Penyakit Melioidosis

Sinonim : Malleomyces pseudomallei, Loeffrella whitmori, Bacillus whitmori, Pseudomasa pseudomallaei, Loeffrella pseudomallei, pseudoglanders.
A. PENDAHULUAN

Melioidosis adalah suatu penyakit yang menyerupai glanders, menyerang berbagai jenis hewan dan manusia. Pertama kali dilaporkan oleh Whitmore dan Krishnaswani di Rangon pada tahun 1912. Gambaran umum penyakit ini adanya septisemia, pyemia dan pembentukan granuloma yang khas pada hampir semua bagian tubuh. Di daerah endemis, Melioidosis adalah penyakit penting pengebab sakit dan kematian pada manusia dan hewan. Bersifat epizootik pada marmot dan kelinci. Penyakit ini juga menyerang tikus liar yang diduga merupakan reservoar penyakit. Manusia tertular karena gigitan kutu tikus Xenosylla cheopsis atau nyamuk Aedes aegypti. Serum pasien dapat mengaglutinasi bakteri pada pengenceran 1:2.560. Gambaran nekropsi dan klinisnya adalah serupa dengan Malleus (Glanders) pada kuda.

Pada Februari 1967 ada 35 kasus melioidosis pada orang Amerika di Vietnam, dimana 8 orang diantaranya mati dengan gejala pneumonia, septicemia, atau keduanya. Beberapa kejadian memperlihatkan adanya ulcer nekrotik pada kulit yang dihubungkan dengan lymphodenopathy.

Manusia bisa terinfeksi karena kontaminasi pada kulit yang luka, melalui makanan atau minuman, Kasus pada manusia sulit diobati dan sering fatal.

B. ETIOLOGI
 
Penyakit melioidosis disebabkan oleh bakteri Pseudomonas pseudomallei (Malleornyces). Bacillus ini sama dengan bacillus glanders tetapi motil dan tumbuh baik pada gelatin temperatur 200C, flagella ada 1-4 yang polar. Tumbuh pada agar biasa, mukoid atau kering berkerut, oksidasi positif, tumbuh pada Mac Conkey agar dan tidak memproduksi H S

Gambar 1. Koloni Pseudomallei pada agar Ashdown menunjukkan karakteristik morfologi menyerupai kepala bunga jagung.
C. EPIDEMIOLOGI

1. Spesies rentan

Kasus penyakit pernah dilaporkan terjadi pada rodentia, kelinci, burung rnerpati, hewan-hewan di kebun binatang termasuk rusa, anjing, kucing, kuda, kerbau, sapi, domba, kambing dan babi. Penyakit ini dapat dibuat secara eksperimental pada tikus besar (rat), tikus kecil (mice) dan hamster. Penyakit dapat juga terjadi pada manusia.

2. Pengaruh Lingkungan

Pseudomonas pseudomallei relatif peka terhadap pengaruh lingkungan alam sekitarnya dan desinfektan, meskipun demikian dapat hidup dalam air pada suhu ruangan selama 8 minggu, dalam air lumpur selama tidak lebih dari 7 bulan dan dalam tanah di laboratorium selama 30 bulan.

Di daerah tropis dan subtropis infeksi melalui air kemungkinan merupakan sumber infeksi yang penting. Derajat virulensi yang beragam terlihat pada strain-strain yang berbeda dari bakteri ini, tetapi kelaparan dan kondisi stres yang Iainnya dapat meningkatkan kepekaan hewan percobaan terhadap infeksi. Sebagian besar kasus terjadi pada musim hujan dan di daerah-daerah dataran rendah berawa.

3. Sifat Penyakit

Melioidosis merupakan penyakit zoonosis penting. Penyakit ini pernah outbreak pada babi, kambing dan domba di Australia, daerah Karibia dan Kamboja. Pada kuda di Malaysia, Iran dan Perancis (1976-1978). Pada babi dan sapi di Papua New Guinea dan Australia. Yang sangat penting pada ternak adalah domba dengan mortalitas tinggi pernah dilaporkan.

4. Cara Penularan


Penyakit ini dapat bertahan dalam jangka waktu yang panjang pada hewan rodentia, menyebabkan hewan ini menjadi reservoir infeksi yang penting untuk manusia dan kemungkinan bagi spesies Iainnya. Infeksi dapat disebarkan melalui zat makanan dan air minum yang terkontaminasi ekskreta tikus, oleh gigitan serangga, oleh abrasi kulit dan per-inhalasi. Penularan transplacental pernah dilaporkan pada domba, babi dan kera. Penularan nosocomial telah dilaporkan pada 4 ekor kucing pada RS hewan, kemungkinan melalui injeksi multidosis yang terkontaminasi.

5. Faktor Predisposisi

Cuaca yang parah seperti banjir, Tsunami, dan topan dapat merupakan faktor terjadinya penyakit. Pada manusia, faktor risiko penting yang mempengaruhi melioidosis yang parah adalah adanya penyakit ginjal atau diabetes mellitus. Faktor risiko lainnya pada manusia adalah adanya talasemia, penyakit ginjal, dan cystic fibrosis. Modus infeksi diyakini dapat melalui kulit, atau melalui inhalasi aerosol. Meningkatnya kejadian penyakit ada hubungan jelas dengan meningkatnya curah hujan.


D. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala Klinis

Pada manusia, penyakit ini sangat fatal, septisemia akut terjadi setelah sakit selama 10 hari. Melioidosis pada rodentia juga sangat fatal yang ditandai dengan adanya kelemahan, demam serta keluar lendir dari mata dan hidung dan berlangsung lama yaitu 2-3 bulan.

