Penyakit Babesiosis

Sinonim : Piroplasmosis, Mexican fever (Demam Mexiko), red water, splenic fever, bloody murrain Texas Fever (Demam Texas Sapi), Cattle Tick Fever

A. PENDAHULUAN

Babesiosis adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh Babesia sp dan terdistribusi di dalam sirkulasi darah. Penyakit ini tersebar luas di seluruh dunia dan menyerang binatang liar dan ternak, terutama ternak sapi yang dipelihara di daerah tropis dan sub tropis. Morfologi Babesia sp sangat khas, yaitu berbentuk seperti buah pear (the pear shaped form) yang berada didalam butir darah merah (intraerythrocytic) inang yang terinfeski. Disamping itu, kasus Babesiosis juga dilaporkan menyerang pada manusia sehingga dimasukkan ke dalam penyakit zoonosis. Rata-rata prevalensi babesiosis sapi potong asal Australia berdasarkan pemeriksaan darah di pelabuhan Tanjung Priok mencapai 10,5%. Mortalitas akibat Babesiosis berkisar antara 5 – 10% meskipun ternak telah diobati. Adapun jika tidak dilakukan tindakan pengobatan, mortalitas dapat mencapai 50-100%. Beberapa studi menunjukkan bahwa Babesiosis perlu dipertimbangkan sebagai salah satu penyakit protozoa darah sebagai penyebab terjadinya kematian pada sapi dan kerbau. Penyakit Babesiosis di Negara Asia bagian Timur dan Selatan diyakini tersebar melalui sapi import. Infestasi parasit ini menimbulkan kerugian ekonomis yang besar berupa pertumbuhan terhambat, penurunan berat badan, penurunan daya kerja dan reproduksi, termasuk biaya pembelian desinfektan serta vaksin.

B. ETIOLOGI

Babesiosis disebabkan oleh protoza darah intraseluler dari Babesia sp. Nama Babesia sendiri diambil dari penemunya, yaitu Victor Babes yang mengidenfikasi organisme didalam sel darah merah pada tahun 1888. Selanjutnya, pada tahun 1893, Victor Babes kembali menemukan protoza intra eritotrosit pada penderita sapi yang mengalami haemoglobinuria. Adapun kasus Babesiosis pertama kali ditemukan pada peternak sapi di daerah Yugoslavia pada tahun 1957. Berdasarkan taksonominya, Babesia sp tergolong dalam Filum Apicomplexa, Sub-kelas Piroplasma, Ordo Piroplasmida, Famili Babesiidae dan Genus Babesia.

Di Indonesia, umumnya kasus babesiosis disebabkan oleh B.bovis dan B.bigemina, keduanya dapat dibedakan secara morfologi. Babesia bovis berbentuk cincin- signet yang bervakuol dan mempunyai merozoit berukuran 1,5-2,4 µm yang terletak di tengah-tengah eritrosit, sedangkan B.bigemina berbentuk periform, bulat,oval atau tidak teratur, berpasang-pasangan dengan ukuran diameter 2-3 µm dan panjang 4-5 µm.

C. EPIDEMIOLOGI

1. Siklus Hidup
Lama waktu yang diperlukan oleh Babesia sp dari mulai menginfeksi sampai terlihat diperedaran darah sekitar 7-10 hari. Berdasarkan tahap reproduksinya, perkembangan parasit ini dapat dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu 1) Gamogoni (formasi dan fusi gamet di dalam usus caplak); 2) Sporogoni (reproduksi aseksual dalam kelenjar ludah); dan 3) Merogoni (reproduksi aseksual pada inang vertebrata).

Sporozoit yang berada didalam kelenjar ludah vektor (caplak) akan berpenetrasi ke dalam eritrosit inang, selanjutnya parasit ini akan berkembang didalam butir darah merah dan berubah menjadi bentuk tropozoit, yang kemudian berdiferensiasi dan bertunas dua atau empat membentuk merozoit. Bentukan merozoit yang telah tumbuh sempurna (ukuran panjang 1-5 µm) akan merusak butir darah merah dan pindah ke butir darah merah yang baru. Siklus ini terus berlanjut sampai tingkat parasitemianya tinggi dan menyebabkan induk semang mati.

2. Sifat alami agen
Babesia sp memiliki kemampuan untuk menghindar dari proteksi respon imun inang sehingga proteksi ini tidak dapat mencegah terjadinya infestasi berulang, namun hanya mampu menurunkan tingkat parasitemia, morbiditas dan mortalitas inang ketika terjadi re-infestasi. Disamping itu, respon imun yang ditimbulkan oleh Babesia sp mempunyai karakteristik reaksi silang (cross immunity). Imunitas yang disebabkan oleh B.bigemina mampu melindungi inang yang terinfestasi oleh B.bovis (cross protected).

