Malignant catarrhal fever (MCF) merupakan penyakit degeneratif dan limfo- proliferatif yang bersifat sangat fatal dan menyerang sapi, kerbau, rusa dan beberapa ruminansia liar lainnya. Biasanya penyakit ini bersifat sporadis dengan tingkat morbiditas rendah namun dengan tingkat kematian yang sangat tinggi hingga mencapai 100%. Hewan yang peka terhadap penyakit MCF antara lain berbagai bangsa sapi (Bos taurus, Bos indicus, Bos javanicus), kerbau (Bubalus bubalis), bison (Bos bonasus) dan beberapa jenis rusa dan babi .
ETIOLOGI
Sifat fisik dan kimia virus
Tidak ada data yang pasti tentang daya tahan virus pada suhu tertentu tetapi virus sangat labil jika terkena panas matahari dan pada kondisi lingkungan yang kering, akan tetapi virus dapat bertahan sampai 13 hari pada kondisi lingkungan yang lembab dan stabil antara pH 5.5–8.5. Virus akan mati dengan penambahan disinfektan, antara lain sodium hipokhlorite (3% ). Cell-associated virus dapat bertahan di luar sel selama 72 jam di luar induk semangnya
Sifat Biologi virus
ada dua bentuk MCF, yakni wildebeest-associated MCF (WA-MCF) dan sheep-associated MCF (SA-MCF) yang secara klinis dan patologis tidak dapat dibedakan. Wildebeest-associated MCF terjadi pada saat hewan peka kontak dengan hewan wildebeest (Connochaetes sp) yang membawa virus penyebab penyakit tanpa menunjukkan gejala klnis MCF. Bentuk ini banyak ditemukan di Afrika yang merupakan habitat asli wildebeest dan di beberapa kebun binatang yang memelihara wildebeest. Agen penyebab WA-MCF telah diisolasi dari wildebeest oleh sebagai virus herpes dan sekarang virus tersebut disebut dengan Alcelaphine Herpesvirus-1 (AlHV-1). Sedangkan SA-MCF adalah bentuk MCF yang terjadi pada hewan peka yang berkontak dengan domba yang secara epidemiologi diketahui sebagai hewan reservoir. Selanjutnya hasil pengujian biologi molekuler menunjukkan bahwa domba membawa virus penyebab SA-MCF tanpa menunjukkan gejala klinis MCF. Virus penyebab SA-MCF hingga saat ini belum dapat diisolasi, namun berdasarkan sel limfoblastoid yang diisolasi dari kasus SA-MCF virus penyebab MCF disebut dengan Ovine Herpesvirus-2 (OVHV-2).
Walaupun ada dua bentuk MCF, akan tetapi secara klinis dan patologis kedua bentuk MCF tersebut tidak dapat dibedakan. Secara klinis MCF terbagi atas bentuk perakut, bentuk intestinal, bentuk kepala dan mata serta bentuk kronis/sub-klinis. Gejala klinis yang sering dijumpai berupa demam, eksudat kental dari mata dan hidung, kekeruhan kornea, diare, dan beberapa manifestasi gejala syaraf. Gambaran pasca-mati yang umum diketahui adalah pembengkakan limfoglandula superfisial, petekhi pada trakhea, pneumonia, petekhi pada mukosa abomasum dan kandung kemih serta enteritis. Secara mikroskopis, peradangan pembuluh darah (vaskulitis) dianggap sebagai ciri yang patognomonik untuk MCF disertai dengan peradangan non-supuratif pada rete mirabile, otak, trakhea, paru-paru, jantung, hati, ginjal, kandung kemih, abomasum, dan usus halus. Dewasa ini, pada saat virus penyebab SA- MCF belum dapat diisolasi, konfirmasi diagnosa untuk MCF masih mengacu pada gambaran histopatologisnya.
EPIDEMIOLOGI
Spesies rentan
Penyakit MCF secara umum dapat menyerang sapi dan hewan ungulata lainnya, termasuk bison, rusa dan babi. Urutan kepekaan hewan terhadap MCF berturut-turut adalah sapi Bali (Bos javanicus), sapi Bali persilangan, kerbau (Bubalus bubalis), sapi Ongole (Bos indicus) dan sapi Brahman (Bos taurus). Selain itu kelinci adalah hewan percobaan yang sangat peka terhadap MCF.
Letak geografis kemungkinan juga mempengaruhi terjadinya kasus, misalnya MCF klinik di Mataram dan Banyuwangi lebih tinggi daripada di Denpasar dan Kendari. Seperti halnya pada kasus wabah ini, kasus penyakit lebih sering terjadi pada musim hujan. Disamping itu faktor stres juga dianggap sebagai faktor predisposisi bagi MCF.
Sifat Penyakit
Kejadian endemis MCF di Indonesia pernah dilaporkan pada sapi Bali dan rusa (Cervus timorensis) di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur yang terjadi pada saat sekelompok domba dipindahkan pada kelompok sapi Bali dan rusa yang belum pernah kontak dengan domba. Pada saat itu tingkat kematian MCF pada 55 rusa mencapai 65%, sedangkan pada sapi Bali mencapai 20%. Selain itu, wabah MCF pernah pula dilaporkan menyerang sapi Bali yang didatangkan ke daerah transmigrasi di Propinsi Bengkulu yang telah memiliki kelompok domba. Kejadian wabah MCF pada sapi dan kerbau yang dipakai untuk penelitian pernah dilaporkan di Balai Penelitian Ternak (BALITNAK), Balai Penelitian Veteriner (BALITVET) dan sekitarnya di Bogor, pada saat sapi dan kerbau dipelihara di kandang yang berdekatan dengan kandang domba.
Cara Penularan
Penularan MCF terjadi terutama karena terjadi kontak langsung antara hewan peka dan reservoir, namun pernah dilaporkan kasus SA-MCF terjadi pada seekor sapi Bali yang dipelihara 100 meter dari kandang domba yang sedang bunting dan beranak. Wabah WA-MCF juga dilaporkan pada sapi yang terpisah 100 meter dari wildebeest. Namun demikian cara penularan dari domba ke sapi belum diketahui dengan pasti dan kemungkinan besar penularan terjadi melalui sekresi hidung, mata dan vagina.
Penularan SA-MCF memiliki pola epidemiologi yang mirip dengan WA-MCF, yakni domba berperan sebagai reservoir virus pada saat penularan penyakit. Baik AIHV-1 dan OvHV-2 ditransmisikan melalui kontak atau aerosol. Anak wildebeest memperoleh virus AIHV-1 baik secara vertikal dari induknya (in utero) maupun secara horizontal dari sesama anak wildebeest. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa virus ini dapat diisolasi dari fetus dan darah anak wildebeest umur satu minggu. Penularan diantara wildebeest adalah melalui ekskresi hidung, dimana penularan secara vertikal dan horizontal ini terutama terjadi pada anak wildebeest hingga berumur tiga bulan dan virus bebas pada wildebeest yaitu ditemukan pada cairan mata dan sekresi hidung sedangkan . virus DNA OvHV-2 dapat dideteksi pada sampel yang berasal dari saluran pencernaan, pernapasan dan uro-genital domba.
Faktor yang mempengauruhi terjadinya penyakit yaitu: peranan masing- masing faktor yang mungkin berpengaruh, yaitu jenis breed hewan, kepekaan individu hewan, status hewan (stres, concurrent infection), musim, daerah geografi, kontak dengan hewan karier, strain virus yang berbeda dan lain- lain.
Gejala Klinis
Diagnosa MCF yang dilakukan hanya berdasarkan pada gejala klinis dan pasca-mati kurang tepat karena kasus sub-klinis dapat terjadi. Bentuk MCF per-akut, intestinal, kepala dan mata, dan kronis/sub-klinis, kesemuanya memberikan hasil patognomonik berupa vaskulitis pada organ tertentu, dengan derajat keparahan lesi yang berbeda. Bentuk SA-MCF inilah yang terdapat di Indonesia, yang dalam hal ini domba dianggap paling berperan sebagai hewan reservoir.
Gejala klinis yang sering dijumpai berupa demam, eksudat kental dari mata dan hidung, kekeruhan kornea, diare, pembengkakan limfoglandula superficial dan beberapa manifestasi gejala syaraf. Gambar menujukkan beberapa kelainan klinis akibat MCF.
ETIOLOGI
Sifat fisik dan kimia virus
Tidak ada data yang pasti tentang daya tahan virus pada suhu tertentu tetapi virus sangat labil jika terkena panas matahari dan pada kondisi lingkungan yang kering, akan tetapi virus dapat bertahan sampai 13 hari pada kondisi lingkungan yang lembab dan stabil antara pH 5.5–8.5. Virus akan mati dengan penambahan disinfektan, antara lain sodium hipokhlorite (3% ). Cell-associated virus dapat bertahan di luar sel selama 72 jam di luar induk semangnya
Sifat Biologi virus
ada dua bentuk MCF, yakni wildebeest-associated MCF (WA-MCF) dan sheep-associated MCF (SA-MCF) yang secara klinis dan patologis tidak dapat dibedakan. Wildebeest-associated MCF terjadi pada saat hewan peka kontak dengan hewan wildebeest (Connochaetes sp) yang membawa virus penyebab penyakit tanpa menunjukkan gejala klnis MCF. Bentuk ini banyak ditemukan di Afrika yang merupakan habitat asli wildebeest dan di beberapa kebun binatang yang memelihara wildebeest. Agen penyebab WA-MCF telah diisolasi dari wildebeest oleh sebagai virus herpes dan sekarang virus tersebut disebut dengan Alcelaphine Herpesvirus-1 (AlHV-1). Sedangkan SA-MCF adalah bentuk MCF yang terjadi pada hewan peka yang berkontak dengan domba yang secara epidemiologi diketahui sebagai hewan reservoir. Selanjutnya hasil pengujian biologi molekuler menunjukkan bahwa domba membawa virus penyebab SA-MCF tanpa menunjukkan gejala klinis MCF. Virus penyebab SA-MCF hingga saat ini belum dapat diisolasi, namun berdasarkan sel limfoblastoid yang diisolasi dari kasus SA-MCF virus penyebab MCF disebut dengan Ovine Herpesvirus-2 (OVHV-2).
