Penyakit Leptospirosis

Leptospirosis adalah penyakit infeksi pada hewan mamalia dan juga dapat menular pada manusia yang disebabkan Leptospira sp. Kasus leptospirosis pada hewan dan manusia telah banyak dilaporkan di berbagai negara. 

Dalam perkembangan penyakitnya, terdapat berbagai fase yang dapat saling tumpang-tindih terjadi pada hostnya, yaitu fase leptospiremia, fase pembentukan antibodi, dan fase leptospiruria. 

Gejala klinis leptospirosis sangat bervariasi, bergantung pada kepekaan host yang terinfeksi dan virulensi agen penyebabnya, yaitu mulai dari yang ringan atau bahkan subklinis sampai dengan yang berat yang dapat menimbulkan kematian. Kematian penderita leptospirosis akibat terjadinya degenerasi ginjal dan nekrosis hati. Pada kasus-kasus akut, gejala klinis leptospirosis yang sering teramati adalah agalaktia, hemoglobinuria dan ikterus, atau kejang-kejang akibat terjadinya meningitis. Sedangkan pada kasus-kasus kronis, gejala klinisnya adalah abortus, lahir-mati, lahir-dini, anak yang dilahirkan dengan kondisi Iemah, atau infertilitas. Pada kuda dapat terjadi periodik opthalmia (moon blindness). 

Kematian yang terjadi pada ternak, terutama pada ternak muda, agalaktia, dan berbagai gangguan pada sapi, babi dan domba merupakan dampak leptospirosis yang merugikan peternak. 

ETIOLOGI 

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan Leptospira intterogans. Pada awalnya dikenal berbagai macam species Leptospira, namun sekarang hanya dikenal satu macam yaitu Leptospira interrogans dengan berbagai serotype atau serovar. 

Selama fase leptospiruria, leptospira dikeluarkan tubuh bersamaan dengan dikeluarkannya urin. Di luar tubuh, daya tahan hidupnya banyak dipengaruhi kondisi tanah dan air tempat bakteri tersebut berada. Kelembaban, pH tanah yang netral, dan suhu sekitar 25°C diperlukan untuk mempertahankan kehidupan leptospira di luar tubuh. Makin lama hidup, maka makin banyak peluangnya untuk menginfeksi host baru yang peka. 

Kelembaban diperlukan untuk mempertahankan kehidupan leptospira. Hal ini ditunjukkan dari suatu percobaan bahwa pada tanah dengan kandungan air yang banyak dapat memelihara kehidupan leptospira sampai 193 hari, tetapi hanya 30 menit jika tanah tersebut kering. Selain kelembaban, pH dan suhu juga sangat berpengaruh untuk mendukung kehidupan leptospira. Kehidupan leptospira terhambat pada pH di bawah 6 atau Iebih besar dari pH 8, dan juga kehidupannya terancam pada suhu lebih rendah dari 7-10°C atau Iebih tinggi dari 34-36°C. 

Sementara itu, di dalam susu sapi, leptospira hanya bertahan hidup selama 30 menit, tetapi jika susu tersebut terencerkan dengan air tawar maka leptospira dapat bertahan hidup selama 60 hari. Di dalam urin babi, leptospira hanya bertahan hidup selama 6 hari, dan pada urin sapi yang terencerkan dengan air tawar, leptospira bertahan hidup selama 35 hari. Selain itu, leptospira akan mati dengan cepat jika dipaparkan pada sinar matahari, desinfektan, detergen, atau sabun. 

Spesies bakteri penyebab leptospirosis L.interrogans, termasuk dalam famili Leptospiraceae dari ordo Spirochaetales. Secara serologis, anggota spesies ini dapat dibedakan menjadi serovar-serovar, dan serovar-serovar yang hampir sama sifat genetiknya dikelompokkan menjadi satu kelompok serogroup. Sampai saat ini telah diketahui terdapat 172 jenis serovar yang dikelompokkan menjadi 19 jenis serogroup. 
Gambar. Leptospira interrogans

