Penyakit Jembrana merupakan penyakit viral yang bersifat menular pada sapi Bali, ditandai dengan demam, peradangan selaput lendir mulut (stomatitis), pembesaran kelenjar limfe preskapularis dan prefemoralis dan parotid, terkadang disertai keringat darah (blood sweating). Kerugian ekonomi diakibatkan penyakit ini cukup besar karena mempengaruhi lalu lintas ternak dan hasil olahannya antar pulau.
ETIOLOGI
Penyakit Jembrana disebabkan oleh retrovirus. Virus ini berbentuk pleomorf, beramplop dengan materi genetik tersusun atas single stranded Ribonucleic Acid (ss-RNA), berukuran 80 - 120 nm. Virus memiliki enzim reverse transkriptase, berkembang biak dalam sel dan keluar sel melalui proses budding. Virus Jembrana memiliki 4 protein utama (p26, p16, p100 dan p38-42-45). Protein p26 berekasi silang dengan protein dari bovine immunodefisiency virus (BIV). Virus Jembrana ini selain memiliki hubungan antigenik dengan BIV, juga berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) , Simian mmunodeficilency Virus (SIV), Feline Immoundeficiency Virus (FIV), Maedi Visna Virus (MVV), Caprine Arthritis Encephalitis Virus (CAEV) dan Equine Infectious Anemia Virus (EIAV).
EPIDEMIOLOGI
Sifat Alami Agen
Virus Jembrana peka terhadap kloroform dan eter serta tahan terhadap sodium deosikolat (1:1000). Inaktif oleh formalin serta peka terhadap pH yang ekstrim (3.0 dan 12.0). Virus segera mengalami denaturasi jika dipanaskan pada suhu 55°C selama 15 menit. Agen yang terdapat dalam daging yang dipanaskan pada suhu 22-25°C masih infektif selama 36 jam, atau dalam plasma dengan suhu 4°C infektif selama 72 jam dan stabil dalam jangka waktu yang lebih lama jika disimpan pada suhu -70°C.
Virus Jembrana dapat ditumbuhkan pada hewan percobaan dan in vitro pada biakan sel. Virus dapat tumbuh pada telur ayam berembrio melalui berbagai rute melalui allantois, korioallantois, selaput kuning telur dan intravenous. Kematian embrio terjadi setelah hari ke 4-7. ditandai perdarahan di bawah kulit dari embrio. Demikian juga telah dicoba pada biakan sel primer seperti sel paru, limpa, ginjal, testis dan otot fetus, sel makrofag dari darah perifer, serta Vero (Vero-E6 dan CV1) (African green monkey), embryonic bovine tubinate (EBTI), Mardin Darby bovine kidney (MDBK), HeLa dan baby hamster kidney (BHK21) tidak menimbulkan cytopathogenic effect (CPE), kecuali dari biakan sel makrofag setelah 2 kali pasase dan sel mononuklear setelah 7,14 dan 21 pasase mampu menimbulkan gejala klinis pada sapi percobaan.
Spesies rentan
Spesies rentan hanyalah sapi Bali. Pada infeksi buatan pada sapi Ongole, persilangan antara sapi Bali dan Ongole, FH (Bos taurus) dan kerbau (Bubalus bubalis), babi, kambing dan domba menunjukan terjadi infeksi dengan gejala klinis yang sangat ringan dan di dalam darahnya dapat dideteksi antibodi. Umur sapi yang paling peka adalah lebih dari 1 tahun (6 bulan - 6 tahun). Umur sapi yang paling muda pernah dilaporkan adalah 4 minggu dan tertua 9 tahun. Tidak terdapat perbedaan kepekaan diantara jenis kelamin terhadap penyakit Jembrana.
Cara Penularan
Penularan terjadi secara horisontal yaitu kontak langsung antara sapi sakit dengan yang sehat dan tidak terjadi secara vertikal, oleh karena dari hewan karier melahirkan pedet yang normal. Pada stadium akut titer virus JD dalam plasma darah adalah tinggi (108,0 ID50/ml) dan sapi yang sembuh dari penyakit akut sangat potensial sebagai sumber infeksi karena terjadi viremia 50 yang persisten dan berlangsung selama 60 hari dan titer virus 101,0ID ,/ml .