Walaupun ada dua bentuk MCF, akan tetapi secara klinis dan patologis kedua bentuk MCF tersebut tidak dapat dibedakan. Secara klinis MCF terbagi atas bentuk perakut, bentuk intestinal, bentuk kepala dan mata serta bentuk kronis/sub-klinis. Gejala klinis yang sering dijumpai berupa demam, eksudat kental dari mata dan hidung, kekeruhan kornea, diare, dan beberapa manifestasi gejala syaraf. Gambaran pasca-mati yang umum diketahui adalah pembengkakan limfoglandula superfisial, petekhi pada trakhea, pneumonia, petekhi pada mukosa abomasum dan kandung kemih serta enteritis. Secara mikroskopis, peradangan pembuluh darah (vaskulitis) dianggap sebagai ciri yang patognomonik untuk MCF disertai dengan peradangan non-supuratif pada rete mirabile, otak, trakhea, paru-paru, jantung, hati, ginjal, kandung kemih, abomasum, dan usus halus. Dewasa ini, pada saat virus penyebab SA- MCF belum dapat diisolasi, konfirmasi diagnosa untuk MCF masih mengacu pada gambaran histopatologisnya.
EPIDEMIOLOGI
Spesies rentan
Penyakit MCF secara umum dapat menyerang sapi dan hewan ungulata lainnya, termasuk bison, rusa dan babi. Urutan kepekaan hewan terhadap MCF berturut-turut adalah sapi Bali (Bos javanicus), sapi Bali persilangan, kerbau (Bubalus bubalis), sapi Ongole (Bos indicus) dan sapi Brahman (Bos taurus). Selain itu kelinci adalah hewan percobaan yang sangat peka terhadap MCF.
Letak geografis kemungkinan juga mempengaruhi terjadinya kasus, misalnya MCF klinik di Mataram dan Banyuwangi lebih tinggi daripada di Denpasar dan Kendari. Seperti halnya pada kasus wabah ini, kasus penyakit lebih sering terjadi pada musim hujan. Disamping itu faktor stres juga dianggap sebagai faktor predisposisi bagi MCF.
Sifat Penyakit
Kejadian endemis MCF di Indonesia pernah dilaporkan pada sapi Bali dan rusa (Cervus timorensis) di Timor Barat, Nusa Tenggara Timur yang terjadi pada saat sekelompok domba dipindahkan pada kelompok sapi Bali dan rusa yang belum pernah kontak dengan domba. Pada saat itu tingkat kematian MCF pada 55 rusa mencapai 65%, sedangkan pada sapi Bali mencapai 20%. Selain itu, wabah MCF pernah pula dilaporkan menyerang sapi Bali yang didatangkan ke daerah transmigrasi di Propinsi Bengkulu yang telah memiliki kelompok domba. Kejadian wabah MCF pada sapi dan kerbau yang dipakai untuk penelitian pernah dilaporkan di Balai Penelitian Ternak (BALITNAK), Balai Penelitian Veteriner (BALITVET) dan sekitarnya di Bogor, pada saat sapi dan kerbau dipelihara di kandang yang berdekatan dengan kandang domba.
Cara Penularan
Penularan MCF terjadi terutama karena terjadi kontak langsung antara hewan peka dan reservoir, namun pernah dilaporkan kasus SA-MCF terjadi pada seekor sapi Bali yang dipelihara 100 meter dari kandang domba yang sedang bunting dan beranak. Wabah WA-MCF juga dilaporkan pada sapi yang terpisah 100 meter dari wildebeest. Namun demikian cara penularan dari domba ke sapi belum diketahui dengan pasti dan kemungkinan besar penularan terjadi melalui sekresi hidung, mata dan vagina.
Penularan SA-MCF memiliki pola epidemiologi yang mirip dengan WA-MCF, yakni domba berperan sebagai reservoir virus pada saat penularan penyakit. Baik AIHV-1 dan OvHV-2 ditransmisikan melalui kontak atau aerosol. Anak wildebeest memperoleh virus AIHV-1 baik secara vertikal dari induknya (in utero) maupun secara horizontal dari sesama anak wildebeest. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa virus ini dapat diisolasi dari fetus dan darah anak wildebeest umur satu minggu. Penularan diantara wildebeest adalah melalui ekskresi hidung, dimana penularan secara vertikal dan horizontal ini terutama terjadi pada anak wildebeest hingga berumur tiga bulan dan virus bebas pada wildebeest yaitu ditemukan pada cairan mata dan sekresi hidung sedangkan . virus DNA OvHV-2 dapat dideteksi pada sampel yang berasal dari saluran pencernaan, pernapasan dan uro-genital domba.
Faktor yang mempengauruhi terjadinya penyakit yaitu: peranan masing- masing faktor yang mungkin berpengaruh, yaitu jenis breed hewan, kepekaan individu hewan, status hewan (stres, concurrent infection), musim, daerah geografi, kontak dengan hewan karier, strain virus yang berbeda dan lain- lain.
Gejala Klinis
Diagnosa MCF yang dilakukan hanya berdasarkan pada gejala klinis dan pasca-mati kurang tepat karena kasus sub-klinis dapat terjadi. Bentuk MCF per-akut, intestinal, kepala dan mata, dan kronis/sub-klinis, kesemuanya memberikan hasil patognomonik berupa vaskulitis pada organ tertentu, dengan derajat keparahan lesi yang berbeda. Bentuk SA-MCF inilah yang terdapat di Indonesia, yang dalam hal ini domba dianggap paling berperan sebagai hewan reservoir.
Gejala klinis yang sering dijumpai berupa demam, eksudat kental dari mata dan hidung, kekeruhan kornea, diare, pembengkakan limfoglandula superficial dan beberapa manifestasi gejala syaraf. Gambar menujukkan beberapa kelainan klinis akibat MCF.
- Perubahan Patologi Anatomi (PA)
Gambaran pascamati yang umum diketahui adalah pembengkakan limfoglandula superfisial, petekhi pada trakhea, pneumonia, petekhi pada mukosa abomasum dan kandung kemih serta enteritis. Gambar 5 dan 6 menunjukkan gambaran PA yang sering ditemukan pada MCF.
- Perubahan histopatologi (HP)
Perubahan histopatologi MCF yang patognomonik adalah vaskulitis (peradangan pada dinding pembuluh darah) yang berupa infiltrasi limfosit dan makrofag dan terkadang sedikit netrofil dan sel plasma pada beberapa organ seperti mata, otak, meningen, rete mirabile epidurale, ginjal, hati, kelenjar adrenal dan pada kulit. Gambar 7-10 berturut turut menunjukkan vaskulitis pada berbagai organ.
Sampel rete mirabile yang dikoleksi untuk uji histopatologi dianggap paling mewakili untuk konfirmasi diagnosa MCF. Selain itu kasus infeksi alam dan infeksi buatan yang didiagnosa sebagai MCF secara histopatologik menunjukkan vaskulitis yang terdapat pada organ-organ selain rete hampir selalu disertai dengan vaskulitis pada rete. Sebaliknya vaskulitis pada rete belum tentu disertai vaskulitis pada organ lain. Hal ini menunjukkan bahwa pada infeksi MCF vaskulitis mula-mula berasal dari rete kemudian menyebar ke organ yang lain. Sampel yang positif didiagnosa sebagai MCF dapat berasal dari hewan yang secara klinik sehat (MCF sub-klinis). menunjukkan gambar rongga kranial setelah otak diangkat sehingga tampak kelenjar pituitary beserta rete mirabile epidurale dan Gambar 12 merupakan bidang sayatan untuk melokalisasi rete tersebut.
Secara mikroskopis, vaskulitis pada kasus yang parah dinding pembuluh darah dapat mengalami nekrosis dan hipertropi sehingga tejadi obstruksi lumen pembuluh darah yang bersangkutan dan mengganggu sirkulasi darah dari dan ke organ tersebut. Lesi ringan dan lesi sedang secara histopatologik biasanya menunjukkan hubungan yang erat dengan gejala klinik dan gambaran pasca matinya.
Didapatnya variasi lesi secara kualitatif maupun kuantitatif tersebut, merupakan bahan pertimbangan bahwa lesi histopatologik SA-MCF di Indonesia mungkin dipengaruhi oleh daerah geografi, bangsa hewan yang terserang, dan strain virus yang berbeda. Infiltrasi dan proliferasi sel-sel limfosit pada vaskulitis pada MCF terjadi sebelum timbulnya gejala klinik.
Diagnosa
Diagnosa SA-MCF sampai saat ini masih ditegakkan berdasarkan pada kombinasi data epidemiologi dan gambaran klinilko-patologis penyakit. Untuk WA-MCF diagnosa tentu saja juga dapat dikonfirmasi melalui uji serologi dan isolasi virus AIHV-1. Perkembangan teknik biologi molekular seperti PCR juga dimanfatkan untuk mendiagnosa MCF, baik pada WA-MCF maupun SA-MCF.
Pada WA-MCF isolasi virus dapat dilakukan pada biakan sel sapi/domba yang berasal dari sel dari organ thyroid, ginjal, paru dan limpa. Keberadaan virus dapat dideteksi dengan pewarnaan imunofluoresen atau imunoperoksidase, neutralisasi virus (VN) atau mikroskop elektron. Selain itu terdapat beberapa uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap AIHV-1 terutama untuk WA-MCF: complement fixation (CF), immunodiffusion (ID), counter immunoelectrophoresis (CIE), indirect immunoperoxidase (IIP). Indirect immunofluorescence (IIF) dapat mendeteksi respon imun terhadap infeksi virus herpes lain pada sapi, misalnya bovine herpesvirus-1 pada infectious bovine rhinotracheitis (IBR), bovine herpesvirus-2 (mammilitis) dan bovine herpesvirus-3 (DN 599, Movar). Berhubung uji VN pada AIHV-1 sangat memakan waktu maka ada alternatif lain untuk menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) menggunakan antigen spesifik yang sudah distandardisasi.