Leptospira interrogans berbentuk batang helikoidal yang lentur dengan diameter 0,1 µm dan panjangnya 6-12 µm. Setiap sel bakteri ini memiliki 18 lekukan atau lebih dengan amplitudo 0,10-0,15 µm dan panjang gelombangnya kira-kira 0,5 µm. Biasanya, salah satu atau kedua ujung selnya membengkok. Spesies ini bergerak dengan gerakan yang khas, yaitu berotasi secara bolak-balik sepanjang sumbu memanjangnya bersamaan dengan gerakan maju-mundur searah dengan arah sumbu memanjangnya. Spesies ini adalah aerob obligat dengan suhu optimum untuk pertumbuhannya adalah 28-30°C, dan waktu generasinya 6-16 jam. L.interrogans tergolong dalam bakteri gram negatif, tetapi spesies ini tidak mudah menyerap zat warna anilin, sehingga diperlukan pewarnaan khusus  untuk rnewarnainya. Spesies ini yang tidak diwarnai tidak dapat dilihat dengan mikroskop medan terang, tetapi mudah dilihat dengan menggunakan mikroskop medan gelap atau mikroskop kontras-fase. 

EPIDEMIOLOGI 

Spesies rentan 

Semua mamalia, terutama sapi, kambing, domba, babi, kuda, anjing, kucing, tikus dan manusia merupakan spesies yang banyak dilaporkan terserang leptospirosis.

Ternak sapi terutama terinfeksi dengan serovar pomona, dan serovar hardjo, dan sapi bertindak sebagai hewan carrier dari kedua serovar tersebut. Kedua serovar tersebut telah dilaporkan sebagai penyebab gangguan reproduksi pada sapi, dan serovar hardjo telah dilaporkan sebagai penyebab agalaktia dan mastitis pada sapi. 

Babi sering bertindak sebagai hewan carrier dari serovar pomona dan serovar tarassovi.Kedua serovar tersebut bertindak sebagai penyebab gangguan reproduksi papa babi. 

Sedangkan spesies ternak lainnya, yaitu kerbau, domba dan kambing belum diteliti secara intensif. 

Pengaruh Lingkungan 

Lingkungan dari peternakan berpengaruh terhadap prevalensi leptospirosis pada ternaknya. Prevalensi leptospirosis akibat L.hardjo pada sapi potong setelah terjadinya hujan dan pada peternakan dengan tanah yang becek ternyata lebih tinggi. Hal ini sesuai dengan pengamatan pada lingkungan yang basah terjadi infeksi leptospira yang tinggi terjadi pada tikus dan sapi. Adanya genangan air atau akibat hujan lebat tampaknya memperlama kehidupan dan meningkatkan penyebaran leptospira sehingga kejadian leptospirosis akan berlangsung terus menerus sepanjang musim penghujan, terutama jika terdapat banyak tikus. 

Sifat Penyakit 

Bergantung pada spesies host, serovar penyebab, dan daerah host berada, maka leptospirosis dapat bersifat sporadis atau endemis. Pada babi, leptospirosis akibat pomona di Jawa bersifat endemis. 

Cara Penularan 

Urine dari hewan yang terinfeksi, air atau tanah yang terkontaminasi dengan urin terinfeksi, jaringan dari hewan terinfeksi, atau cairan tubuh hewan terinfeksi merupakan sumber penularan leptospirosis. 

Penularan leptospirosis dapat terjadi baik secara kontak langsung atau kontak tidak langsung. Kontak langsung yang paling sering pada ternak adalah melalui inhalasi yaitu droplet urin terinfeksi langsung masuk alveoli host lain. Sedangkan penularan melalui kontak tidak langsung terjadi jika host peka terpapar dengan air atau tanah yang terkontaminasi dengan leptospira yang terdapat di dalam sumber penularan. 

PENGENALAN PENYAKIT 

Gejala Klinis 

Pada sapi leptospirosis dapat berlangsung cepat, atau secara bertahap, atau secara klinis tidak terlihat (subklinis). Pada kasus-kasus akut dan subakut biasanya terjadi fever (1-2,5°C di atas normal) yang berlangsung sampai 4-5 hari, dengan disertai malaise, depresi, hilang nafsu makan, kelemahan, konjuntivitis, anemis dan diare. Pada kasus yang lebih berat, hemoglobinuria akibat terjadinya anemia hemolitik sering merupakan gejala klinis pertama yang menarik perhatian. Urin menjadi merah gelap atau hampir hitam. Ikterus dan ensefalitis dapat juga teramati. Angka kematian bervariasi, bergantung pada umur hewan dan serovar yang terlibat. Kematian terjadi setelah beberapa hari diakibatkan terjadinya degenerasi berat dari ginjal yang disertai nekrosis hati. 