Telah diduga sebelumnya bahwa penyakit Jembrana merupakan insect born disease, yaitu penularan penyakit lewat vektor insekta, seperti Culicoides sp dan nyamuk. Tabanus rubidus memiliki potensi sebagai penular virus JD di lapangan secara mekanis.
Sifat Penyakit
Kejadian penyakit cenderung bersifat endemik, tersebar di seluruh kabupaten di Bali, kejadian paling tinggi adalah di kabupaten Jembrana dan Tabanan, paling rendah di kabupaten Bangli.
Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit pada saat wabah yang terjadi pada tahun 1965-1964 adalah tinggi. Pada bulan Desember 1964, tingkat mortalitas 98,8% dan rata-rata tingkat mortalitas pada tahun 1965, 1966 dan 1967, masing-masing 71.6%, 31.3% dan 38,6%. Wabah berikutnya yang terjadi di kabupaten Tabanan pada tahun 1971–1972, tingkat mortalitasnya 22,0%, sedangkan wabah yang terjadi di Lampung yang dikenal sebagai penyakit Rama Dewa, tingkat kematian kasus atau case fatality rate (CTR) 12,5% - 71,0% (rata-rata 50%).
Patologi
Pada permukaan tubuh ditemukan bercak darah yang meluas yang disebut keringat darah. Biasanya terjadi pada stadium demam dan tetap ada selama 2-3 hari. Konjungtiva kongesti dan okular berdarah kadang-kadang terdapat klot darah di dalam lekuk mata depan, jaringan di bawah kulit tampak pucat, kering dan kadang-kadang berdarah. Namun pada kasus percobaan tidak pernah ditemukan. Di dalam rongga tubuh terutama rongga perut dan dada ditemukan cairan serosanguineous sebanyak kurang lebih 5 liter.
ETIOLOGI
Penyakit Jembrana disebabkan oleh retrovirus. Virus ini berbentuk pleomorf, beramplop dengan materi genetik tersusun atas single stranded Ribonucleic Acid (ss-RNA), berukuran 80 - 120 nm. Virus memiliki enzim reverse transkriptase, berkembang biak dalam sel dan keluar sel melalui proses budding. Virus Jembrana memiliki 4 protein utama (p26, p16, p100 dan p38-42-45). Protein p26 berekasi silang dengan protein dari bovine immunodefisiency virus (BIV). Virus Jembrana ini selain memiliki hubungan antigenik dengan BIV, juga berhubungan dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) , Simian mmunodeficilency Virus (SIV), Feline Immoundeficiency Virus (FIV), Maedi Visna Virus (MVV), Caprine Arthritis Encephalitis Virus (CAEV) dan Equine Infectious Anemia Virus (EIAV).
EPIDEMIOLOGI
Sifat Alami Agen
Virus Jembrana peka terhadap kloroform dan eter serta tahan terhadap sodium deosikolat (1:1000). Inaktif oleh formalin serta peka terhadap pH yang ekstrim (3.0 dan 12.0). Virus segera mengalami denaturasi jika dipanaskan pada suhu 55°C selama 15 menit. Agen yang terdapat dalam daging yang dipanaskan pada suhu 22-25°C masih infektif selama 36 jam, atau dalam plasma dengan suhu 4°C infektif selama 72 jam dan stabil dalam jangka waktu yang lebih lama jika disimpan pada suhu -70°C.
Virus Jembrana dapat ditumbuhkan pada hewan percobaan dan in vitro pada biakan sel. Virus dapat tumbuh pada telur ayam berembrio melalui berbagai rute melalui allantois, korioallantois, selaput kuning telur dan intravenous. Kematian embrio terjadi setelah hari ke 4-7. ditandai perdarahan di bawah kulit dari embrio. Demikian juga telah dicoba pada biakan sel primer seperti sel paru, limpa, ginjal, testis dan otot fetus, sel makrofag dari darah perifer, serta Vero (Vero-E6 dan CV1) (African green monkey), embryonic bovine tubinate (EBTI), Mardin Darby bovine kidney (MDBK), HeLa dan baby hamster kidney (BHK21) tidak menimbulkan cytopathogenic effect (CPE), kecuali dari biakan sel makrofag setelah 2 kali pasase dan sel mononuklear setelah 7,14 dan 21 pasase mampu menimbulkan gejala klinis pada sapi percobaan.