Uji serologi dengan IIF menunjukkan bahwa antibodi terhadap AIHV-1 dapat dideteksi baik pada serum hewan yang terinfeksi WA-MCF maupun SA-MCF serta pada serum dari domba yang bertindak sebagai reservoir. Meskipun IIF tergolong non-spesifik, hal ini mengarah pada hipotesa bahwa ada virus serupa yang bertanggung jawab pada infeksi WA-MCF maupun SA-MCF, yang dibuktikan oleh melalui Western Blotting dimana sejumlah antigen AIHV-1 dapat dideteksi baik pada serum wildebeest maupun pada serum domba dari kasus SA-MCF.
Diagnosa banding
Perubahan klinis dan patologis MCF yang patognomonik, berupa proliferasi limfoid dan vaskulitis tidak selalu mudah untuk dikonfirmasi secara histopatologis karena variasi lesi yang sangat besar di lapang. Oleh karena itu perlu diperhatikan diagnosa banding terhadap beberapa penyakit yang dapat dikelirukan dengan MCF antara lain rinderpest, haemorrhagic septicaemia, infectious bovine rhinotracheitis (IBR), bovine virus diarrhoea-mucosal disease (BVD-MD), trypanosomiasis (Surra), beberapa penyakit yang disebabkan oleh virus arbo, dan khusus pada sapi Bali, MCF harus dibedakan dari penyakit Jembrana dan Rama Dewa.
Khusus untuk Rinderpest sampai saat ini belum pernah dilaporkan kejadiannya di Indonesia. Rinderpest sulit dibedakan dengan MCF karena mempunyai gejala klinis yang bersifat ulseratif dan mortalitasnya tinggi. Namun begitu, secara patologik dapat dibedakan dengan MCF karena lesi limfoid pada Rinderpest bersifat degeneratif, disertai badan inklusi eosinofilik- intra sitoplasmik pada epitel dan organ limfoid. Perbedaan utama, pada Rinderpest tidak ditemukan gejala syaraf, lesi okular dan vaskulitis seperti pada MCF dan pada Rinderpest walau mortalitas tinggi seperti pada MCF namun morbiditasnya juga sangat tinggi (MCF morbiditas sangat rendah).
Septicaemia epizootica (SE) atau haemorrhagic septicaemia (HS) yang disebabkan oleh Pasteurella multocida merupakan penyakit endemis di Indonesia meskipun program vaksinasi terus digalakkan. Penyakit SE ditandai dengan konjungtivitis, lakrimasi, dyspnoea, odema daerah kepala dan enteritis bersifat hemoragik seperti pada MCF akut. Perbedaannya, pada SE tidak ditemukan eksudat mukopurulen dari mata dan hidung seperti pada MCF dan pada SE demam tidak setinggi pada MCF. Infectious bovine rhinotracheitis (IBR), khususnya pada bentuk respirasi, mempunyai gejala klinis mirip MCF pada stadium awal yaitu demam tinggi, konjungtivitis, eksudat yang bersifat serous dari mata dan hidung dan dyspnoea. Wabah IBR pernah dilaporkan di Indonesia dimana pada mulanya MCF diduga sebagai penyebabnya. Wabah IBR tersebut tidak ditandai dengan lesi mukosal dan angka mortalitasnya lebih rendah daripada MCF tetapi morbiditasnya jauh lebih tinggi daripada MCF.
Bovine virus diarrhoea-mucosal disease (BVD-MD) juga dapat dikelirukan dengan MCF. Pada BVD-MD ditemukan demam tinggi, diarhe, lesi mukosal, lakrimasi hebat dan konjungtivitis seperti halnya pada MCF, tetapi mortalitasnya rendah rate. Secara serologik, infeksi BVD telah dilaporkan kejadiannya di Indonesia dan wabah BVD-MD pada sapi kemudian juga dilaporkan kejadiannya secara klinis dan serologis di beberapa propinsi di Indonesia walaupun virus tidak berhasil diisolasi.
Infeksi oleh Trypanosoma evansi (Surra) pada beberapa hal menyerupai MCF, misalnya demam tinggi, eksudat mata dan hidung bersifat mukopurulen, hipersalivasi dan pembengkakan limfoglandula superfisial. Namun demikian, pada Surra juga ditandai oleh anaemia, kahexia dan ikterus membran mukosa. Diagnosa Surra dapat dikonfirmasi dengan keberadaan parasit pada preparat ulas darah hewan yang terinfeksi. Surra di Indonesia sering dikelirukan dengan MCF secara histopahologik karena lesi meningo- encefalitis yang terdapat baik pada MCF maupun Surra bersifat non supuratif (sel radang yang menginfiltrasi berupa sel mono-nuklear), disertai perivascular cuffing terdiri dari limfosit, makrofag dan sel plasma. Hal utama yang harus diingat, MCF mempunyai lesi patognomonik berupa vaskulitis, sedang pada Surra tidak ada dan lesi patognomonik pada Surra ditandai dengan hiperplasia sum sum tulang.
Penyakit lain yang dapat dianggapa menyerupai MCF adalah infeksi dengan virus Infeksi virus arbo secara selologis telah dilaporkan di Indonesia. Selain itu, virus arbo eperti bluetongue dan epizootic haemorrhagic disease sudah berhasil diisolasi di Indonesia. Virus arbo ini ditandai dengan demam dan encefalitis seperti pada MCF.
Penyakit Jembrana pertama kali dilaporkan di Indonesia pada than 1964 dan secara klinis sangat menyerupai dan sulit dibedakan dari MCF secara klinis, ditandai dengan demam tinggi, diarhe, eksudat mukopurululen dari mata dan hidung, lesi mukosal dan pembengkakakan limfoglandula superfisial. Namun setelah agen etiologi Jembrana dapat diisolasi dan diidentifikasi sebagai Lentivirus maka konfirmasi diagnosa menjadi lebih mudah ditetapkan. Secara histopatologis vaskulitis tidak ditemukan pada Jembrana seperti halnya pada MCF, melainkan ditandai oleh reaksi limforetikular yang bersifat umum yang ditandai oleh badan inklusi yang bersifat pleomorfik, basofilik, intrasitoplasmik pada organ yang terserang.
Penyakit Rama Dewa pertama kali dilaporkan pada tahun 1976 di Lampung (saat itu Sumatra Selatan) yang secara klinis sangat mirip dengan Jembrana dan MCF. Rama Dewa secara klinis ditandai dengan demam tinggi, diarhea, eksudat mukopurulen dari mata dan hidung serta pembengkakan limfoglandula superfisial. Secara histopatologis penyakit Rama Dewa juga ditandai dengan ensefalitis.
PENGENDALIAN
Baik hewan reservoir maupun hewan peka MCF dapat menghasilkan respon antibodi terhadap virus MCF dan fakta ini secara serologis merupakan perangkat diagnosa yang cukup penting yang berguna sebagai data epidemiologi penyakit. Antibodi yang dapat mengenali antigen AIHV-1 dapat dideteksi pada serum domba karier dan pada sapi yang terserang MCF, ini menandakan bahwa agen yang berperan pada SA-MCF berkaitan erat dengan virus AIHV-1. Sementara itu, setelah usaha pengembangan vaksin untuk mencegah infeksi MCF tidak membuahkan hasil, maka satu satunya cara untuk pengendalian MCF hanyalah berdasarkan pada pemisahan hewan peka dari hewan reservoir (sapi dipisahkan dari wildebeest dan alcelaphine antelopes untuk WA-MCF dan sapi dipisahkan dari domba untuk SA-MCF ).
Hasil sekuensing dari genome virus OvHV-2 yang berupa produksi virus rekombinan AlHV-1 serta usaha uji tantang dengan virus OvHV-2 dan AIHV-1 secara intra-nasal, dapat mengarah ke tahap terpenting dalam pengembangan strategi vaksinasi untuk memproteksi hewan dari serangan MCF. Screening antibodi dari cDNA expression libraries telah menuju pada pemilihan kandidat antigen baik yang berasal dari AIHV-1 maupun OvHV-2. Kedua studi tersebut mengidentifikasi klone cDNA yang mengkode area C-terminal dari ORF73 yang bersifat antigenik pada domba yang positif mengandung OvHV-2 dan pada kelinci dan wildebeest yang mengandung AIHV-1 .
DAFTAR PUSTAKA
ANDERSON, I.E., D, BUXTON, I. CAMPBELL, G. RUSSELL, W.C. DAVIS, M.J. HAMILTON, D.M. HAIG., 2007. Immunohistochemical study of experimental malignant catarrhal fever in rabbits. Journal of Comparative Pathology. 136: 156-166.
BARNARD, B.J.H, M.D. GRIESSEL and H.E.van de PYPEKAMP. 1989. Epizootology of wildebeest-derived malignant catarrhal fever in an outbreak in the north-western Transvaal: indications of an intermediate host. Onderstepoort Journal of Veterinary Research 56:135-139
BAKER, JC (1987) Bovine viral diarrhoea virus: A review. Journal of the American Veterinary Medical Associa!on 190:1449-1458
BAXTER, S.I.F., I . POW,., A. BRIDGEN, H.W. REID. 1993. PCR detection of the sheep-associated agent of malignant catarrhal fever. Archives of Virology 132: 145-159.
BRIDGEN, A. and H.W. REID. 1991. Derivation of a DNA clone corresponding to the viral agent of sheep-associated malignant catarrhal fever. Research in Veterinary Science 50: 38-44.
BRIDGEN, A., R. MUNRO, H.W. REID. 1992. The detection of alcelaphine herpesvirus-1 DNA by in situ hybridization of tissues from rabbits affected with malignant catarrhal fever. Journal of Comparative Pathology 106: 351-359.
BUXTON, D., H.W. REID , J.FINLAYSON and I..POW. 1984. Pathogenesis of ‘sheep-associated’ malignant catarrhal fever in rabbits. Research in Veterinary Science 36:205-211
CAMPBELL, R.S.F.1988 The Pathology of malignant catarrhal fever. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. PW DANIELS, SUDARISMAN, P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p.64-67
CHADWICK, BJ, R.J. COELEN, L.M . SAMMELS, G. KERTAYADNYA and G.E. WILCOX. 1995. Genomic sequence analysis identifies Jembrana disease virus as a new bovine lentivirus. Journal of General Virology 76:189-192
COCHRANE, C.G. and D. KOFFLER. 1973. Immune complex disease in experimental animals and man. Advances in Immunology 16:185-264.