3. Spesies rentan
Hampir seluruh hewan rentan terhadap infestasi Babesia sp. Umumnya sapi dewasa lebih rentan dibandingkan dengan sapi muda. Sapi Bos taurus juga dilaporkan lebih sensitif terhadap serangan Babesia sp dibandingkan Bos indicus atau persilangannya.

4. Pengaruh Lingkungan
Caplak sebagai vektor penyakit ini banyak ditemukan pada lingkungan yang hangat dan lembab, bahkan mampu bertahan hidup pada daerah- daerah kering-dingin atau kering-panas hingga pada ketinggian 2000 m.

5. Sifat penyakit
Babesiosis pada umumnya bersifat kronis, tetapi terkadang dapat juga bersifat akut bahkan menyebabkan kematian pada ternak dengan tingkat parasitemia yang tinggi.

6. Cara Penularan
Babesiosis ditularkan melalui vektor caplak. Caplak yang berinang satu menularkan secara transovarial, sedangkan caplak berinang dua atau tiga penularannya secara “stage to stage“. Parasit ini masuk ke dalam tubuh caplak pada saat menghisap darah inang. Di dalam tubuh caplak, Babesia sp akan memperbanyak diri di dalam sel epitel saluran pencernaan, selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh dan melakukan invasi ke indung telur. Babesia akan berada di dalam telur caplak yang akan berkembang menjadi larva (transovarial transmission).

D. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala Klinis
Secara garis besar, gejala klinis pada ternak (sapi Bos Taurus) yang mengalami babesiosis dapat digolongkan menjadi tiga katagori, yaitu :

a. Susceptible, yaitu hewan dengan gejala klinis dan membutuhkan pengobatan untuk mencegah kematian (hewan rentan).

b. Intermediate, yaitu hewan dengan gejala klinis parasitemia, penurunan packed cell volume (PCV) ≥ 21,5 % yang ditandai dengan meningkatnya suhu tubuh. Pada kelompok hewan ini, tidak memerlukan pengobatan dengan segera karena dapat seembuh dengan sendirinya.

c. Resistant, yaitu hewan yang tidak menunjukkan gejala klinis tetapi ditemukan B.bovis dalam preparat darah. Terjadi penurunan PCV < 21,5% dan hewan tidak mengalami peningkatan suhu tubuh yang nyata.

3. Patologi
Hewan yang menderita babesiosis secara akut, akan mengalami pembesaran limpa dan pulpanya berwarna merah kehitaman, serta konsistensinya lembek, sedangkan pada kasus kronis berwarna kekuningan dan terjadi penonjolan (splenic corpuscles). Organ hati mengalami pembengkakan, pucat kekuningan dengan kantong empedu berisi cairan kental kehitaman. Pada jantung dijumpai adanya bintik-bintik merah didaerah endokardium dan epikardium serta perikardium berisi eksudat bercampur darah. Paru penderita babesiosis mengalami busung, dengan ginjal yang membesar, berwarna coklat serta adanya jaringan lemak disekelilingnya yang juga mengalami busung. Kemih berwarna kemerahan atau kecoklatan. Mukosa usus menebal, mengalami odema dan ikterik serta terjadi gastroenteritis.

4. Diagnosa
Diagnosa penegakan Penyakit babesiosis dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain :

a. Pemeriksaan mikroskopis melalui preparat ulas darah tipis dari ujung telinga sapi. Ulas darah dapat difiksasi menggunakan methyl alcohol dan diwarnai dengan pewarnaan Giemsa selama 45 menit. Setelah dicuci dengan air, preparat dikeringkan dalam suhu ruang. Pemeriksaan parasit ini menggunakan mikrsoskop cahaya dengan pembesaran 1000 X. Gambaran parasit di dalam sel darah merah berbentuk ring mirip dengan morfologi tropozoit pada Plasmodium malaria, hanya saja pada Babesia tidak menunjukkan adanya pigmen.

b. Metode lain adalah dengan cara Indirect Immunoflourescent Antibody Assay. Metode ini lebih banyak digunakan untuk manusia.

c. Diagnosa juga dapat dilakukan dengan tehnik Polymerase Chains Reaction (PCR), tetapi tehnik tidak mampu membedakan infestasi yang terjadi secara akut atau kronis.

d. Enzim Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk mendiagnosa B. bovis menggunakan antigen seluruh merozoite sedangkan ELISA untuk B. bigemina belum memberikan hasil yang baik karena antibodi terhadap B. bigemina dilaporkan kurang sensitif. Adapun metode ELISA untuk B. divergens belum divalidasi.

e. PCR – ELISA dilaporkan setidaknya 1000 kali lebih sentisitif daripada preparat ulas darah.

f. Tidak disarankan untuk melakukan inokulasi parasit ini pada hewan percobaan.