Spesies rentan
Spesies rentan hanyalah sapi Bali. Pada infeksi buatan pada sapi Ongole, persilangan antara sapi Bali dan Ongole, FH (Bos taurus) dan kerbau (Bubalus bubalis), babi, kambing dan domba menunjukan terjadi infeksi dengan gejala klinis yang sangat ringan dan di dalam darahnya dapat dideteksi antibodi. Umur sapi yang paling peka adalah lebih dari 1 tahun (6 bulan - 6 tahun). Umur sapi yang paling muda pernah dilaporkan adalah 4 minggu dan tertua 9 tahun. Tidak terdapat perbedaan kepekaan diantara jenis kelamin terhadap penyakit Jembrana.
Cara Penularan
Penularan terjadi secara horisontal yaitu kontak langsung antara sapi sakit dengan yang sehat dan tidak terjadi secara vertikal, oleh karena dari hewan karier melahirkan pedet yang normal. Pada stadium akut titer virus JD dalam plasma darah adalah tinggi (108,0 ID50/ml) dan sapi yang sembuh dari penyakit akut sangat potensial sebagai sumber infeksi karena terjadi viremia 50 yang persisten dan berlangsung selama 60 hari dan titer virus 101,0ID ,/ml .
Telah diduga sebelumnya bahwa penyakit Jembrana merupakan insect born disease, yaitu penularan penyakit lewat vektor insekta, seperti Culicoides sp dan nyamuk. Tabanus rubidus memiliki potensi sebagai penular virus JD di lapangan secara mekanis.
Sifat Penyakit
Kejadian penyakit cenderung bersifat endemik, tersebar di seluruh kabupaten di Bali, kejadian paling tinggi adalah di kabupaten Jembrana dan Tabanan, paling rendah di kabupaten Bangli.
Tingkat morbiditas dan mortalitas penyakit pada saat wabah yang terjadi pada tahun 1965-1964 adalah tinggi. Pada bulan Desember 1964, tingkat mortalitas 98,8% dan rata-rata tingkat mortalitas pada tahun 1965, 1966 dan 1967, masing-masing 71.6%, 31.3% dan 38,6%. Wabah berikutnya yang terjadi di kabupaten Tabanan pada tahun 1971–1972, tingkat mortalitasnya 22,0%, sedangkan wabah yang terjadi di Lampung yang dikenal sebagai penyakit Rama Dewa, tingkat kematian kasus atau case fatality rate (CTR) 12,5% - 71,0% (rata-rata 50%).
Patologi
Pada permukaan tubuh ditemukan bercak darah yang meluas yang disebut keringat darah. Biasanya terjadi pada stadium demam dan tetap ada selama 2-3 hari. Konjungtiva kongesti dan okular berdarah kadang-kadang terdapat klot darah di dalam lekuk mata depan, jaringan di bawah kulit tampak pucat, kering dan kadang-kadang berdarah. Namun pada kasus percobaan tidak pernah ditemukan. Di dalam rongga tubuh terutama rongga perut dan dada ditemukan cairan serosanguineous sebanyak kurang lebih 5 liter.
Pada sistem pernafasan ditemukan adanya perubahan berupa selaput lendir celah dan corong hidung tampak kongesti dan selaput lendir saluran pernafasan mengalami erosi, kadang ditemukan pula perdarahan.
Lesi-lesi di dalam paru tidak pernah tetap. Beberapa lobus paru-paru warnanya tampak coklat kegelapan dan densitasnya meningkat. Daerah hepatisasi merah kelabu ini berukuran kira-kira 1-4cm, kadang-kadang dapat terjadi pada semua lobus. Zona atelektasis dan bronckopneumonia focal kadang-kadang juga ditemukan. Pada kasus percobaan, terjadi lesi yang ringan pada paru yaitu 6-30 hari pasca infeksi. Lobus aterior paru terlihat mengalami konsolidasi, warnanya sedikit kebiruan dan dibatasi oleh zona emfisema yang warnanya lebih pucat.