COULTER, L.J. and H.W. REID. 2002. Isolation and expression of three open reading frames from ovine herpesvirus-2. Journal of General Virology
83: 533-543.
DAMAYANTI R, R.J. GRAYDON RJ and P.W.LADDS. 1990. The pathology of experimental Trypanosoma evansi in Indonesian swamp buffaloes (Bubalus bubalis). In Proceedings of the 7th Congress of Federation of Asian Veterinary Association. 4-7 November 1990, Pa!aya, Thailand. p.200-207
DAMAYANTI, R, R.J. GRAYDON, P.W. LADDS. 1994. The pathology of Trypanosoma evansi infection in Indonesian swamp buffaloes (Bubalus bubalis). J .Comp .Pathol 110: 237- 252
DAMAYANTI, R. 1995 a . Kasus malignant catarrhal fever sub-klinis pada sapi Bali di beberapa rumah potong hewan dergan pemeriksaan histopatologi. Jurnal llmu Ternak dan Veteriner 1 (2): 129-135 .
DAMAYANTI, R.1995 b. Variasi penyebaran lesi secara histopatologi pada kerbau dan sapi Bali yang terserang MCF di Balitvet dan Balitnak. (Variation of histopathological lesion distribution of Bali cattle and buffalo affected by MCF) . Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. Pp.82-87
DAMAYANTI, R.1996 a. Evaluasi histopatologik pada 70 kasus malignant catarrhal fever pada kerbau dan sapi Bali (Histopathological evaluation of 70 cases of malignant catarrhal fever in buffaloes and Bali cattle). In Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner. Balitvet. Pp.889-896
DAMAYANTI, R. 1996 b. Deteksi fenotipik subset limfosit T pada limfoglandula sapi Bali yang terserang penyakit ingusan (MCF) dengan metode imunohistokimiawi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 2(2): 120-126
DAMAYANTI, R. 1999.. Deteksi fenotipik antigen permukaan limfosit B, MHC I dan MHC II pada limfoglandula sapi Bali yang terserang malignant catarrhal fever dengan teknik imunohistokimiawi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 4 (4): 273-280
DAMAYANTI, R dan A. WIYONO. 2005. Malignant Catarrhal Fever pada Sapi Bali: Sebuah Studi Kasus. Jurnal llmu Ternak dan Veteriner 10 (2): 150- 159.
DANIELS, P.W., SUDARISMAN and P. RONOHARDJO 1988. Malignant catarrhal fever in Asian livestock. ACIAR Monograph No.7, 129 p.
DANIELS, P.W., R.DAMAYANTI and SUDARISMAN.1988a. Problems in developing a rabbit model of malignant catarrhal fever. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. P.W. DANIELS, SUDARISMAN and P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p113-117
DANIELS, P.W., R.DAMAYANTI and SUDARISMAN.1988b. The differential diagnosa of malignant catarrhal fever: unusual and difficult cases. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. P.W. DANIELS, SUDARISMAN and P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p83-96
DANIELS, P.W., SUDARISMAN, A.WIYONO.and P.RONOHARDJO.1988c. Epidemiological aspects of malignant catarrhal fever in Indonesia. In: Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds P.W.DANIELS, SUDARISMAN and P.RONOHARDJO) ACIAR, Canberra. p 20-31
DHARMA DN, A. BUDIANTONO, R.S.F.CAMPBELL and P.W. LADDS. 1991. Studies on experimental Jembrana Disease in Bali Cattle. III. Pathology. Journal Comparative Pathology 105:397-414
DIELEMAN EF (1983) Trypanosomiasis in Indonesia. A review of research, 1900-1983. The Veterinary Quarterly 8:251-256
ENSSER, A., R. PFLANZ, B. FLECKENSTEIN., 1997. Primary structure of the alcelaphine herpesvirus 1 genome. Journal of Virology 71: 6517-6525.
HAMILTON, A.F.1990. Account of three outbreaks of malignant catarrhal fever in cattle in the Republic of Ireland. The Journal of Veterinary Record 127: 231-232
HARDIMAN, WAHYUNI, M. DJAFAR, Z. AMIR, SAARDI dan FITRIANI. 2008. Laporan Kasus: Kejadian Malignant Catarrhal Fever (MCF) Pada Sapi Bali di Kabupaten Maros, Sulawest Selatan. Prosiding KIVNAS, Bogor, Indonesia, 19-22 Agustus. 351.
HART, J., M.ACKERMANN, G. JAYAWARDANE,G.C. RUSSELL, D.M.HAIG, REID, H. and.,J.P. STEWART, J.P., 2007. Complete sequence and analysis of the ovine herpesvirus 2 genome. Journal of General Virology 88: 28-39.
HARTL, D.L. 1991. Basic Genetics. 2nd Ed.Jones and Bartlett Publishers. Boston. Pp.412.
HERRING, A., H. REID,N. INGLIS, I. POW. 1989. Immunoblotting analysis of the reaction of wildebeest, sheep and cattle sera with the structural antigens of alcelaphine herpesvirus-1 (malignant catarrhal fever virus). Veterinary Microbiology 19: 205-215.
HEUSCHELE, W.P (1983) Diagnosis of malignant catarrhal fever due to alcelaphine herpesvirus-1. In Proceedings 11:International Symposium on Veterinary Laboratory Diagnos!c. p707-713
HEUSCHELE, W.P. and A.E.CASTRO. 1985. Malignant catarrhal fever. In Comparative Pathobiology of Virus Disease. (Eds. R.G. OLSON, S. KRAKOWKA and J.R. BLAKESLEE), vol 1, CRC Press, Boca Raton, pp115-125
HEUSCHELE, W.P., H.R. FLETCHER, J.OOSTERHUIS, D.JANSSEN and P.T.ROBINSON. 1984. Epidemiologic aspects of malignant catarrhal fever in the USA. Proceedings US Animal Health Association 88:640-651
HUSIN D, F.X. SOESIO and S.MURSALIM .1982. Epidemiological investigation on malignant catarrhal fever on Bali cattle ex IFAD in Rejang Lebong district,Bengkulu. Annual Report on Animal Disease Investigation in Indonesia During Period of 1976-1981. Directorate General of Livestock Services. Jakarta
HUSSY, D., N. STAUBER, C.M. LEUTENEGGER, S..,RIEDER, M. ACKERMANN. 2001. Quantitative fluorogenic PCR assay for measuring ovine herpesvirus 2 replication in sheep. Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology 8: 123-128.
JUBB, K. V. F., P.C. KENNEDY, and N. PALMER, 2007. Jubb, Kennedy, and Palmer’s pathology of domestic animals. Volume 2. Edited by MAXIE, M. G., 5th Edition. Edinburgh, Elsevier Saunders.
KATZ J, B. SEAL and J.RIDPATH . 1991. Molecular diagnosis of alcelaphine herpesvirus (malignant catarrhal fever) infections by nested amplification of viral DNA in bovine blood buffy coat specimens. Journal of Veterinary Diagnostic Investigation 3:193-198
LAHIJANI, R.S., S.M. SUTTON, R.B. KLIEFORTH, W.P. HEUSCHELE. 1995.
Identification and analysis of an alcelaphine herpesvirus-1 (AHV-1) cDNA clone expressing a fusion protein recognized by AHV-1-neutralizing antisera. Archives of Virology 140: 547-561.
LIGGITT, H.D., J.C. DEMARTINI, A.E. MCCHESNEY, R.E. PIERSON, dan J.
STORZ. 1978. Experimental transmission of malignant catarrhal fever in cattle: gross and histopathologic changes. Am. J. Vet. Res. 39:1249-
1257.
LIGGITT, H.D. and J.C.DE MARTINI. 1980a. The pathomorphology of malignant catarrhal fever. I. Generalized lymphoid vasculitis. Veterinary Pathology
17:58-73
LIGGIT, H.D. and J.C. DE MARTINI. 1980b. The pathomorphology of malignant catarrhal fever. II. Multisystemic epithelial lesions. Veterinary Pathology
17:74-84
LUVIZOTTO, MCR, H.F. FERRARI and T.C. CARDOSO. 2009. Malignant catarrhal fever-like lesions associated with ovine herpesvirus-2 infection in young calves (Bos indicus): a case report. J Venom Anim Toxins incl Trop Dis. 15 (1):178-185
MANSJOER, M.1954. Penyidikan tentang penyakit Ingusan pada sapi dan kerbau di Indonesia, terutama di Pulau Lombok. Tesis Doktor. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Indonesia, Bogor. p.187 (Indonesian, English Abstract)
MARDIJONO, H.1988. Malignant catarrhal fever in South-East Sulawesi. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. PW DANIELS, SUDARISMAN and P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p.49-50
McGEOCH, D.J., D. GATHERER, A. DOLAN. 2005. On phylogenetic relationships among major lineages of the Gammaherpesvirinae. Journal of General Virology 86: 307-316.
