kotoran kandang (cair), M.paratuberculosis mampu bertahan antara 98-287 hari tergantung pada komposisi dan kandungan alkalinitas kotoran tersebut.


Gambar 1. Gambaran M.paratubercullosis melalui mikroskop elektron
Untuk menumbuhkan bakteri tersebut secara in vitro di laboratorium diperlukan media khusus (diantaranya adalah media Herrold yang mengandung mycobactin). M.paratuberculosis termasuk ke dalam kelompok mikobakteria yang bersifat lambat tumbuh (slowly growing Mycobacteria). Di laboratorium, diperlukan sekurang-kurangnya 8 minggu untuk melihat pertumbuhan bakteri ini. Kultur yang sedang diperiksa pertumbuhannya dianjurkan untuk tidak cepat-cepat dibuang sebelum 12 minggu lamanya diinkubasi. Koloni M.paratuberculosis yang baru muncul berukuran sangat kecil (1 mm), berwama putih, mengkilat dan cembung.

Dikenal 3 galur M.paratuberculosis yang menyebabkan paratuberkulosis pada sapi, 1 galur berasal dari sapi dan yang 2 galur lainnya berasal dari domba. Beberapa galur varian juga dikenal, diantaranya adalah galur Norwegia yang diketahui patogenik bagi kambing. Telah diketahui bahwa M.paratuberculosis dapat pula diisolasi dari air susu induk sakit yang memperlihatkan gejala klinis.

C. EPIDEMIOLOGI 

1. Spesies rentan

Paratuberkulosis terutama menyerang ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba. Hewan-hewan lain yang juga rentan adalah rusa, kuda, onta, antelop, llama, alpaka, yak dan babi. Sedangkan mencit dan hamster merupakan hewan-hewan percobaan laboratorium yang mudah ditulari dan sering digunakan dalam penelitian.

Terdapat sejumlah faktor yang berpengaruh pada kerentanan individu hewan terhadap infeksi. Di antara faktor-faktor tersebut adalah besarnya dosis infeksi, umur, termasuk kondisi melahirkan, transportasi dan kekurangan atau kelebihan nutrisi, serta adanya agen imunosupresif seperti virus Diare Ganas Sapi.

Kerentanan antar bangsa sapi terhadap infeksi paratuberkulosis masih menjadi bahan perdebatan. Baik sapi betina maupun sapi jantan, kedua jenis kelamin tersebut mudah terserang paratuberkulosis.

2. Pengaruh Lingkungan

Alkalinitas tanah berpengaruh pada kehebatan gejala klinis. Hewan yang diternakkan pada lahan dengan kandungan alkali tinggi memiliki tingkat kejadian infeksi tinggi namun dengan gejala klinis yang rendah.

Di Amerika Serikat, sapi yang semula ada di daerah dengan kandungan alkali tinggi dipindahkan ke daerah dengan lahan yang asam sering mengalami gejala klinis paratuberkulosis yang bersifat fatal.

Hewan yang diternakkan pada lingkungan tercemar mungkin menjadi hewan yang secara menetap mengeluarkan agen penyebab dalam fesesnya tanpa memperlihatkan gejala klinis sakit. Mengingat masa inkubasi penyakit yang lama, maka pengeluaran agen penyebab bersama feses hewan tertular dapat berlangsung selama 15-18 bulan sebelum gejala klinis penyakitnya terlihat.

3. Sifat Penyakit

Meski paratuberkulosis bersifat menular dari hewan ke hewan, namun penyebarannya lambat dan jalannya penyakit menahun. Pada lingkungan yang memungkinkan terjadinya penularan, hampir seluruh sapi- sapi yang ada terutama pedet menjadi tertular.

Terdapatnya kasus paratuberkulosis pada suatu peternakan yang semula bebas dari penyakit ini, biasanya diawali dengan dimasukkannya ternak baru yang tertular atau ternak pembawa penyakit.

