Penyakit Cystecercosis

Synonim : Beberasan, Barrasan, Manis-manisan, pork measles


A. PENDAHULUAN

Cysticercosis adalah penyakit kecacingangan yang disebabkan oleh cacing pita atau Cycsticercus. Parasit ini termasuk ke dalam Kelas Eucestoda, Ordo Cyclophyllidea, Keluarga Taeniidae, Genus Taenia, dan Spesies Taenia solium. Cacing pita juga dikenal dengan sebutan “human pork tapeworm”. Agen infektif penyakit ini adalah pada fase metacestoda. Cacing pita dewasa hidup dalam usus manusia dan mampu tumbuh hingga mencapai 2 – 8 meter. Setidaknya, terdapat 2 (dua) jenis cacing pita, yaitu Taenia solium (pada babi) dan Taenia saginata (pada sapi). Cacing pita stadium larva dari T.solium yang terdapat dalam daging babi disebut Cysticercus cellulose, sedang stadium larva dari T.saginata yang terdapat dalam daging sapi disebut Cysticercus bovis atau C.innermis.

Cysticercosis merupakan salah satu penyakit zoonosis dimana manusia sebagai inang (host) yang menularkan ke sapi melalui telur dalam segmen yang keluar bersama feses. Sapi dan babi akan terinfeksi apabila menelan telur dalam segmen tersebut (proglotida) melalui rumput yang terkontaminasi. Adanya cysticercus di dalam jaringan akan menyebabkan degenarasi sel di sekitarnya. Apabila jumlah kista cukup banyak, maka sebagian atau seluruh karkas terpaksa harus dimusnahkan karena dapat membahayakan kesehatan manusia. Disamping mempunyai dampak kesehatan, kerugian ekonomis yang ditimbulkan akibat penyakit ini juga terbilang besar.

B. ETIOLOGI

Stadium larva cacing pita T.solium dan T.saginata, yaitu C.cellulose dan C.bovis. Cysticercus berbentuk gelembung yang bulat atau oval dengan satu kepala atau dinding yang menonjol ke dalam gelembung. Dinding gelembung yang masih muda sangat tipis. Semakin tua dinding tersebut semakin tebal sehingga membentuk kista. Gelembung berisi cairan yang terdiri dari air, protein, lemak, garam yang larut dalam cairan tersebut. Inang antara T.solium (C.cellulose) adalah babi dan T.saginata (C.bovis) adalah sapi. Panjang segmen cacing pita (T.solium) berkisar antara 2-4 m dan mengandung 800-1000 proglotida (segmen). Proglotida (segmen) yang masak berisi 30.000-50.000 telur. Telur cacing T. solium berbentuk bulat dengan ukuran 31-43 µ, memiliki selubung tebal dan di dalamnya berisi larva yang memiliki enam kait (onkosfer) (Gambar 1).

C. EPIDEMOLOGI

1. Siklus Hidup
Taenia solium memerlukan dua vertebrata sebagai inangnya untuk dapat melakukan perkembangbiakan. Kedua inang tersebut berperan sebagai inang antara dan inang definitif. Babi merupakan inang antara dari T.solium dan manusia bertindak sebagai inang definitifnya. Siklus hidup cacing ini diawali dengan tertelannya telur oleh inang antaranya. Adanya asam lambung akan memecah telur tersebut.

2. Spesies Rentan
Hewan yang paling rentan terhadap C.cellulose adalah babi, tetapi kucing, tikus, kera, domba, anjing dan manusia dapat juga terinfestasi. Adapun hewan yang rentan terhadap C.bovis adalah sapi, kadang-kadang kerbau atau hewan pemamah biak lain seperti jerapah, gazelle dan antelope. Pada kasus tertentu, anjing dan manusia dapat menjadi inang antara akibat autoinfestasi dan kontaminasi lingkungan.

3. Pengaruh Lingkungan
Hubungan antara manusia dan hewan yang rentan seperti babi, sapi dan kerbau berpengaruh terhadap kejadian penyakit. Manusia terinfestasi cacing pita (T.solium dan T.saginata) karena mengkonsumsi daging yang terinfestasi cysticercus (C.cellulose dan C.bovis). Babi terinfestasi T.solium karena memakan makanan yang terkontaminasi feses manusia yang mengandung telur cacing pita. Lingkungan berpengaruh dalam upaya memutus siklus hidup.

4. Sifat Penyakit
C.cellulose umumnya terdapat pada babi, sedang C.bovis terdapat pada sapi, kadang-kadang juga pada kerbau. Tempat yang paling banyak ditemukan cysticercus adalah otot masseter, jantung, lidah dan diafragma, kadang-kadang pada kerongkongan jaringan lemak, hati, paru dan kelenjar limfe. C.cellulose berbentuk gelembung kecil, tampak jernih dengan kepala atau scolex yang menuju ke dalam gelembung. Pada umur 20 hari gelembung atau kista mulai tampak dan umur 110 hari besarnya tetap, tetapi scolexnya sudah menjorok ke gelembung. Di dalam organ, C.cellulose dapat hidup bertahun-tahun, tetapi bila terjadi degenarasi lemak atau pengapuran jaringan sekitarnya, parasit itu akan segera mati.