MUSHI E.Z., P.B. ROSSITER, P.B., L.KARSTAD and D.M.JESSET. 1980b. The demonstration of cell-free malignant catarrhal fever herpesvirus in wildebeest nasal secretions. Journal of Hygiene 85:175-179
MUSHI EZ and F.R. RURANGIRWA. 1981. Malignant catarrhal fever virus shedding by infected cattle. Bulletin of Animal Health and Production in Africa 29:111-112
MUSHI, E.Z. and J.S.WAFULA. 1983. Infectivity of cell-free malignant catarrhal fever virus in rabbits and cattle. Veterinary Research Communications 6:153-155
PAKPAHAN, S.1988. Cases of malignant catarrhal fever in West Sumatra, Riau and Jambi. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. P.W. DANIELS, SUDARISMAN and P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p.44-46
PARTADIREDJA, M., I.G.SUDANA and SUSILO.1988. Malignant catarrhal fever in Indonesia. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. P.W. DANIELS, SUDARISMAN and P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p14-18
PIERCY, S.E.1954. Studies in bovine malignant catarrh. V. The role of sheep in the transmission of the disease. British Veterinary Journal 110:508-516
PLOWRIGHT, W.1968. Malignant catarrhal fever. Journal of American Veterinary Medicine Association 152:795-804
PLOWRIGHT, W.1981 Herpesvirus of wild ungulates, including malignant catarrhal fever virus. In Infectious Diseases of Wild Mammals, 2nd Edition. (Eds. J.W. DAVIS, L.H. KARSTAD and D.O. TRAINER), Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA, pp126-146
PLOWRIGHT, W., R.D.FERRIS and G.R.SCOTT .1960. Blue wildebeest and the aetiological agent of bovine malignant catarrhal fever. Nature 188:1167-1169
PRABOWO, H.1988. Malignant catarrhal fever in Lampung, South Sumatra and Bengkulu. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. P.W. DANIELS, SUDARISMAN and P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p.47-48
PRABOWO, H and ISHITANI R. 1984. Studies on Rama Dewa, the enzootic disease of cattle occurring in Lampung province of Sumatra, Indonesia-its histopathology and critical views on name of the disease. Japan International Cooperation Agency
PUTRA, K.S.A .1985. Indonesia. In Veterinary Viral Disease: Their Significance in South-East Asia and the Western Pacific. (Ed. A.J. DELLA-PORTA). Academic Press. Sydney. p184-191
REID, H.W. and D.BUXTON. 1985. Immunity and pathogenesis of malignant catarrhal fever. In Immunity to herpesvirus infections of domestic animals. (Eds. P.P. PASTORET, E. THIRY and J. SALIKI). Commission of the European Communities. Brussels. Belgium. pp117-130
REID H.W, D. BUXTON, I. POWI, J. FINLAYSON and E.L. BERRIE. 1983. A cytotoxic T-lymphocyte line propagated from a rabbit infected with sheep-associated malignant catarrhal fever. Research in Veterinary Science 34:109-113
REID HW, D. BUXTON, E. BERRIE, I. POW and J. FINLAYSON. 1985. Culture of malignant catarrhal fever agent. Biology of Deer production, The Royal Society of New Zealand, 22:143-146
ROIZMAN,B., R.C. DESROSIERS, B. FLECKENSTEIN, C.LOPEZ, A.C.MINSON and M.J.STUDDERT. 1996. Family Herpesviridae. In International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV), Classification and Nomenclature of Viruses. Sixth Report of the ICTV
ROSSITER, P. B (1980b) Antigens and antibodies of malignant catarrhal fever herpesvirus detected by immunodiffusion and counterimmunoelectroph oresis. Veterinary Microbiology 5:205-213
ROSSITER, P.B and D.M. JESSETT. 1980. A complement fixation test for antigens of and antibodies to malignant catarrhal fever virus. Research in Veterinary Science 28:228-233
ROSSITER, P.B., 1981. Antibodies to malignant catarrhal fever virus in sheep sera. Journal of Comparative Pathology 91, 303-311.
ROSSITER, P.B., 1983. Antibodies to malignant catarrhal fever virus in cattle with non-wildebeest-associated malignant catarrhal fever. Journal of Comparative Pathology 93: 93-97.
ROSSITER, P.B.1985. Immunology and immunopathology of malignant catarrhal fever. Prog Vet Microbiology Immunology 1:121-144
RUSSELL, G.C., J. P. STEWART and D. M. HAIG. 2009. Malignant Catarrhal Fever. A Review. The Veterinary Journal . 179 : 324-335 doi:10.1016/ j.tvjl.2007.11.007
SCHULTHEISS, P.C., J.K. COLLINS, T.R. SPRAKER, J.C. DE MARTINI. 2000. Epizootic malignant catarrhal fever in three bison herds: differences from cattle and association with ovine herpesvirus- 2. Journal of Veterinary Diagnostic Investigation 12: 497-502.
SELMAN, I.E., A.WISEMAN , M.MURRAY and N.G.WRIGHT. 1978. A clinicopathological study of bovine malignant catarrhal fever in Great Britain The Journal of Veterinary Record 94:483-490
SENDOW I, P. YOUNG and P.RONOHARDJO. 1986. Serological studies of bluetongue virus in Indonesia. In Arbovirus Research in Australia. (Eds. TD ST GEORGE, BH KAY and J BLOK). Brisbane, CSIRO Division of Tropical Animal Science. p271-273
SOEHARSONO and P. DARMADI. 1976. Laporan percobaan pengobatan penyakit >Seputih Raman= dengan antibiotika pada sapi Bali di Kabupaten Lampung Tengah. (Report on medication of >Seputih Raman= disease in Bali cattle in District of Central Lampung using antibiotic). Directorate of Animal Health, Directorate General of Livestock Services, Ministry of Agriculture, Indonesia. Jakarta
SOESANTO, M, S. SOEHARSONO, A. BUDIANTONO, K. SULISTYANA, M. TENAYA and G.E. WILCOX. 1990. Studies on experimental Jembrana disease in Bali cattle. II. Clinical signs and haematological changes. Journal of Comparative Pathology 103:61-71
SULAIMAN, I., H.M.G.SIREGAR and ISBANDI.1988. Malignant catarrhal fever in South Sulawesi. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. PW DANIELS, SUDARISMAN and P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p.39-41
SYAMSUDIN A. 1990. Haemorrhagic septicaemia control in Indonesia with special reference to the eradication programme on Lombok Island. Proceedings of the 7th Congress of Federation of Asian Veterinary Association. 4-7 November 1990, Pattaya, Thailand. p.879-885
THONUR, L., G.C. RUSSELL, J.P. STEWART, D.M. HAIG. 2006. Differential transcription of ovine herpesvirus 2 genes in lymphocytes from reservoir and susceptible species. Virus Genes 32: 27-35.
TRANGGONO, M.1988. A high prevalence of malignant catarrhal fever in Banyuwangi. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. P.W. DANIELS, SUDARISMAN and P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p.52-54
UEHARA, M., N. KUDO, and M. SUGIMURA. 1978. Morphological studies on the rete mirabile epidurale in the calf. Japanese Journal Veterinary Research. 26:11-18.
WAN SK, A.E. CASTRO, W.P. HEUSCHELE and E.C. RAMSAY. 1988. Enzyme-linked immunosorbent assay for the detection of antibodies to the alcelaphine herpesvirus of malignant catarrhal fever in exotic ruminants. American Journal of Veterinary Research 49:164-168
WEDDLE, D.B, A.R. SPICKLER and R. DAVIS. 2011. Malignant Catarrhal fever. Center for Food Security and Public Health, Iowa State University. (http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/clinical-signs-photos.php? name=malignant-catarrhal-fever), (5 Nopember 2012)
WIYONO, A, P.W. DANIELS, R.J. GRAYDON and P. RONOHARDJO. 1990a. Serological studies of cattle affected by outbreaks of diarrhoeal disease in Kalimantan, Indonesia. Proceedings of the 7th Congress of Federation of Asian Veterinary Association. 4-7 November 1990, Pattaya, Thailand. P.491-500
WIYONO, A, P. RONOHARDJO, R.J. GRAYDON and P.W. DANIELS. 1989. Diare ganas sapi: I. Kejadian penyakit pada sapi Bali bibit asal Sulawesi Selatan yang baru tiba di Kalimantan Barat. Penyakit Hewan 38:77-83
WIYONO A, S.I.F..BAXTER , M.SAEPULLOH, R. DAMAYANTI , P.W.DANIELS and H.W.REID 1994. PCR detection of ovine herpesvirus-2 DNA in Indonesian ruminants - normal sheep and clinical cases of malignant catarrhal fever. Veterinary Microbiology. 42: 45-52
WIYONO, A. 1999. The detection of ovine herpesvirus-2 in reservoir host of malignant catarrhal fever in Indonesia by means of polymerase chain reaction. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 4 (2): 121-127.
WIYONO, A dan R.DAMAYANTI. 1999. Studies on the transmission of malignant catarrhal fever in experimental animals: Bali cattle in close contact with sheep. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 4 (2): 128-135
WIYONO, A. 2000. Studies on the epidemiology, aetiology and molecular biology of malignant catarrhal fever in Indonesia. PhD. Thesis. James Cook University of North Queensland, Townsville, North Queensland, Australia. p .314
Gambaran pascamati yang umum diketahui adalah pembengkakan limfoglandula superfisial, petekhi pada trakhea, pneumonia, petekhi pada mukosa abomasum dan kandung kemih serta enteritis. Gambar 5 dan 6 menunjukkan gambaran PA yang sering ditemukan pada MCF.
- Perubahan histopatologi (HP)
Perubahan histopatologi MCF yang patognomonik adalah vaskulitis (peradangan pada dinding pembuluh darah) yang berupa infiltrasi limfosit dan makrofag dan terkadang sedikit netrofil dan sel plasma pada beberapa organ seperti mata, otak, meningen, rete mirabile epidurale, ginjal, hati, kelenjar adrenal dan pada kulit. Gambar 7-10 berturut turut menunjukkan vaskulitis pada berbagai organ.
Sampel rete mirabile yang dikoleksi untuk uji histopatologi dianggap paling mewakili untuk konfirmasi diagnosa MCF. Selain itu kasus infeksi alam dan infeksi buatan yang didiagnosa sebagai MCF secara histopatologik menunjukkan vaskulitis yang terdapat pada organ-organ selain rete hampir selalu disertai dengan vaskulitis pada rete. Sebaliknya vaskulitis pada rete belum tentu disertai vaskulitis pada organ lain. Hal ini menunjukkan bahwa pada infeksi MCF vaskulitis mula-mula berasal dari rete kemudian menyebar ke organ yang lain. Sampel yang positif didiagnosa sebagai MCF dapat berasal dari hewan yang secara klinik sehat (MCF sub-klinis). menunjukkan gambar rongga kranial setelah otak diangkat sehingga tampak kelenjar pituitary beserta rete mirabile epidurale dan Gambar 12 merupakan bidang sayatan untuk melokalisasi rete tersebut.
Secara mikroskopis, vaskulitis pada kasus yang parah dinding pembuluh darah dapat mengalami nekrosis dan hipertropi sehingga tejadi obstruksi lumen pembuluh darah yang bersangkutan dan mengganggu sirkulasi darah dari dan ke organ tersebut. Lesi ringan dan lesi sedang secara histopatologik biasanya menunjukkan hubungan yang erat dengan gejala klinik dan gambaran pasca matinya.