Pada umumnya, hewan muda lebih rentan terhadap infeksi daripada hewan dewasa. Hewan-hewan yang dipelihara dalam kandang akan mendapatkan peluang tertular oleh feses tercemar lebih besar ketimbang hewan-hewan yang hidup di alam. Oleh karena itu, bagi sapi-sapi perah (yang hidupnya selalu ada dalam kandang) berpeluang lebih besar untuk tertular paratuberkulosis ketimbang sapi-sapi potong (yang biasanya dipelihara dalam ranch).

Kejadian baik mastitis maupun ketidak suburan (infertility) secara nyata lebih tinggi terjadi pada sapi-sapi yang tertular paratuberkulosis ketimbang pada sapi-sapi yang normal.

4. Cara Penularan

Di alam, cara penularan paratuberkulosis berlangsung melalui saluran pencernaan makanan, yakni dengan tertelannya agen penyebab yang terdapat dalam pakan atau air minum yang tercemar feses hewan sakit.

Pedet dapat tertular karena mengkonsumsi susu induk yang sakit atau karena diberi susu yang tercemar dengan feses yang mengandung agen penyebab. Penularan secara intrauterin pada pedet dari induk penderita juga dapat terjadi. Di samping itu, dilaporkan bahwa agen penyebab berhasil pula diisolasi dari alat kelamin sapi jantan tertular dan juga dari semennya, bahkan semen yang sudah ditambah antibiotik dan dibekukan.
Gambar 2. Group bottle feed yang dapat merupakan sumber penularan paratuberkulosis
5. Faktor Predisposisi

Gejala spesifik pada sapi berupa kehilangan bobot badan (meskipun nafsu makannya normal), diare, produksi susu menurun. Hewan dapat terinfeksi sebelum umur enam bulan melalui makanan atau susu yang terkontaminasi MAP. Karena perkembangan penyakitnya yang lambat, maka gejala klinik seringkali tidak teramati sampai umur hewan paling sedikit tiga tahun. Tanda klinik ini muncul, seringkali dipicu oleh adanya stres seperti beranak atau kepadatan ternak yang tinggi. Manajemen kebersihan dan hygiene kandang dan peralatan kandang yang baik akan dapat mencegah terjadinya paratuberkulosis.

D. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala Klinis

Dikenal 2 macam gejala klinis paratuberkulosis pada hewan, yakni (1) hewan penderita dengan gejala klinis nyata, dan (2) hewan penderita yang tidak mernperlihatkan gejala klinis apapun (subklinis).

Infeksi M.paratuberkulosis pada sapi biasanya berlangsung sejak umur dini, bahkan sebelum mencapai umur 1 bulan. Namun, mengingat masa inkubasi penyakit yang lama, maka gejala klinis tidak akan terlihat sebelum sapi berumur 2 tahun, lazimnya paratuberkulosis menyerang kelompok sapi umur 2-6 tahun. Batasan umur sapi terserang penyakit ini hendaknya tidak dijadikan sebagai acuan, karena pada dasarnya, paratuberkulosis dapat menyerang pada semua umur sapi. Hewan muda lebih rentan terhadap infeksi dari pada hewan dewasa.

Gejala klinis pada sapi antara lain adalah nafsu makan pada awalnya tetap baik, hanya nafsu minumnya yang meningkat secara berlebihan. Kekurusan tubuh (emaciation) menjadi tanda yang nyata, yang disertai dengan terjadinya busung di bawah mandibula yang akan menghilang bila diare muncul. Tidak terdapat kenaikan suhu badan, namun terjadi penurunan produksi susu sebelum diare menjadi nyata. Feses berkonsistensi lunak dan encer seperti sup tanpa bau menyengat serta pada feses tidak didapatkan baik darah, runtuhan epitel maupun mukus. Diare yang mula-mula terjadinya hilang-timbul, kemudian menjadi makin progresif dan makin berat dan akhirnya berlangsung menetap. Diare yang berlangsung terus menerus, seakan-akan menjadi baik pada saat mendekati akhir masa kebuntingan namun kambuh kembali seperti sebelumnya, bahkan menjadi semakin parah sesudah hewan penderita melahirkan. Bila penyakit berlanjut, maka terjadi kelemahan, busung dan hilang nafsu makan.