Pada domba terutama adalah kelemahan dan terbaring yang kemudian kematian terjadi dalam 1-7 hari. Pada domba yang diinfeksi untuk percobaan terjadi demam yang disertai anoreksia, tidak dapat berjalan normal dan keluar eksudat kuning kental dari hidung dan mata. Sebagian hewan menunjukkan gangguan syaraf pusat yaitu cara berjalan/berlari yang tidak normal, berjalan berputar-putar, menggelengkan kepala, kebutaan dan agak kejang.

Pada kambing gejalanya menyerupai bentuk akut pada domba, tetapi lebih sering berlangsung kronis. Pada babi penyakit ini biasanya kronis dan dimanifestasikan oleh cervical lymphadenitis tapi pada sebagian outbreak tanda-tandanya sama dengan pada spesies lain. Pada suatu outbreak dapat terjadi kelumpuhan sementara di bagian posterior, demam, batuk, ingus dari hidung dan lendir dari mata, anoreksia, keguguran dan kadang-kadang berakhir dengan kematian.

Pada kuda rangkaian gejalanya adalah pneumonia metastasis akut disertai demam tinggi dan berlangsung singkat. Sedikit batuk dan sedikit ingus serta tidak ada respons terhadap sebagian besar jenis obat yang digunakan dalam pengobatan.

Gejala klinis pada kuda meliputi septisemia, hypertheremia, oedema, kolik, diare dan lymphangitis pada kaki. Pada kasus sub akut dapat menjadi lemah, kurus dan terbentuk oedema. Kuda yang terserang penyakit ini dapat hidup beberapa bulan. Kasus meningoencephalitis


2. Patologi

Pembentukan penyakit ini secara alam adalah sama dengan halnya Malleus, yaitu dengan diawali septisemia atau bakteriemia dan lokalisasi pada berbagai organ. Secara eksperimen, Melioidosis pada kambing ditandai oleh adanya septisemia dengan mikroabses yang menyebar luas setelah disuntik secara intra-peritoneal dan bila secara subkutan maka terbentuk penyakit yang kronis disertai abses pada paru-paru dan limpa.

Banyak abses di sebagian besar organ, terutama di sistem pernapasan termasuk ke bagian paru-paru, limpa dan hati. Abses juga terjadi di bagian subkutan dan lymphoglandulla yang merupakan ciri dari penyakit ini. Pada domba, abses ini mengandung nanah berwama hijau yang kental atau mengeju serupa dengan yang ditemukan pada penyakit karena serangan Corynebacterium pseudotuberculosis. Lesi-lesi pada mukosa hidung bisa menjadi robek dengan pembentukan ulser yang kasar. Polyarthritis akut dengan pembengkakan kapsul persendian oleh cairan yang mengandung nanah kehijauan dalam jumlah banyak dan meningoencephalitis akut ditemukan pada kasus-kasus penyakit secara percobaan.

3. Diagnosa

Bakteri ini mudah ditumbuhkan pada kebanyakan media dalam waktu 48-72 jam. Injeksi terhadap marmut dan kelinci menimbulkan penyakit yang menciri. Diagnosa dengan uji alergi pada kulit dengan menggunakan melioidin sebagai antigen, CFT dan Hl test. Diagnosa serologis dapat dilaksanakan dengan uji HA, Aglutinasi dan CFT.

Peneguhan diagnosa dengan isolasi dan identifikasi bakteri pseudomonas pseudomallei pada media kultur.


4. Diagnosa Banding
Banyaknya abses pada berbagai organ dapat dibedakan dengan penyakit Gaseous Lymphadenitis pada domba. Lesi-lesi pada nasal actinobacillosis pada domba juga menyerupai melioidosis, tetapi penyakit ini relatif tidak fatal dan isolasi bakterinya menjamin diagnosa positif. Pada kuda penyakit ini mungkin dikelirukan dengan Malleus tetapi tidak ada pembesaran lympnodes pada mukosa hidung dan kulit.

E. PENGENDALIAN

1. Pengobatan

Hanya sedikit informasi yang ada tentang pengobatan yang memuaskan terhadap melioidosis. Pengobatan dengan pemberian antibiotik. Uji in-vitro menunjukkan bahwa oxytetracycline, novobiosin, chloramphenicol dan sulphadiazine mungkin sangat bermanfaat dan diantaranya oxytetracycline adalah yang terbaik. Penicillin, streptomycin, chlortetracycline dan polymixin tidak efektif dalam pengobatan melioidosis. Chloromycetin sudah terlihat efektif untuk pengobatan pada kuda.

Rifampicin, chloramphenicol dan tetracycline paling efektif, sedang ampicillin dan kanamycin kurang efektif. Kanamycin dan sulfadiazine mengurangi aktifitas pengobatan pertama bila dikombinasi dengan chloramphenicol atau tetracycline.
2. Pengendalian

Pemberantasan penyakit harus berdasarkan pada pemberantasan hewan yang sudah terinfeksi, dan disinfektasi terhadap kandang serta peralatan pada daerah yang tertular dan juga pada daerah sekitarnya.  



F. DAFTAR PUSTAKA
Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc Rahway, New Jersey, USA.

Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition.

Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.

Direktur Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta Indonesia.

Kementan, 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia

Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University Press Ames.
Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia.

Radostids OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailiere Tindall. London England.

Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier Science, St Louis London Philadelphia Sydney Toronto.
Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia. Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum) Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.