Patologi klinis
Ternak yang menderita penyakit jembrana ditandai dengan leukopenia dan trombositopenia yang konstan kemudian diikuti dengan limfositosis. Selama fase akut terjadi limfosit abnormal. Beberapa tipe sel ditemukan pada preparat ulas darah yaitu sel dengan inti dan sitoplasma yang besar, limfosit medium berinti ganda, mitosis limfosit, sel plasma dan limfosit besar dan medium dengan sitoplasma yang mengalami vakoulisasi berisi inti eosinofilik. Pada sapi yang diinfeksi buatan juga menimbulkan gambaran leukopenia. Perubahan lain telah ditemukan yaitu terjadi anemia normositik normokromik, sedikit trombositpenia dan uremia. Total protein plasma menurun terutama pada stadium akhir penyakit. Level fibrinogen dan kreatinin darah tidak mengalami perubahan nyata dan level nitrogen urea darah terlihat tinggi (150mg/dl).
Diagnosa
Penyakit Jembrana didiagnosa berdasarkan data epidemiologi, gejala klinis, patologis, hematologis dan serologis. Genom RNA virus JD dalam jaringan yang telah diblok dengan parafin dapat dideteksi dengan teknik in situ hybridization. Pengujian antibodi dapat dideteksi dengan enzime linked immunosorbent assay (ELISA). Pada sapi yang terinfeksi, antibodi tidak dapat dideteksi sampai 11-33 minggu pasca infeksi dan tetap dapat dideteksi sampai dengan 59 minggu pasca infeksi. Teknik yang lebih spesifik seperti Western immunoblotting yang dapat mendeteksi protein 26K virus JD dalam serum. Protein ini secara konstan dapat dideteksi pada minggu ke-6 pasca infeksi. Hal ini sesuai dengan munculnya plasmasitosis dan meningkatnya jumlah IgG.
Diagnosa Banding
Penyakit Jembrana memiliki gejala klinis dan patologis sangat mirip dengan berbagai penyakit viral seperti Malignant Catarrhal Fever (MCF), Rinderpest, Bovine Viral Diarrhea-Mucosadisease (BVD-MD), Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Bovine Ephemeral Fever (BEF) dan penyakit bakterial seperti Septicaemia Epizootica (SE) atau penyakit parasit darah seperti Surra.
PENGENDALIAN
Pelaporan, Pencegahan dan Pengendalian
Pelaporan
Setiap ada kasus penyakit Jembrana harus segera dilaporkan kepada Dinas Peternakan setempat atau instansi berwenang (BPPV/BBV) yang tembusannya dikirimkan kepada Direktorat Kesehatan Hewan untuk segera diambil tindakan.
Pencegahan dan Pengendalian
Tindakan yang paling efektif adalah dengan melakukan vaksinasi. Telah berhasil diproduksi vaksin JD dari plasma dan limpa. Pada awalnya dikembangkan vaksin dari sari plasma yang diinaktivasi dengan formalin 0,1% (v/v) mengandung incomplete freund adjuvant (IFA) setelah 1, 2 atau 3 kali vaksinasi memberikan kekebalan yang sangat rendah setelahditantang dengan virus JD 103 x ID50. Gambaran hematologis penyakit Jembrana berupa lekopenia Iebih dari 2 hari. Tidak terdapat perbedaan rata- rata antara lamanya periode inkubasi, periode demam atau lama lekopenia antara sapi yang divaksinasi dengan grup kontrol. Dengan menggunakan inaktivasi Triton X-100 dengan kosentrasi 1% (v/v) dalam incomplete Freund Adjuvant (IFA) dan dilakukan vaksinasi sebanyak 3 kali ternyata memberikan 50 respon kebal setelah ditantang dengan virus JD 102 x ID satu bulan setelah vaksinasi terakhir. Telah dibandingkan pula penggunaan IFA dan Quil-A, keduanya dapat meningkatkan respon imun, akan tetapi Quil-A memberikan respon imun sedikit lebih rendah dan pada IFA, dan juga memberikan reaksi terhadap virus tantang Iebih tinggi.