Selama kasus akut pada sapi laktasi, air susu berwarna kuning dan menggumpal, kemudian diikuti dengan agalaktia yang pada umumnya berlangsung selama beberapa hari sampai 2 minggu. Pada sebagian besar sapi berproduksi dapat normal kembali dalam 2-3 minggu, tetapi ada juga sapi yang gagal berproduksi dapat normal kembali. 

Encefalitis mungkin terjadi pada kasus akut leptospirosis tetapi gejala klinisnya sering tidak dapat diamati. Nefritis terjadi pada bentuk akut dan bentuk kronis leptospirosis. Pada kasus akut leptospirosis dapat dikenali adanya hemoglobinuria atau hematuria. 

Gejala klinis yang sering terlihat pada leptospirosis sapi adalah abortus dan lahir-mati yang terjadi 1-3 minggu setelah gejala klinis pertama terlihat. Gangguan ini sering terjadi pada sepertiga akhir masa kebuntingan. 

Gejala klinis pada babi muda biasanya terjadi demam (0,5°C - 1,5°C di atas normal), anoreksia, kelemahan, konjuntivtis, ikterus, hemoglobinuria, dan gangguan syaraf pusat (kejang-kejang). Infeksi pada babi dewasa tidak bunting biasanya tidak memperlihatkan gejala klinis. Sedangkan pada babi bunting dapat mengakibatkan abortus, lahir-mati dan kematian neonatal. 

Patologi 

Pada kasus akut, patologi yang terlihat adalah ikterus, karkas terlihat kuning, hati dan ginjal membengkak, korteks ginjal coklat kemerahan. Urin di dalam vesika urinaria dapat terlihat berwarna merah atau hitam. Pada pemerikaan secara histologi lesi utama yang ditemukan adalah berupa radang ginjal interstitialis, baik yang bersifat fokal atau difus. Perubahan nekrotik yang bersifat sentrolobuler dan vaskuler terdapat pada histologi hati. Lesi pada hati terdapat meluas pada kasus yang bersifat fatal. Pada kasus kronis, pada permukaan ginjal terlihat bercak-bercak putih tampak pada korteks ginjalnya. 

Diagnosa 

Pada leptospirosis, gejala klinis dan patologi yang terjadi pada host tidak patognomonis, sehingga diagnosa klinis dan Patologi harus diteguhkan dengan diagnosa laboratorium. 

Diagnosa laboratorium ini bertujuan untuk: 

a. Mendemonstrasikan adanya antibodi antileptospira di dalam serum host b. Mendemonstrasikan leptospira yang berada di dalam tubuh host. Untuk memberikan hasil diagnosa yang akurat, maka perlu pemilihan jenis spesimen yang sesuai dengan fase yang terjadi pada leptospirosis. 

Pada kasus akut leptospirosis, untuk hewan penderita yang masih hidup didiagnosa dengan mendemonstrasikan adanya kenaikan titer antibodi antileptospira yang berada di dalam serum akut dan serum konvalesensi. Jika hewannya telah mati, maka diagnosa yang harus dilakukan adalah 

mendemonstrasikan adanya leptospira di dalam jaringan dan cairan tubuh. Pada kasus-kasus yang memperlihatkan gangguan syaraf, spesimen yang didiagnosa adalah otak, sumsum tulang belakang, cairan serebrospinal dan mata. Sedangkan pada kasus-kasus terjadi ikterus, spesimen yang didiagnosa adalah organ-organ parenkim, tetapi jangan hanya ginjal saja yang didiagnosa. 

Pada kasus leptospirosis kronis, diagnosa bertujuan untuk : 

a. Menentukan hewan carrier 

b. Menentukan penyebab abortus, lahir-mati, dan gangguan reproduksi lainnya. 