Bentuk gelembung C.bovis bulat atau oval. Di sekeliling gelembung berbentuk jaringan ikat adventitious sebagai reaksi dari inang. Dalam waktu 6-8 minggu setelah infestasi C. bovis sudah berbentuk sempurna, kemudian gelembung tersebut akan mengalami degenerasi.

Pendinginan (-10 °C) mengakibatkan cysticercus mati dalam waktu 4 hari, sedangkan pada suhu 0°C masih hidup sampai 70 hari. Cysticercus segera mati pada suhu 50°C. Pengasapan dan pengasaman tidak dapat mematikan parasit ini, terutama bila irisan dagingnya cukup tebal.

5. Cara Penularan a. Pada Hewan
Cacing pita dewasa (T.solium dan T.saginata) merupakan parasit pada manusia. Hidupnya di dalam usus sehingga proglotida yang mengandung telur keluar dari tubuh bersama feses.

b. Pada Manusia
Telur cacing masuk ke dalam tubuh manusia melalui tangan yang tercemar, disamping itu dapat pula karena autoinfeksi akibat gerakan retrogresi usus. Telur cacing atau proglotida ikut masuk ke dalam lambung dan usus, dan di dalam lambung, embrio akan keluar dari telur. Selanjutnya embrio ini akan menuju ke tempat predileksi, lalu menjadi kista. Kista ini sebagian besar berada dalam jaringan sub-kutan, di dalam otak, otot paha, jantung, hati, paru dan mata.

D. PENGENALAN PENYAKIT

1. Gejala Klinis
Pada umumnya hewan yang terinfeksi tidak menunjukkan gejala yang nyata. Infiltrasi cisticerkus di otot dan subkutan berupa kekejangan otot, benjolan, dan kelemahan otot, juga dapat mengganggu penglihatan jika infiltrasi terjadi di mata. Pada infiltrasi di otak dapat menyebabkan sakit kepala yang hebat, paralisis, dan epilepsi. Jika cisiticerkus mati, maka menyebabkan terjadinya kalsifikasi atau pengapuran yang akan berefek buruk jika mencapai 5-10 tahun kemudian. Infiltrasi Cysticercus cellulosae pada babi ditemukan di otot lurik yang aktif bergerak. Tempat predileksi dari infiltrasi cysticercosis berada di lidah, musculus masseter (otot pipi), leher, jantung, musculus intercostae (otot antar tulang rusuk), dan musculus brachiocephalicus (otot bahu).

2. Patologi
Banyak kasus yang terjadi tanpa disertai dengan gejala klinis. Gambaran patologi terlihat karena adanya reaksi inflamasi akibat adanya induksi dari cysticerci yang mati. Lokalisasi cysticerci dalam susunan syaraf pusat dan jantung menyebabkan penyakit yang fatal meskipun jarang terjadi. Kelainan post mortem tidak banyak menunjukkan adanya kerusakan jaringan, kecuali pada infeksi berat, ditemukan adanya edema yang merata di seluruh karkas yang berubah menjadi pucat.

3. Diagnosa
Diagnosa cysticercosis pada ternak yang terbaik adalah dengan menemukan cysticercus. C.bovis pada sapi berukuran 5 mm dan terdapat dalam otot lurik. Kista berisi 1 scolex atau bentuk kepala dari cacing pita. Bergantung pada lama infeksi dan reaksi inang, kista bervariasi dari stadium degenerasi, kaseasi dan terakhir pengapuran (kalsifikasi). Cysticercus berbentuk gelembung dengan 1 scolex ini dapat ditemukan dalam berbagai otot atau organ terutama pada otot yang banyak memperoleh vaskularisasi. Sedangkan C.cellulose dari T.solium bentuknya mirip dengan C.bovis.

Diagnosa cysticercosis pada sapi dan babi dapat dilakukan pada saat pemeriksaan post mortem di Rumah Potong Hewan. Pada babi yang terinfeksi berat, cysticercosis dapat didiagnosa secara ante mortem dengan pemeriksaan lidahnya. Pada kejadian cysticercosis yang ringan sulit diidentifikasi.