Hewan yang sakit dapat dipotong di bawah pengawasan dokter hewan atau petugas berwenang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim 1999. Manual Diagnostik Penyakit Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Japan International Cooperation Agency (JICA), Jakarta.
Budiarso IT, and S Hardjosworo 1977. Some notes on jembrana disease of Bali cattle. Hemera Zoa 69 94-102
Chadwick BJ, RJ Coeleh, GE Wilcox, LM Sammel, and G Kertayadnya 1997.
Nucleotide squence analysis of Jembrana disease virus: A new bovine lentivirus. ACIAR proceeding. 75, 49-60
Chadwick BJ, M Desport, DMN Dharma, J Brownlie and GE Wilcok 1997.
Detection of Jembrana disease virus in paraffine embedded tissue sections by in situ hybridization. ACI~R proceeding, 75. 66-71.
Dennig HK 1977. The attempted experimental transmission of Jembrana disease to bali cattle with Boophillus ticks. Hemera zoa 69:77-78.
Dharma DMN, A Budianto, RSF Campbell, and PW Ladds 1991. Studies on experimental Jembrana disease in Bali cattle. II. Pathology. J.Comp. Pathol 105:397-414
Dharma DMN 1993. The pathology of Jembrana disease. PhD thesis. JCU. Australia.
Hartaningsih N, K Sulistyana and GE Wilcox 1997. Serological test for JDV antibodies and antibody response of infected cattle. ACIAR proceeding 75,7982.
Kertayadnya G, S Soeharsoro, N Hartaningsih and GE Wicox, 1997. The phisicochemical characteristic of a virus associated with Jembrana disease. ACIAR proceeding 75, 43-48. 1
Ramachandran S 1997. Early iobservation and reasearch on Jembrana disease in Bali and other indonesian Islands. ACIAR proceedings, 75,5-9
Lesi-lesi di dalam paru tidak pernah tetap. Beberapa lobus paru-paru warnanya tampak coklat kegelapan dan densitasnya meningkat. Daerah hepatisasi merah kelabu ini berukuran kira-kira 1-4cm, kadang-kadang dapat terjadi pada semua lobus. Zona atelektasis dan bronckopneumonia focal kadang-kadang juga ditemukan. Pada kasus percobaan, terjadi lesi yang ringan pada paru yaitu 6-30 hari pasca infeksi. Lobus aterior paru terlihat mengalami konsolidasi, warnanya sedikit kebiruan dan dibatasi oleh zona emfisema yang warnanya lebih pucat.
Patologi klinis
Ternak yang menderita penyakit jembrana ditandai dengan leukopenia dan trombositopenia yang konstan kemudian diikuti dengan limfositosis. Selama fase akut terjadi limfosit abnormal. Beberapa tipe sel ditemukan pada preparat ulas darah yaitu sel dengan inti dan sitoplasma yang besar, limfosit medium berinti ganda, mitosis limfosit, sel plasma dan limfosit besar dan medium dengan sitoplasma yang mengalami vakoulisasi berisi inti eosinofilik. Pada sapi yang diinfeksi buatan juga menimbulkan gambaran leukopenia. Perubahan lain telah ditemukan yaitu terjadi anemia normositik normokromik, sedikit trombositpenia dan uremia. Total protein plasma menurun terutama pada stadium akhir penyakit. Level fibrinogen dan kreatinin darah tidak mengalami perubahan nyata dan level nitrogen urea darah terlihat tinggi (150mg/dl).
Diagnosa
Penyakit Jembrana didiagnosa berdasarkan data epidemiologi, gejala klinis, patologis, hematologis dan serologis. Genom RNA virus JD dalam jaringan yang telah diblok dengan parafin dapat dideteksi dengan teknik in situ hybridization. Pengujian antibodi dapat dideteksi dengan enzime linked immunosorbent assay (ELISA). Pada sapi yang terinfeksi, antibodi tidak dapat dideteksi sampai 11-33 minggu pasca infeksi dan tetap dapat dideteksi sampai dengan 59 minggu pasca infeksi. Teknik yang lebih spesifik seperti Western immunoblotting yang dapat mendeteksi protein 26K virus JD dalam serum. Protein ini secara konstan dapat dideteksi pada minggu ke-6 pasca infeksi. Hal ini sesuai dengan munculnya plasmasitosis dan meningkatnya jumlah IgG.