Diagnosa penentuan hewan carrier adalah dengan mendemonstrasikan titer antibodi antileptospira. Dalam hal ini tidak diperlukan serum pasangan karena biasanya titer sudah mulai menurun. Masalah dalam diagnosa ini adalah banyak hewan yang secara serologis dikategorikan negatif tetapi masih pada fase leptospiruria. Pada sapi dan babi, masing-masing sebanyak 51,6% dan 77,8% hewan carrier yang dikategorikan negatif secara serologis menggunakan uji aglutinasi mikroskopik. Diagnosa hewan carrier dapat juga dengan mendemonstrasikan adanya leptospira di dalam urin, tetapi diagnosa ini tidak dianjurkan, karena diagnosa negatif tidak berarti hewan tidak mengandung leptospira di dalam urinnya. 

Diagnosa pada kasus-kasus abortus yang paling akurat adalah dengan mendiagnosa fetusnya, yaitu : 

a. mendiagnosa adanya antibodi antileptospira pada serum fetus 

b. mengisolasi leptospira dari paru-paru dan ginjal fetus 

c. menguji secara immunofluoresen adanya leptospira paru-paru, ginjal dan adrenal fetus. 

Terdapat berbagai jenis uji serologis untuk mendiagnosa leptospirosis, di antaranya adalah uji aglutinasi mikroskopik (UAM), uji fiksasi komplemen (CFT), enzyme linked immunosorbent assay (ELISA). Di antara uji tersebut, UAM merupakan uji yang paling banyak dipakai dan digunakan sebagai uji standar untuk menilai uji serologis lainnya. Dalam UAM, titer 1:100 atau lebih ditafsirkan sebagai positif. 

Diagnosa Banding 

Bentuk akut dan subakut leptospirosis pada sapi harus dibedakan dari babesiosis, anaplasmosis, hemoglobinuria basiler, hemoglobinuria postpartus dan anemia hemolitika akut. Pada babi, terjadinya kasus-kasus gangguan reproduksi harus dibedakan dengan brucellosis, infeksi parvovirus, pseudorabies, dan hog cholera

Pengambilan dan Pengiriman Spesimen 

Spesimen untuk pemeriksaan serologis berupa serum. Serum kira-kira 2 ml ditempatkan dalam botol, tanpa penambahan pengawet dan dikirimkan secepatnya ke laboratorium veteriner. Selama dalam perjalanan serum harus selalu dingin. 

Untuk isolasi agen penyebab leptospirosis, spesimen dapat diawetkan dalam medium transport, BSAD (bovine serum albumin diluent) kemudian segera dikirim ke laboratorium dalam termos berisi es. 

PENGENDALIAN 

Pengobatan 

Sapi 

Pada sapi, pengobatan dengan dihidrostreptomisin dengan dosis 11 mg/kg berat badan setiap 12 jam selama 3 hari, atau 5 gram sehari dua kali selama tiga hari berturut-turut, efektif untuk menyembuhkan kasus akut leptospirosis dan mengeliminasi leptospira dari ginjal. Kombinasi antibiotik penicilin dan eritromisin juga dapat efektif mengatasi radang ginjal kronik dan leptospirosis. 

Babi 

Pada babi, pengobatan dapat dilakukan dengan memberi makanan yang telah dicampur oksitetrasiklin (500 g oksitetrasiklin per ton pakan) selama 14 hari yang diberikan satu bulan sebelum partus, atau campuran 400 g klortetrasiklin per ton pakan diberikan selama 10 hari dan diberikan 2 bulan sebelum partus. Pengobatan secara ini dapat mengurangi kasus abortus dan kematian neonatal. Pemberian dihidrostreptomisin, pada awal terjadinya penyakit, dengan dosis 25 mg/kg berat badan setiap hari selama 3 hari, efektif mengurangi gejala klinis dan mencegah abortus. 

Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Vaksinasi. 