Didapatnya variasi lesi secara kualitatif maupun kuantitatif tersebut, merupakan bahan pertimbangan bahwa lesi histopatologik SA-MCF di Indonesia mungkin dipengaruhi oleh daerah geografi, bangsa hewan yang terserang, dan strain virus yang berbeda. Infiltrasi dan proliferasi sel-sel limfosit pada vaskulitis pada MCF terjadi sebelum timbulnya gejala klinik.
Diagnosa
Diagnosa SA-MCF sampai saat ini masih ditegakkan berdasarkan pada kombinasi data epidemiologi dan gambaran klinilko-patologis penyakit. Untuk WA-MCF diagnosa tentu saja juga dapat dikonfirmasi melalui uji serologi dan isolasi virus AIHV-1. Perkembangan teknik biologi molekular seperti PCR juga dimanfatkan untuk mendiagnosa MCF, baik pada WA-MCF maupun SA-MCF.
Pada WA-MCF isolasi virus dapat dilakukan pada biakan sel sapi/domba yang berasal dari sel dari organ thyroid, ginjal, paru dan limpa. Keberadaan virus dapat dideteksi dengan pewarnaan imunofluoresen atau imunoperoksidase, neutralisasi virus (VN) atau mikroskop elektron. Selain itu terdapat beberapa uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap AIHV-1 terutama untuk WA-MCF: complement fixation (CF), immunodiffusion (ID), counter immunoelectrophoresis (CIE), indirect immunoperoxidase (IIP). Indirect immunofluorescence (IIF) dapat mendeteksi respon imun terhadap infeksi virus herpes lain pada sapi, misalnya bovine herpesvirus-1 pada infectious bovine rhinotracheitis (IBR), bovine herpesvirus-2 (mammilitis) dan bovine herpesvirus-3 (DN 599, Movar). Berhubung uji VN pada AIHV-1 sangat memakan waktu maka ada alternatif lain untuk menggunakan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) menggunakan antigen spesifik yang sudah distandardisasi.
Uji serologi dengan IIF menunjukkan bahwa antibodi terhadap AIHV-1 dapat dideteksi baik pada serum hewan yang terinfeksi WA-MCF maupun SA-MCF serta pada serum dari domba yang bertindak sebagai reservoir. Meskipun IIF tergolong non-spesifik, hal ini mengarah pada hipotesa bahwa ada virus serupa yang bertanggung jawab pada infeksi WA-MCF maupun SA-MCF, yang dibuktikan oleh melalui Western Blotting dimana sejumlah antigen AIHV-1 dapat dideteksi baik pada serum wildebeest maupun pada serum domba dari kasus SA-MCF.
Diagnosa banding
Perubahan klinis dan patologis MCF yang patognomonik, berupa proliferasi limfoid dan vaskulitis tidak selalu mudah untuk dikonfirmasi secara histopatologis karena variasi lesi yang sangat besar di lapang. Oleh karena itu perlu diperhatikan diagnosa banding terhadap beberapa penyakit yang dapat dikelirukan dengan MCF antara lain rinderpest, haemorrhagic septicaemia, infectious bovine rhinotracheitis (IBR), bovine virus diarrhoea-mucosal disease (BVD-MD), trypanosomiasis (Surra), beberapa penyakit yang disebabkan oleh virus arbo, dan khusus pada sapi Bali, MCF harus dibedakan dari penyakit Jembrana dan Rama Dewa.
Khusus untuk Rinderpest sampai saat ini belum pernah dilaporkan kejadiannya di Indonesia. Rinderpest sulit dibedakan dengan MCF karena mempunyai gejala klinis yang bersifat ulseratif dan mortalitasnya tinggi. Namun begitu, secara patologik dapat dibedakan dengan MCF karena lesi limfoid pada Rinderpest bersifat degeneratif, disertai badan inklusi eosinofilik- intra sitoplasmik pada epitel dan organ limfoid. Perbedaan utama, pada Rinderpest tidak ditemukan gejala syaraf, lesi okular dan vaskulitis seperti pada MCF dan pada Rinderpest walau mortalitas tinggi seperti pada MCF namun morbiditasnya juga sangat tinggi (MCF morbiditas sangat rendah).
Septicaemia epizootica (SE) atau haemorrhagic septicaemia (HS) yang disebabkan oleh Pasteurella multocida merupakan penyakit endemis di Indonesia meskipun program vaksinasi terus digalakkan. Penyakit SE ditandai dengan konjungtivitis, lakrimasi, dyspnoea, odema daerah kepala dan enteritis bersifat hemoragik seperti pada MCF akut. Perbedaannya, pada SE tidak ditemukan eksudat mukopurulen dari mata dan hidung seperti pada MCF dan pada SE demam tidak setinggi pada MCF. Infectious bovine rhinotracheitis (IBR), khususnya pada bentuk respirasi, mempunyai gejala klinis mirip MCF pada stadium awal yaitu demam tinggi, konjungtivitis, eksudat yang bersifat serous dari mata dan hidung dan dyspnoea. Wabah IBR pernah dilaporkan di Indonesia dimana pada mulanya MCF diduga sebagai penyebabnya. Wabah IBR tersebut tidak ditandai dengan lesi mukosal dan angka mortalitasnya lebih rendah daripada MCF tetapi morbiditasnya jauh lebih tinggi daripada MCF.
Bovine virus diarrhoea-mucosal disease (BVD-MD) juga dapat dikelirukan dengan MCF. Pada BVD-MD ditemukan demam tinggi, diarhe, lesi mukosal, lakrimasi hebat dan konjungtivitis seperti halnya pada MCF, tetapi mortalitasnya rendah rate. Secara serologik, infeksi BVD telah dilaporkan kejadiannya di Indonesia dan wabah BVD-MD pada sapi kemudian juga dilaporkan kejadiannya secara klinis dan serologis di beberapa propinsi di Indonesia walaupun virus tidak berhasil diisolasi.
Infeksi oleh Trypanosoma evansi (Surra) pada beberapa hal menyerupai MCF, misalnya demam tinggi, eksudat mata dan hidung bersifat mukopurulen, hipersalivasi dan pembengkakan limfoglandula superfisial. Namun demikian, pada Surra juga ditandai oleh anaemia, kahexia dan ikterus membran mukosa. Diagnosa Surra dapat dikonfirmasi dengan keberadaan parasit pada preparat ulas darah hewan yang terinfeksi. Surra di Indonesia sering dikelirukan dengan MCF secara histopahologik karena lesi meningo- encefalitis yang terdapat baik pada MCF maupun Surra bersifat non supuratif (sel radang yang menginfiltrasi berupa sel mono-nuklear), disertai perivascular cuffing terdiri dari limfosit, makrofag dan sel plasma. Hal utama yang harus diingat, MCF mempunyai lesi patognomonik berupa vaskulitis, sedang pada Surra tidak ada dan lesi patognomonik pada Surra ditandai dengan hiperplasia sum sum tulang.
Penyakit lain yang dapat dianggapa menyerupai MCF adalah infeksi dengan virus Infeksi virus arbo secara selologis telah dilaporkan di Indonesia. Selain itu, virus arbo eperti bluetongue dan epizootic haemorrhagic disease sudah berhasil diisolasi di Indonesia. Virus arbo ini ditandai dengan demam dan encefalitis seperti pada MCF.
Penyakit Jembrana pertama kali dilaporkan di Indonesia pada than 1964 dan secara klinis sangat menyerupai dan sulit dibedakan dari MCF secara klinis, ditandai dengan demam tinggi, diarhe, eksudat mukopurululen dari mata dan hidung, lesi mukosal dan pembengkakakan limfoglandula superfisial. Namun setelah agen etiologi Jembrana dapat diisolasi dan diidentifikasi sebagai Lentivirus maka konfirmasi diagnosa menjadi lebih mudah ditetapkan. Secara histopatologis vaskulitis tidak ditemukan pada Jembrana seperti halnya pada MCF, melainkan ditandai oleh reaksi limforetikular yang bersifat umum yang ditandai oleh badan inklusi yang bersifat pleomorfik, basofilik, intrasitoplasmik pada organ yang terserang.
Penyakit Rama Dewa pertama kali dilaporkan pada tahun 1976 di Lampung (saat itu Sumatra Selatan) yang secara klinis sangat mirip dengan Jembrana dan MCF. Rama Dewa secara klinis ditandai dengan demam tinggi, diarhea, eksudat mukopurulen dari mata dan hidung serta pembengkakan limfoglandula superfisial. Secara histopatologis penyakit Rama Dewa juga ditandai dengan ensefalitis.
PENGENDALIAN
Baik hewan reservoir maupun hewan peka MCF dapat menghasilkan respon antibodi terhadap virus MCF dan fakta ini secara serologis merupakan perangkat diagnosa yang cukup penting yang berguna sebagai data epidemiologi penyakit. Antibodi yang dapat mengenali antigen AIHV-1 dapat dideteksi pada serum domba karier dan pada sapi yang terserang MCF, ini menandakan bahwa agen yang berperan pada SA-MCF berkaitan erat dengan virus AIHV-1. Sementara itu, setelah usaha pengembangan vaksin untuk mencegah infeksi MCF tidak membuahkan hasil, maka satu satunya cara untuk pengendalian MCF hanyalah berdasarkan pada pemisahan hewan peka dari hewan reservoir (sapi dipisahkan dari wildebeest dan alcelaphine antelopes untuk WA-MCF dan sapi dipisahkan dari domba untuk SA-MCF ).
Hasil sekuensing dari genome virus OvHV-2 yang berupa produksi virus rekombinan AlHV-1 serta usaha uji tantang dengan virus OvHV-2 dan AIHV-1 secara intra-nasal, dapat mengarah ke tahap terpenting dalam pengembangan strategi vaksinasi untuk memproteksi hewan dari serangan MCF. Screening antibodi dari cDNA expression libraries telah menuju pada pemilihan kandidat antigen baik yang berasal dari AIHV-1 maupun OvHV-2. Kedua studi tersebut mengidentifikasi klone cDNA yang mengkode area C-terminal dari ORF73 yang bersifat antigenik pada domba yang positif mengandung OvHV-2 dan pada kelinci dan wildebeest yang mengandung AIHV-1 .
DAFTAR PUSTAKA
ANDERSON, I.E., D, BUXTON, I. CAMPBELL, G. RUSSELL, W.C. DAVIS, M.J. HAMILTON, D.M. HAIG., 2007. Immunohistochemical study of experimental malignant catarrhal fever in rabbits. Journal of Comparative Pathology. 136: 156-166.