Diagnosa Banding
Penyakit Jembrana memiliki gejala klinis dan patologis sangat mirip dengan berbagai penyakit viral seperti Malignant Catarrhal Fever (MCF), Rinderpest, Bovine Viral Diarrhea-Mucosadisease (BVD-MD), Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), Bovine Ephemeral Fever (BEF) dan penyakit bakterial seperti Septicaemia Epizootica (SE) atau penyakit parasit darah seperti Surra.
PENGENDALIAN
Pelaporan, Pencegahan dan Pengendalian
Pelaporan
Setiap ada kasus penyakit Jembrana harus segera dilaporkan kepada Dinas Peternakan setempat atau instansi berwenang (BPPV/BBV) yang tembusannya dikirimkan kepada Direktorat Kesehatan Hewan untuk segera diambil tindakan.
Pencegahan dan Pengendalian
Tindakan yang paling efektif adalah dengan melakukan vaksinasi. Telah berhasil diproduksi vaksin JD dari plasma dan limpa. Pada awalnya dikembangkan vaksin dari sari plasma yang diinaktivasi dengan formalin 0,1% (v/v) mengandung incomplete freund adjuvant (IFA) setelah 1, 2 atau 3 kali vaksinasi memberikan kekebalan yang sangat rendah setelahditantang dengan virus JD 103 x ID50. Gambaran hematologis penyakit Jembrana berupa lekopenia Iebih dari 2 hari. Tidak terdapat perbedaan rata- rata antara lamanya periode inkubasi, periode demam atau lama lekopenia antara sapi yang divaksinasi dengan grup kontrol. Dengan menggunakan inaktivasi Triton X-100 dengan kosentrasi 1% (v/v) dalam incomplete Freund Adjuvant (IFA) dan dilakukan vaksinasi sebanyak 3 kali ternyata memberikan 50 respon kebal setelah ditantang dengan virus JD 102 x ID satu bulan setelah vaksinasi terakhir. Telah dibandingkan pula penggunaan IFA dan Quil-A, keduanya dapat meningkatkan respon imun, akan tetapi Quil-A memberikan respon imun sedikit lebih rendah dan pada IFA, dan juga memberikan reaksi terhadap virus tantang Iebih tinggi.
Hewan yang sakit dapat dipotong di bawah pengawasan dokter hewan atau petugas berwenang.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim 1999. Manual Diagnostik Penyakit Hewan. Direktorat Jenderal Peternakan dan Japan International Cooperation Agency (JICA), Jakarta.
Budiarso IT, and S Hardjosworo 1977. Some notes on jembrana disease of Bali cattle. Hemera Zoa 69 94-102
Chadwick BJ, RJ Coeleh, GE Wilcox, LM Sammel, and G Kertayadnya 1997.
Nucleotide squence analysis of Jembrana disease virus: A new bovine lentivirus. ACIAR proceeding. 75, 49-60
Chadwick BJ, M Desport, DMN Dharma, J Brownlie and GE Wilcok 1997.
Detection of Jembrana disease virus in paraffine embedded tissue sections by in situ hybridization. ACI~R proceeding, 75. 66-71.
Dennig HK 1977. The attempted experimental transmission of Jembrana disease to bali cattle with Boophillus ticks. Hemera zoa 69:77-78.
Dharma DMN, A Budianto, RSF Campbell, and PW Ladds 1991. Studies on experimental Jembrana disease in Bali cattle. II. Pathology. J.Comp. Pathol 105:397-414
Dharma DMN 1993. The pathology of Jembrana disease. PhD thesis. JCU. Australia.
Hartaningsih N, K Sulistyana and GE Wilcox 1997. Serological test for JDV antibodies and antibody response of infected cattle. ACIAR proceeding 75,7982.
Kertayadnya G, S Soeharsoro, N Hartaningsih and GE Wicox, 1997. The phisicochemical characteristic of a virus associated with Jembrana disease. ACIAR proceeding 75, 43-48. 1
Ramachandran S 1997. Early iobservation and reasearch on Jembrana disease in Bali and other indonesian Islands. ACIAR proceedings, 75,5-9