Gejala klinis yang menonjol pada kambing dan domba meliputi kekurusan tubuh dan kelemahan umum, disertai dengan bulu yang kasar dan mudah dicabut, biasanya tanpa diare tapi fesesnya sering mukoid membentuk pelet. Kambing sakit menunjukkan diare yang ringan dan kekurusan.

Dalam kelompok sapi tertular dari suatu peternakan, bila dilihat dari sudut patologi klinis, maka hewan-hewan anggota kelompok tersebut dapat dibagi kedalam 4 kategori yaitu

a. Hewan sakit dengan gejala klinis yang jelas;

b. Pembawa penyakit asimptomatik (intermediate and incubating);

c. Hewan tertular tapi tidak terlihat sakit dan tidak menebarkan cukup bakteri yang dapat dideteksi secara kultural (infected-resistant)

d. dari Hewan tidak tertular.

Pembagian ini penting, terutama bila dikaitkan dengan strategi pengendalian penyakitnya.

2. Patologi

Selain kekurusan tubuh penderita yang nyata dan anemia, maka perubahan patologi biasanya terbatas pada saluran pencernaan makanan, termasuk ujung ileum, katup ileosekal, sekum, rektum serta kelenjar-kelenjar getah bening (lymphnodes) yang berkaitan.

Tidak terdapat hubungan antara kehebatan gejala klinis dengan kehebatan lesi yang ditemukan. Pada kasus yang fatal mungkin saja hanya didapatkan perubahan PA dan lesi mikroskopik yang minimal; sementara itu, lesi klasik dapat ditemukan pada bedah bangkai hewan yang kelihatannya sehat.

Lesi awal terdapat pada dinding usus kecil dan kelenjar getah bening mesenterik, sehingga pada tahap ini dapat dikatakan bahwa infeksi terjadi pada organ tersebut. Bila penyakit berlanjut, maka lesi mikroskopik terlihat pada berbagai organ, seperti pada sekum, kolon dan pada kelenjar getah bening mesenterik. M. paratuberkulosis ditemukan pada organ tersebut, bahkan akhirnya pada seluruh tubuh hewan penderita.

Pada sapi, lesi patognomonik yang perlu diperhatikan adalah berupa penebalan dan korugasi yang terdapat pada lapisan mukosa ujung ileum serta pembesaran dan busung pada kelenjar getah bening mesenteriknya. Preparat ulas baik dibuat dari kerokan lapisan mukosa ileum maupun dari sayatan kelenjar getah bening mesenterik tersebut untuk pemeriksaan mikroskopik di laboratorium.

Lesi  klasik   pada  usus   berupa   hipertrofi   difus   dari   lapisan  mukosa yang akan berkembang menjadi lipatan-lipatan (rugae) yang tebal dan melintang. Lipatan-lipatan yang telah berkembang konsistensinya tidak lembut lagi ujungnya berwarna kemerahan karena pembendungan dan permukaan mukosanya berkesan lunak. Kadang-kadang terjadi jendolan nekrosis, tapi bukan perkejuan atau perkapuran.

Pada   domba   dan   kambing,   lesi   berupa   penebalan   ringan   pada mukosa dengan jendolan-jendolan perkejuan dan perkapuran baik pada usus maupun pada kelenjar getah bening yang berkaitan dijumpai pada 25% hewan tertular.
3. Diagnosa

Paratuberkulosis tidak dapat didiagnosa hanya berdasarkan pada pemeriksaan sepintas pada bedah bangkai hewan tersangka, yakni terdapatnya penebalan pada dinding usus penderita. Pemeriksaan lanjutan di laboratorium diperlukan.