Pada sapi biasanya digunakan vaksin hardjo-pomona. Vaksinasi pertama pada saat pedet berumur 4-6 bulan, kemudiaan diikuti dengan vaksinasi ulang setiap tahun. Pada babi biasanya digunakan vaksin pomona- tarassovi. Vaksinasi diberikan pada anak babi umur 3 bulan dan babi bunting. Babi bibit harus divaksinasi setiap 6 bulan. 

Pencegahan penyebaran infeksi. 

Untuk mencegah penyebaran infeksi, dianjurkan : 

a. Setelah diketahui terjadi letupan leptospirosis pada peternakan sapi, maka catat suhu harian semua sapi pada peternakan tersebut, dan karantinakan sapi-sapi dengan suhu 39.5°C dan diobati dengan dihidrostreplomisin. 

b. Dekontaminasi atau musnahkan semua ekskreta, fetus abortus dan membran fetus. 

c. Dijaga supaya air minum sapi tidak terkontaminasi dengan urin hewan terinfeksi leptospirosis. 

d. Daerah-daerah berlumpur dieliminasi. 

e. Diusahakan agar kerumunan sapi ketika minum, makan dan di kandang tidak terlalu padat. 

f. Periksa secara serologis serum semua hewan pada saat leptospirosis terjadi dan diulangi sebulan kemudian, dan karantinakan hewan yang menunjukkan kenaikan titer antibodi antileptospira. 

g. Jangan memasukkan hewan baru ke dalam peternakan paling sedikit selama 6 bulan, dan dijaga agar hewan yang tidak terinfeksi terisolasi dari kelompok hewan terinfeksi selama 6-9 bulan setelah kasus leptospirosis terakhir terjadi. 

h. Minimalkan atau cegah terjadinya kontak dengan jenis ternak lain, tikus dan hewan liar Iainnya. 

i. Jika digunakan inseminasi buatan, maka gunakan semen dari pejantan yang bebas leptospirosis. 

j. Hewan-hewan bunting dipisahkan dari hewan yang tidak bunting. 


DAFTAR PUSTAKA 

Anonim 2011. The Merck Veterinary Manual 11th Edition, Merek & CO, Inc 

Rahway, New Jersey, USA. 

Anonim 2004. Bovine Medicine Diseases and Husbandry of Cattle 2nd Edition. 

Andrews AH, Blowey RW, Boyd H, Eddy RG Ed. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia. 

Carrol A G, Campbell R S F 1987. Reproductive And Leptospiral Studies On Beef Cattle In Central Queensland. Aus. Vet. J., 64: 1-5. Collier, W.A. 1948. Maladie Des Porchers In Niederlandisch Indies. Schweiz. Med. Wschr, 78:508-509. 

Darodjat M, Nurhadi A, Hutabarat T 1994. Prevalence Of Leptospiral Antibodies In Cattle In West And East Nusatenggara. Chaps Book B. Eastern Islands Veterinary Service Project. 

Faine S 1982. Guidelines For The Control Of Leptospirosis. World Health Organization, Geneva. 

Direktur Kesehatan Hewan 2002. Manual Penyakit Hewan Mamalia. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Bina Produksi Peternakan, Departemen Pertanian RI, Jakarta Indonesia. 

Plumb DC 1999. Veterinary Drug Handbook. 3rd Edition. Iowa State University Press Ames. 

Quinn PJ, Markey BK, Carter ME, Donnelly WJC, Leonard FC and Maghire D 2002. Veterinary Microbiology and Microbial Disease. Blackwell Science Ltd. Blackwell Publishing Company Australia. 

Radostids OM and DC Blood 1989. Veterinary Medicine A Text Book of the Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats and Horses. 7th Edition. Bailiere Tindall. London England.

Smith BP 2002. Large Animal Internal Medicine. Mosby An Affiliate of Elsevier 

Science, St Louis London Philadelphia Sydney Toronto. 

Subronto dan Tjahajati 2008. Ilmu Penyakit Ternak III (Mamalia) Farmakologi Veteriner: Farmakodinami dan Farmakokinesis Farmakologi Klinis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia. 

Subronto 2008. Ilmu Penyakit Ternak I-b (Mamalia) Penyakit Kulit (Integumentum) Penyakit-penyakit Bakterial, Viral, Klamidial, dan Prion. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Indonesia.