5. Diagnosa Banding
Trypanosomiasis, Anaplasmosis, Theileriasis, Bacillary haemoglobinuria, Leptospirosis, Eperythrozoonosis, Rapeseed poisoning dan Chronic copper poisoning.

E. PENGENDALIAN

1. Vaksinasi dan Pengobatan
Hewan yang menderita babesiosis dapat diobati degan diminazene diaceturate, imidocarb, amicarbalide. Efektiftas pengobatan sangat tergantung pada deteksi dini penyakit ini.

2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pencegahan
Langkah pencegahan dapat dilakukan dengan cara menghindari kontak dengan ternak yang diinfestasi oleh tungau karena berpotensi untuk menularkan babesiosis, misalnya dengan melakukan penyemprotan insektisida atau repellant. Beberapa jam setelah digigit tungau yang terinfestasi Babesia sp, hewan akan menderita babesiosis.

b. Pengendalian dan Pemberantasan
Pengendalian Babesiosis harus dilakukan dengan cara mengkombinasi antara kontrol terhadap penyakitnya dan vektor caplak. Pengobatan babesiosis dapat dilakukan seperti yang dijelaskan pada point E.1. Sapi yang akan diimport berasal dari daerah endemik babesios sebaiknya berumur kurang dari 12 bulan.


F. DAFTAR PUSTAKA

Benavides MV and Sacco MS 2007. Differential Bos Taurus cattle response to Babesia bovis infection. Vet. Parasit. 150:54-64.

Dewi RS 2009. Babesiosis pada sapi potong impor dari australia melalui pelabuhan Tanjung Priok. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Goes TS, Goes VS, Ribeiro MFB. and Gontijo CM 2007. Bovine Babesiosis: Anty-erytrhrocyte Antibodies Purification from The Sera of Naturally Infected Cattles. Vet. Immunol. Immunopath.116: 215-218.

Hilpertshauser H, Deplzes P, Schnyder M, Gern L and Mathis A 2006. Babesia spp. Identified by PCR in Ticks Collected from Domestic and Wild Ruminants in Southern Switzerland. App. and Envirom. Microbiol. 72:6503-6507.

Homer MJ, Delfin IA, Telford SR, Krause PJ and Persing DH 2000. Babesiosis. Clin. Microbiol.Rev. 3:451-469. http://daff.qld.gov.au

Jonssonm NN, Bock RE and Jorgensen WK 2008. Productivity and health effects of anaplasmosis and babesiosis on Bos indicus cattle and their crosses, and the effect of differing intensity of tick control in Australia. Vet. Parasitol. 3 (22):1-9.

Kementan, 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia

Lubis FY 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Cermin Dunia Kedokteran 152:27- 29.

Mehlhorn H and E Schein 1984. The Piroplasma : Live Cycle and Sexual Stage In J.R. Breker and R.Muller. ed. Advance in Parasitology. 23 : 37 – 103.

Nasution AYA 2007. Parasit darah pada ternak sapi dan kambing di lima kecamatan kota Jambi. Fakultas Kedokteran Herwan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Payne RC, Sukanto IP, Husein A, Khadjatun and Toewes DW 1989. Determination of the Causes of Death and ill Health, with Particular Reference of Trypanosomiasis, Babesiosis and Anaplasmosis, in Cattle and Buffaloes Imported into Indonesia. Maj. Parasitol. Ind. 3, 1990 (Edisi Khusus):99- 107.

Sevinc F, Sevinc M, Bindane FM and Altinoz F 2001. Prevalence of Babesia bigemina in Cattle. Revue Med. Vet. 152, 5;395-398.

Schuster FL 2002. Cultivation of Babesia and Babesia-Like Blood Parasites: Agents of an Emerging Zoonotic Disease. Clin. Microbiol Rev 15(3): 365- 373.

Siswansyah DD 1990. Prevalensi Theileriasis, Babesiosis dan Anaplasma pada Sapi dan Kerbau di Kalimantan Selatan. Penyakit Veteriner 22 (39):50-54.

Suarez CE and Noh S 2011. Emerging perspectives in the research of bovine babesiosis and anaplasmosis. Vet. Parasitol. 180 (1-2_: 109-125.

Sukanto IP, Payne RC and Partoutomo S 1993. Bovine Babesiosis in Indonesia. Prev Vet Med. 16:151-156.

Yatim F dan Herman R 2006. Babesiosis (Piroplasmosis). Maj. Ked. Nus. 39 (2): 115-118.