Diagnosa paratuberkulosis ditegakkan bukan saja atas dasar terlihatnya gejala klinis saja (bagi hewan sakit yang disertai gejala klinis), melainkan juga harus dilakukan peneguhan melalui berbagai pemeriksaan lanjutan di laboratorium.


Gambar 3. Mycobacterium avium subsp. paratuberculosis (MAP)
Pemeriksaan di laboratorium meliputi pemeriksaan mikroskopik preparat ulas dan pemeriksaan kultural bakteriologi dari spesimen feses, kerokan lapisan mukosa usus kecil dan juga dari kelenjar getah bening mesenterik dan pemeriksaan serologis yang meliputi uji pengikatan komplemen (CF test, CFT), ELISA dan agar gel imunodifusi (AGID), yang ditunjang pula dengan hasil pemeriksaan histopatotoginya.

CFT digunakan terhadap kasus-kasus yang secara klinis dicurigai paratuberkulosis, juga untuk keperluan perdagangan (impor) sapi. ELISA memiliki tingkat sensivitas yang sebanding dengan CFT pada kasus- kasus klinis, bahkan ELISA Iebih sensitif dibandingkan CFT pada kasus- kasus subklinis paratuberkulosit. Sedangkan uji AGID bermanfaat sebagai peneguhan diagnosa pada ternak-ternak (sapi, domba dan kambing) yang secara klinis dicurgai terserang paratuberkulosis.

Pemeriksaan lainnya, uji yang melibatkan peran DNA (DNA probes), seperti reaksi polimerase berantai (PCR) juga dikembangkan. Dalam hubungan ini, peneliti Korea menyatakan bahwa untuk mendiagnosa paratuberkulosis, PCR memberikan hasil yang jauh lebih cepat ketimbang cara pemeriksaan secara kultural seperti yang biasa dilakukan.

Dalam hubungan diagnosa paratuberkolosis, keberhasilan mengisolasi agen penyebab secara bakteriologi tetap dianggap sebagai ”gold standart” atau cara diagnosa yang paling akurat dan dibutuhkan waktu sekurang- kurangnya 8 minggu (bahkan dapat lebih) untuk mengetahui hasil dan kultural tadi.

Ketelitian dalam mendiagnosa dapat diperbaiki dalam menempuh 2 langkah, yakni langkah pertama melakukan uji-uji serologis, yang bersensitivitas dan berspesifitas tinggi, untuk menetapkan ada atau absennya penyakit; yang dilanjutkan dengan langkah kedua, yakni melakukan pemeriksaan feses secara kultural, untuk menemukan hewan mana yang menebarkan agen penyakit dalam feses.

Terhadap kelompok hawan yang di curigai tertular paratuberkulosis secara sub klinis, maka diagnosa sewaktu hewan masih hidup dilakukan melalui penerapan uji johnin. Uji johnin adalah suatu uji serologis yang didasari oleh dapat diperlihatkannya reaksi hipersensivitas tipe tertunda (delayed typehypersesitivity reaction) Uji johnin pada sapi dilakukan dengan menyuntikan secara intradermal

0,1 ml PPD johnin pada sepertiga bagian tengah kulit leher hewan, yang dilanjutkan dengan penafsiran reaksinya pada 72 jam berikutnya.

Namun dalam hubungan dengan uji johnin ini, memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Selain itu, uji johnin juga mendatangkan hasil uji yang rnenyimpang berupa positif-palsu dan negatif-palsu yang berlebihan.

Pada tahun akhir-akhir ini dikembangkan pula suatu uji yang Iebih baik daripada uji johnin, yakni gamma interferon assay, suatu uji imunoseluler yang dapat diaplikasikan pada sapi, kambing dan domba. Namun penggunaan uji tersebut harus dilakukan bersama-sama dengan uji-uji serologis yang lain.