BARNARD, B.J.H, M.D. GRIESSEL and H.E.van de PYPEKAMP. 1989. Epizootology of wildebeest-derived malignant catarrhal fever in an outbreak in the north-western Transvaal: indications of an intermediate host. Onderstepoort Journal of Veterinary Research 56:135-139
BAKER, JC (1987) Bovine viral diarrhoea virus: A review. Journal of the American Veterinary Medical Associa!on 190:1449-1458
BAXTER, S.I.F., I . POW,., A. BRIDGEN, H.W. REID. 1993. PCR detection of the sheep-associated agent of malignant catarrhal fever. Archives of Virology 132: 145-159.
BRIDGEN, A. and H.W. REID. 1991. Derivation of a DNA clone corresponding to the viral agent of sheep-associated malignant catarrhal fever. Research in Veterinary Science 50: 38-44.
BRIDGEN, A., R. MUNRO, H.W. REID. 1992. The detection of alcelaphine herpesvirus-1 DNA by in situ hybridization of tissues from rabbits affected with malignant catarrhal fever. Journal of Comparative Pathology 106: 351-359.
BUXTON, D., H.W. REID , J.FINLAYSON and I..POW. 1984. Pathogenesis of ‘sheep-associated’ malignant catarrhal fever in rabbits. Research in Veterinary Science 36:205-211
CAMPBELL, R.S.F.1988 The Pathology of malignant catarrhal fever. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. PW DANIELS, SUDARISMAN, P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p.64-67
CHADWICK, BJ, R.J. COELEN, L.M . SAMMELS, G. KERTAYADNYA and G.E. WILCOX. 1995. Genomic sequence analysis identifies Jembrana disease virus as a new bovine lentivirus. Journal of General Virology 76:189-192
COCHRANE, C.G. and D. KOFFLER. 1973. Immune complex disease in experimental animals and man. Advances in Immunology 16:185-264.
COULTER, L.J. and H.W. REID. 2002. Isolation and expression of three open reading frames from ovine herpesvirus-2. Journal of General Virology
83: 533-543.
DAMAYANTI R, R.J. GRAYDON RJ and P.W.LADDS. 1990. The pathology of experimental Trypanosoma evansi in Indonesian swamp buffaloes (Bubalus bubalis). In Proceedings of the 7th Congress of Federation of Asian Veterinary Association. 4-7 November 1990, Pa!aya, Thailand. p.200-207
DAMAYANTI, R, R.J. GRAYDON, P.W. LADDS. 1994. The pathology of Trypanosoma evansi infection in Indonesian swamp buffaloes (Bubalus bubalis). J .Comp .Pathol 110: 237- 252
DAMAYANTI, R. 1995 a . Kasus malignant catarrhal fever sub-klinis pada sapi Bali di beberapa rumah potong hewan dergan pemeriksaan histopatologi. Jurnal llmu Ternak dan Veteriner 1 (2): 129-135 .
DAMAYANTI, R.1995 b. Variasi penyebaran lesi secara histopatologi pada kerbau dan sapi Bali yang terserang MCF di Balitvet dan Balitnak. (Variation of histopathological lesion distribution of Bali cattle and buffalo affected by MCF) . Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbangnak. Pp.82-87
DAMAYANTI, R.1996 a. Evaluasi histopatologik pada 70 kasus malignant catarrhal fever pada kerbau dan sapi Bali (Histopathological evaluation of 70 cases of malignant catarrhal fever in buffaloes and Bali cattle). In Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner. Balitvet. Pp.889-896
DAMAYANTI, R. 1996 b. Deteksi fenotipik subset limfosit T pada limfoglandula sapi Bali yang terserang penyakit ingusan (MCF) dengan metode imunohistokimiawi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 2(2): 120-126
DAMAYANTI, R. 1999.. Deteksi fenotipik antigen permukaan limfosit B, MHC I dan MHC II pada limfoglandula sapi Bali yang terserang malignant catarrhal fever dengan teknik imunohistokimiawi. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 4 (4): 273-280
DAMAYANTI, R dan A. WIYONO. 2005. Malignant Catarrhal Fever pada Sapi Bali: Sebuah Studi Kasus. Jurnal llmu Ternak dan Veteriner 10 (2): 150- 159.
DANIELS, P.W., SUDARISMAN and P. RONOHARDJO 1988. Malignant catarrhal fever in Asian livestock. ACIAR Monograph No.7, 129 p.
DANIELS, P.W., R.DAMAYANTI and SUDARISMAN.1988a. Problems in developing a rabbit model of malignant catarrhal fever. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. P.W. DANIELS, SUDARISMAN and P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p113-117
DANIELS, P.W., R.DAMAYANTI and SUDARISMAN.1988b. The differential diagnosa of malignant catarrhal fever: unusual and difficult cases. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. P.W. DANIELS, SUDARISMAN and P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p83-96
DANIELS, P.W., SUDARISMAN, A.WIYONO.and P.RONOHARDJO.1988c. Epidemiological aspects of malignant catarrhal fever in Indonesia. In: Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds P.W.DANIELS, SUDARISMAN and P.RONOHARDJO) ACIAR, Canberra. p 20-31
DHARMA DN, A. BUDIANTONO, R.S.F.CAMPBELL and P.W. LADDS. 1991. Studies on experimental Jembrana Disease in Bali Cattle. III. Pathology. Journal Comparative Pathology 105:397-414
DIELEMAN EF (1983) Trypanosomiasis in Indonesia. A review of research, 1900-1983. The Veterinary Quarterly 8:251-256
ENSSER, A., R. PFLANZ, B. FLECKENSTEIN., 1997. Primary structure of the alcelaphine herpesvirus 1 genome. Journal of Virology 71: 6517-6525.
HAMILTON, A.F.1990. Account of three outbreaks of malignant catarrhal fever in cattle in the Republic of Ireland. The Journal of Veterinary Record 127: 231-232
HARDIMAN, WAHYUNI, M. DJAFAR, Z. AMIR, SAARDI dan FITRIANI. 2008. Laporan Kasus: Kejadian Malignant Catarrhal Fever (MCF) Pada Sapi Bali di Kabupaten Maros, Sulawest Selatan. Prosiding KIVNAS, Bogor, Indonesia, 19-22 Agustus. 351.
HART, J., M.ACKERMANN, G. JAYAWARDANE,G.C. RUSSELL, D.M.HAIG, REID, H. and.,J.P. STEWART, J.P., 2007. Complete sequence and analysis of the ovine herpesvirus 2 genome. Journal of General Virology 88: 28-39.
HARTL, D.L. 1991. Basic Genetics. 2nd Ed.Jones and Bartlett Publishers. Boston. Pp.412.
HERRING, A., H. REID,N. INGLIS, I. POW. 1989. Immunoblotting analysis of the reaction of wildebeest, sheep and cattle sera with the structural antigens of alcelaphine herpesvirus-1 (malignant catarrhal fever virus). Veterinary Microbiology 19: 205-215.
HEUSCHELE, W.P (1983) Diagnosis of malignant catarrhal fever due to alcelaphine herpesvirus-1. In Proceedings 11:International Symposium on Veterinary Laboratory Diagnos!c. p707-713
HEUSCHELE, W.P. and A.E.CASTRO. 1985. Malignant catarrhal fever. In Comparative Pathobiology of Virus Disease. (Eds. R.G. OLSON, S. KRAKOWKA and J.R. BLAKESLEE), vol 1, CRC Press, Boca Raton, pp115-125
HEUSCHELE, W.P., H.R. FLETCHER, J.OOSTERHUIS, D.JANSSEN and P.T.ROBINSON. 1984. Epidemiologic aspects of malignant catarrhal fever in the USA. Proceedings US Animal Health Association 88:640-651
HUSIN D, F.X. SOESIO and S.MURSALIM .1982. Epidemiological investigation on malignant catarrhal fever on Bali cattle ex IFAD in Rejang Lebong district,Bengkulu. Annual Report on Animal Disease Investigation in Indonesia During Period of 1976-1981. Directorate General of Livestock Services. Jakarta
HUSSY, D., N. STAUBER, C.M. LEUTENEGGER, S..,RIEDER, M. ACKERMANN. 2001. Quantitative fluorogenic PCR assay for measuring ovine herpesvirus 2 replication in sheep. Clinical and Diagnostic Laboratory Immunology 8: 123-128.
JUBB, K. V. F., P.C. KENNEDY, and N. PALMER, 2007. Jubb, Kennedy, and Palmer’s pathology of domestic animals. Volume 2. Edited by MAXIE, M. G., 5th Edition. Edinburgh, Elsevier Saunders.
KATZ J, B. SEAL and J.RIDPATH . 1991. Molecular diagnosis of alcelaphine herpesvirus (malignant catarrhal fever) infections by nested amplification of viral DNA in bovine blood buffy coat specimens. Journal of Veterinary Diagnostic Investigation 3:193-198
LAHIJANI, R.S., S.M. SUTTON, R.B. KLIEFORTH, W.P. HEUSCHELE. 1995.
Identification and analysis of an alcelaphine herpesvirus-1 (AHV-1) cDNA clone expressing a fusion protein recognized by AHV-1-neutralizing antisera. Archives of Virology 140: 547-561.
LIGGITT, H.D., J.C. DEMARTINI, A.E. MCCHESNEY, R.E. PIERSON, dan J.
STORZ. 1978. Experimental transmission of malignant catarrhal fever in cattle: gross and histopathologic changes. Am. J. Vet. Res. 39:1249-
1257.