4. Diagnosa Banding
C.cellulose dan C.bovis, dapat dikelirukan dengan cysticercus dari cacing pita lain. Untuk membedakan Cysticercus, Coenerus dan Hydatida dapat dilihat dari bentuk dan struktumya. Coenurus biasanya besar dengan banyak scolex pada dinding, sedangkan Echinococcus scolexnya tidak langsung terbentuk pada dinding gelembung, tetapi membentuk anak gelembung terlebih dahulu dan kemudian terbentuk scolex. Sehingga dari 1 gelembung cysticercus hanya akan menjadi 1 cacing dewasa dalam usus inang definitif, sedangkan dari 1 Coenurus akan menjadi banyak cacing, dan dari 1 Hydatida menjadi lebih banyak lagi cacing dewasa, tergantung jumlah scolex dalam tiap gelembung.

E. PENGENDALIAN

1. Pengobatan
Pengobatan hanya dapat dilakukan terhadap cacing pita dewasa tetapi belum ada obat yang efektif untuk Cysticercus nya. Niclosamide dapat dipakai untuk mengobati infestasi cacing pita pada manusia. Cacing dewasa T. saginata dan T. solium dapat diobati dengan Niclosamide dosis 2 gram, Paromomycin
5 mg/kg BB, Quinacrine 7-10 mg/kg BB, Oxfendazole 3-4,5 mg/kg BB.

2. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan

a. Pencegahan
Mengingat bahwa manusia terinfeksi karena mengkonsumsi daging mentah atau setengah matang, dan babi terinfeksi karena menelan telur cacing bersama feses manusia yang terinfeksi, maka pencegahannya dapat dilakukan dengan cara:
- Memperbaiki sanitasi, higiene lingkungan dan pangan.
- Melakukan pemeriksaan daging secara ketat.
- Memberikan penyuluhan tentang pendidikan kesehatan pada masyarakat.
- Disamping itu juga perlu dilakukan pengobatan masal terhadap manusia yang terinfeksi di daerah endemik.

b. Pengendalian dan Pemberantasan
Perlu dilakukan pemeriksaan secara ketat pada ternak sapi dan babi yang dipotong di Rumah Potong Hewan (RPH), dan petugas RPH yang menemukan penyakit ini harus memberitahukan kepada atasan serta melakukan tindakan lain sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal ini penting untuk mencegah meluasnya penyakit pada hewan lain yang rentan maupun pada manusia.


F. DAFTAR PUSTAKA

Acha PN 1989. Zoonosis and Communicable Diseases Common to Man and

Animal. Pan Amirican Health Orgazination, Washington, USA.

AE, Garcia HH, Gilman RH, Tsang VCW 2003. Control of Taenia solium. Acta Tropica 87: 103-109.

Anonim 1980. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular, Ditkeswan, Ditjen Peternakan Departemen Pertanian, Jakarta

Anonim 1996. Manuals of Standard for Diagnostic Tests and Vaccines, OlE Bogitsh BJ, Carter CE, Oeltmann TN 2005. Human Parasitology. Ed ke-3. California: Elsevier Academic Pr. hlm 269-273

Centers for Disease Control and Prevention 2011. Cysticercosis. [terhubung berkala]http://www.cdc.gov/parasites/cysticercosis/biology.html [16 September 2011].

Choidini PL, Moody AH, Manser DW 2001. Atlas of Medical Parasitology and Protozoology. Ed ke-4. Philadelphia. Churcill Livingstone. hlm 20.

Deckers N, Kanobana K, Silva M, Gonzalez AE, Garcia HH, Gilman RH, Dorny P 2008. Serological Responses in Porcine Cysticercosis : A Link with the Parasitological Outcome of Infection. Int J Parasitol 38 1191-1198.

Garcia HH, Gonzalez EA, Evans WA, Gilman RH 2003. Taenia solium Cysticercosis. The Lancet 361: 547-556.

http://www.parasite-diagnosis.ch/web/11113/cysticercosisessential

http://pathmicro.med.sc.edu/parasitology/cestodes.htm

Hungerford TG 1990. Diseases of Livestock. 9th ed. McGraw Hill Book Company, Sydney.

Kementan, 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia

Kusuma M 2011. Deteksi Antigen Sirkulasi Cysticercus cellulosae dalam Serum Babi dari Distrik Assologaima dan Wamena Kota-Kabupaten Jayawijaya Provinsi Papua. Tesis S3 Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor,Bogor

Sciutto E, Chavarria A, Fragoso G, Fleury A, Larralde C 2007. The immune response in Taenia solium cysticercosis : protection and injury. Parasite Immunology 29: 621-636

Soulby EJL 1982, Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. Bailliere-Tindall. London.

Subahar R, Hamid A, Purba W, Widarso, Ito A, Margono SS 2005. Taeniasis/ Sistiserkosis di Antara Anggota Keluarga di Beberapa Desa, Kabupaten Jayawijaya, Papua. Makara Kesehatan 9: 9-14. Sutisna P, Fraser A, Kapti IN, Canul RR, Widjana DP, Craig