4. Diagnosa banding

Beberapa jenis penyakit yang disebutkan di bawah ini dapat dikelirukan dengan paratuberkolosis dengan manifestasi gejala klinis jelas.

a. Kekurusan tubuh yang mencolok pada penderita paratuberkolosis dapat dikelirukan dengan penyakit tuberkolosis sapi tahap lanjut, meskipun pada penyakit tuberkulosis sapi Iazimnya tidak disertai dengan diare yang menahun.

b. Terdapatnya diare menahun pada penderita paratuberkolosis dapat dikelirukan dengan penyakit Diare Ganas Sapi, namun diketahui bahwa agen penyebab keduanya jelas berbeda.

c. Salmonellosis, coccidiosis dan parasit cacing (dimana ketiga penyakit tersebut biasa disertai dengan diare) dapat mengelirukan pula, namun biasanya ketiga penyakit tersebut diatas berjalan akut dengan agen penyebabnyapun berbeda.

E. PENGENDALIAN
 
1. Pengobatan

Terhadap agen-agen kemoterapik tertentu (invitro), diketahui bahwa M.paratuberculosis lebih resisten dari pada M.tuberculosis, oleh karena itu prospek pengobatan bagi penderita paratuberculosis sesungguhnya sangat kecil.

Beberapa jenis obat telah dicoba dengan hasil yang bervariasi, di antaranya Isoniazid misalnya, ternyata gagal untuk menyembuhkan kasus- kasus klinis paratuberculosis.

Pada sapi, clofazimine memberi efek perbaikan klinis yang bersifat sementara saja. Pada kambing, kombinasi antara 500 mg dihidrostreptomisin yang disuntikan intramuskuler dan 300 mg rifampin dengan 300 mg isoniazid yang diberikan per oral 2x sehari, mendatangkan efek perbaikan klinis.

2. Pencegahan Pengendalian dan Pemberantasan

Mengingat kekurangtelitian uji-uji diagnostik yang tersedia, ditambah pula dengan rendahnya kasus-kasus klinis yang ditemui di peternakan, maka tidaklah mungkin untuk melaksanakan pemberantasan paratuberkulosis secara tuntas. Oleh karena itu, tindakan yang mungkin diambil berupa pembersihan menyeluruh peternakan tertular dan kemudian mengisinya kembali dengan ternak baru yang bersih dari agen penyakit. Selanjutnya, tindakan penting lainnya adalah mencegah masuknya hewan-hewan yang tertular ke dalam peternakan yang bersangkutan.

Dalam hal pengendalian paratuberkulosis pada suatu peternakan, masalah utama yang dihadapi adalah sulitnya pendeteksian sapi-sapi terinfeksi secara subklinis.

Pemberantasan penyakit cara lama mendasarkan pada ditemukan nya hewan-hewan pembawa dengan menggunakan berbagai uji seperti disebutkan di atas (diagnosa) yang kemudian dilanjutkan dengan pemotongan hewan-hewan yang bereaksi positif di Rumah Potong Hewan (RPH). Sesudah itu, peternakan tertular dikarantina dan ternak yang tersisa diuji ulang pada selang waktu 6 bulan hingga dicapai hasil negatif untuk 2x uji berturut-turut. Namun cara tersebut jarang mendatangkan sukses untuk pemberantasan paratuberkulosis.

Alternatif pengendalian yang lain adalah cara ‘culture and cull’’ Setiap 6 bulan sekali, dari semua sapi dewasa dalam peternakan dilakukan pemeriksaan feses secara kultural. Sapi, yang hasil pemeriksaan fesesnya positif, bersama anak-anaknya dipotong. Dengan cara ini, derajat pencemaran pada sekitar (termasuk padang gembalaan) menurun cepat karena hewan penebar agen penyakit sudah tersingkirkan.