LIGGITT, H.D. and J.C.DE MARTINI. 1980a. The pathomorphology of malignant catarrhal fever. I. Generalized lymphoid vasculitis. Veterinary Pathology
17:58-73
LIGGIT, H.D. and J.C. DE MARTINI. 1980b. The pathomorphology of malignant catarrhal fever. II. Multisystemic epithelial lesions. Veterinary Pathology
17:74-84
LUVIZOTTO, MCR, H.F. FERRARI and T.C. CARDOSO. 2009. Malignant catarrhal fever-like lesions associated with ovine herpesvirus-2 infection in young calves (Bos indicus): a case report. J Venom Anim Toxins incl Trop Dis. 15 (1):178-185
MANSJOER, M.1954. Penyidikan tentang penyakit Ingusan pada sapi dan kerbau di Indonesia, terutama di Pulau Lombok. Tesis Doktor. Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Indonesia, Bogor. p.187 (Indonesian, English Abstract)
MARDIJONO, H.1988. Malignant catarrhal fever in South-East Sulawesi. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. PW DANIELS, SUDARISMAN and P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p.49-50
McGEOCH, D.J., D. GATHERER, A. DOLAN. 2005. On phylogenetic relationships among major lineages of the Gammaherpesvirinae. Journal of General Virology 86: 307-316.
MUSHI E.Z., P.B. ROSSITER, P.B., L.KARSTAD and D.M.JESSET. 1980b. The demonstration of cell-free malignant catarrhal fever herpesvirus in wildebeest nasal secretions. Journal of Hygiene 85:175-179
MUSHI EZ and F.R. RURANGIRWA. 1981. Malignant catarrhal fever virus shedding by infected cattle. Bulletin of Animal Health and Production in Africa 29:111-112
MUSHI, E.Z. and J.S.WAFULA. 1983. Infectivity of cell-free malignant catarrhal fever virus in rabbits and cattle. Veterinary Research Communications 6:153-155
PAKPAHAN, S.1988. Cases of malignant catarrhal fever in West Sumatra, Riau and Jambi. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. P.W. DANIELS, SUDARISMAN and P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p.44-46
PARTADIREDJA, M., I.G.SUDANA and SUSILO.1988. Malignant catarrhal fever in Indonesia. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. P.W. DANIELS, SUDARISMAN and P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p14-18
PIERCY, S.E.1954. Studies in bovine malignant catarrh. V. The role of sheep in the transmission of the disease. British Veterinary Journal 110:508-516
PLOWRIGHT, W.1968. Malignant catarrhal fever. Journal of American Veterinary Medicine Association 152:795-804
PLOWRIGHT, W.1981 Herpesvirus of wild ungulates, including malignant catarrhal fever virus. In Infectious Diseases of Wild Mammals, 2nd Edition. (Eds. J.W. DAVIS, L.H. KARSTAD and D.O. TRAINER), Iowa State University Press, Ames, Iowa, USA, pp126-146
PLOWRIGHT, W., R.D.FERRIS and G.R.SCOTT .1960. Blue wildebeest and the aetiological agent of bovine malignant catarrhal fever. Nature 188:1167-1169
PRABOWO, H.1988. Malignant catarrhal fever in Lampung, South Sumatra and Bengkulu. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. P.W. DANIELS, SUDARISMAN and P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p.47-48
PRABOWO, H and ISHITANI R. 1984. Studies on Rama Dewa, the enzootic disease of cattle occurring in Lampung province of Sumatra, Indonesia-its histopathology and critical views on name of the disease. Japan International Cooperation Agency
PUTRA, K.S.A .1985. Indonesia. In Veterinary Viral Disease: Their Significance in South-East Asia and the Western Pacific. (Ed. A.J. DELLA-PORTA). Academic Press. Sydney. p184-191
REID, H.W. and D.BUXTON. 1985. Immunity and pathogenesis of malignant catarrhal fever. In Immunity to herpesvirus infections of domestic animals. (Eds. P.P. PASTORET, E. THIRY and J. SALIKI). Commission of the European Communities. Brussels. Belgium. pp117-130
REID H.W, D. BUXTON, I. POWI, J. FINLAYSON and E.L. BERRIE. 1983. A cytotoxic T-lymphocyte line propagated from a rabbit infected with sheep-associated malignant catarrhal fever. Research in Veterinary Science 34:109-113
REID HW, D. BUXTON, E. BERRIE, I. POW and J. FINLAYSON. 1985. Culture of malignant catarrhal fever agent. Biology of Deer production, The Royal Society of New Zealand, 22:143-146
ROIZMAN,B., R.C. DESROSIERS, B. FLECKENSTEIN, C.LOPEZ, A.C.MINSON and M.J.STUDDERT. 1996. Family Herpesviridae. In International Committee on Taxonomy of Viruses (ICTV), Classification and Nomenclature of Viruses. Sixth Report of the ICTV
ROSSITER, P. B (1980b) Antigens and antibodies of malignant catarrhal fever herpesvirus detected by immunodiffusion and counterimmunoelectroph oresis. Veterinary Microbiology 5:205-213
ROSSITER, P.B and D.M. JESSETT. 1980. A complement fixation test for antigens of and antibodies to malignant catarrhal fever virus. Research in Veterinary Science 28:228-233
ROSSITER, P.B., 1981. Antibodies to malignant catarrhal fever virus in sheep sera. Journal of Comparative Pathology 91, 303-311.
ROSSITER, P.B., 1983. Antibodies to malignant catarrhal fever virus in cattle with non-wildebeest-associated malignant catarrhal fever. Journal of Comparative Pathology 93: 93-97.
ROSSITER, P.B.1985. Immunology and immunopathology of malignant catarrhal fever. Prog Vet Microbiology Immunology 1:121-144
RUSSELL, G.C., J. P. STEWART and D. M. HAIG. 2009. Malignant Catarrhal Fever. A Review. The Veterinary Journal . 179 : 324-335 doi:10.1016/ j.tvjl.2007.11.007
SCHULTHEISS, P.C., J.K. COLLINS, T.R. SPRAKER, J.C. DE MARTINI. 2000. Epizootic malignant catarrhal fever in three bison herds: differences from cattle and association with ovine herpesvirus- 2. Journal of Veterinary Diagnostic Investigation 12: 497-502.
SELMAN, I.E., A.WISEMAN , M.MURRAY and N.G.WRIGHT. 1978. A clinicopathological study of bovine malignant catarrhal fever in Great Britain The Journal of Veterinary Record 94:483-490
SENDOW I, P. YOUNG and P.RONOHARDJO. 1986. Serological studies of bluetongue virus in Indonesia. In Arbovirus Research in Australia. (Eds. TD ST GEORGE, BH KAY and J BLOK). Brisbane, CSIRO Division of Tropical Animal Science. p271-273
SOEHARSONO and P. DARMADI. 1976. Laporan percobaan pengobatan penyakit >Seputih Raman= dengan antibiotika pada sapi Bali di Kabupaten Lampung Tengah. (Report on medication of >Seputih Raman= disease in Bali cattle in District of Central Lampung using antibiotic). Directorate of Animal Health, Directorate General of Livestock Services, Ministry of Agriculture, Indonesia. Jakarta
SOESANTO, M, S. SOEHARSONO, A. BUDIANTONO, K. SULISTYANA, M. TENAYA and G.E. WILCOX. 1990. Studies on experimental Jembrana disease in Bali cattle. II. Clinical signs and haematological changes. Journal of Comparative Pathology 103:61-71
SULAIMAN, I., H.M.G.SIREGAR and ISBANDI.1988. Malignant catarrhal fever in South Sulawesi. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. PW DANIELS, SUDARISMAN and P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p.39-41
SYAMSUDIN A. 1990. Haemorrhagic septicaemia control in Indonesia with special reference to the eradication programme on Lombok Island. Proceedings of the 7th Congress of Federation of Asian Veterinary Association. 4-7 November 1990, Pattaya, Thailand. p.879-885
THONUR, L., G.C. RUSSELL, J.P. STEWART, D.M. HAIG. 2006. Differential transcription of ovine herpesvirus 2 genes in lymphocytes from reservoir and susceptible species. Virus Genes 32: 27-35.
TRANGGONO, M.1988. A high prevalence of malignant catarrhal fever in Banyuwangi. In Malignant Catarrhal Fever in Asian Livestock. (Eds. P.W. DANIELS, SUDARISMAN and P. RONOHARDJO). Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. p.52-54
UEHARA, M., N. KUDO, and M. SUGIMURA. 1978. Morphological studies on the rete mirabile epidurale in the calf. Japanese Journal Veterinary Research. 26:11-18.
WAN SK, A.E. CASTRO, W.P. HEUSCHELE and E.C. RAMSAY. 1988. Enzyme-linked immunosorbent assay for the detection of antibodies to the alcelaphine herpesvirus of malignant catarrhal fever in exotic ruminants. American Journal of Veterinary Research 49:164-168
WEDDLE, D.B, A.R. SPICKLER and R. DAVIS. 2011. Malignant Catarrhal fever. Center for Food Security and Public Health, Iowa State University. (http://www.cfsph.iastate.edu/DiseaseInfo/clinical-signs-photos.php? name=malignant-catarrhal-fever), (5 Nopember 2012)
WIYONO, A, P.W. DANIELS, R.J. GRAYDON and P. RONOHARDJO. 1990a. Serological studies of cattle affected by outbreaks of diarrhoeal disease in Kalimantan, Indonesia. Proceedings of the 7th Congress of Federation of Asian Veterinary Association. 4-7 November 1990, Pattaya, Thailand. P.491-500
WIYONO, A, P. RONOHARDJO, R.J. GRAYDON and P.W. DANIELS. 1989. Diare ganas sapi: I. Kejadian penyakit pada sapi Bali bibit asal Sulawesi Selatan yang baru tiba di Kalimantan Barat. Penyakit Hewan 38:77-83
WIYONO A, S.I.F..BAXTER , M.SAEPULLOH, R. DAMAYANTI , P.W.DANIELS and H.W.REID 1994. PCR detection of ovine herpesvirus-2 DNA in Indonesian ruminants - normal sheep and clinical cases of malignant catarrhal fever. Veterinary Microbiology. 42: 45-52
WIYONO, A. 1999. The detection of ovine herpesvirus-2 in reservoir host of malignant catarrhal fever in Indonesia by means of polymerase chain reaction. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 4 (2): 121-127.
WIYONO, A dan R.DAMAYANTI. 1999. Studies on the transmission of malignant catarrhal fever in experimental animals: Bali cattle in close contact with sheep. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 4 (2): 128-135
WIYONO, A. 2000. Studies on the epidemiology, aetiology and molecular biology of malignant catarrhal fever in Indonesia. PhD. Thesis. James Cook University of North Queensland, Townsville, North Queensland, Australia. p .314