Apapun cara pengendalian penyakit yang diterapkan, maka semua itu menuntut waktu pelaksanaan yang lama dan pengorganisasian yang baik serta dana yang besar, itupun dengan hasil yang belum tentu memuaskan.

Vaksinasi merupakan upaya untuk mengurangi tingkat penyebaran infeksi dan melindungi hewan ybs dari gejala klinis penyakit. Terdapat 2 jenis vaksin, yakni vaksin yang mengandung M.paratuberculosis hidup yang dilemahkan (Vallee’s vaccine) dan vaksin yang mengandung agen penyebab yang dimatikan (Sigrudsson’s vaccine).

Pada sapi, vaksinasi dilakukan pada umur 1 bulan. Vaksinasi ulang tidak dianjurkan, karena efek vaksinasi kadang-kadang menimbulkan benjolan (nodules) yang tak terlihat. Selain itu, sapi-sapi yang sudah divaksinasi, sampai 5 minggu pasca vaksinasi dan yang terakhir pada 18 minggu pasca vaksinasi, akan memberikan reaksi positif terhadap uji johnin dan atau uji tuberkulin yang dipelakukan. Dengan kata lain, vaksinasi hanya dianjurkan bagi daerah-daerah yang tertular berat paratuberkulosis dan pada kelompok ternak yang bebas-tuberkulosis, tetapi bukan pada daerah yang sedang menerapkan proyek pemberantasan tuberkulosis.

Pada domba, penggunaan vaksin mati Sigrudsson memberikan hasil baik. Terdapat 2 pendekatan yang sifatnya umum untuk mengendalikan permasalahan paratuberkulosis pada sapi, yaitu

a. Bila tingkat kejadian penyakit cukup rendah, maka program ”test and slaughter” pada suatu peternakkan tertular diberlakukan dengan catatan semua sapi harus dikeluarkan dari peternakan dan peternakan ybs dikosongkan bagi semua jenis ruminansia selama sekurang-kurangnya 1 tahun.

b. Bila tingkat kejadian penyakit tinggi dan proyek pemberantasan tuberkulosis telah diselesaikan atau sama sekali tidak pernah diadakan, maka program vaksinasi dianjurkan.

Sekelompok sapi berstatus bebas-paratuberkulosis, bila memenuhi usulan kriteria sbb.:

a. Bebas dari penyakit (paratuberkulosis) selama 3 tahun terakhir,

b. Negatif uji johnin (intradermal) 2x berturut-turut pada semua sapi-sapi umur 6 bulan ke atas pada selang 6 bulan.

c. Negatif hasil pemeriksaan feses (kultural) pada semua sapi umur 2 tahun, diulang setiap 6 bulan sekali.

Tingkat kejadian paratuberkulosis di banyak negara dimana penyakit ini biasa ditemukam pada dewasa ini tidak cukup tinggi dan anggapan bahwa tingkat ketelitian uji-uji diagnostik yang ada belum cukup tinggi, sehingga program pemberantasan paratuberkulosis tidak mereka lakukan.


F. DAFTAR PUSTAKA

Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc Rahway, New Jersey, USA.

Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition.

Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.

Barton MD and CR Walks 1980. Johne’s Disease Paratuberculosis. The Australian Bureau Of Animal Health, Canberra.

Bruner DW and JH Gillespie 1977. Mycobacterium Paratuberculosis. In: Hagan’s Infect. Diseases Of Dom. Animals. 6th Edition. Cornell Univ. Press, Ithaca.

Direktur Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta Indonesia.

Johnson-Ifearulundu Yi and JB Kaneene 1997. Epidemiology And Economic Impact Ok Subclinical Johne’s Disease: A Review. Vet. Bulletin, 67 (6): 437-447. 

Kementan, 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia 

Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University Press Ames.

Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.

Radostids OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailiere Tindall. London England.

Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier Science, St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.

Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.

Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum) Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.