Penyakit Myasis

Sinonim : Belatungan, Baulat, Koreng, Borok
A. PENDAHULUAN

Kata Myasis berasal dari bahasa Yunani, yaitu “myia” yang berarti lalat. Adapun definisi myiasis adalah infestasi larva lalat (Diptera) ke dalam jaringan hidup manusia atau hewan vertebrata lainnya dalam periode tertentu dengan memakan jaringan inangnya termasuk cairan substansi tubuh. Masyarakat Indonesia lebih mengenal penyakit ini dengan nama belatungan sedangkan penduduk India menyebutnya sebagai peenash atau scholechiasis. Selain pada hewan, kasus myasis juga terjadi pada masyarakat golongan sosio-ekonomi rendah terutama di negara tropis pada musim penghujan. Sampai saat ini, kasus myasis masih banyak dijumpai tidak hanya pada daerah kantung ternak yang dipelihara secara ekstensif (seperti di kawasan Indonesia Bagian Timur) tetapi juga pada peternakan intensif atau semi intensif termasuk pada hewan kesayangan.

B. ETIOLOGI

Penyebab myiasis di Indonesia dapat digolongkan menjadi tiga kelompok, yaitu lalat primer (Chrysomya bezziana atau the Old World Screwworm Fly), lalat sekunder (C.megacephala, C.rufifacies, C.varipes, Hemypirellia, Sarcophaga sp) dan lalat tertier (Musca spp). Larva C.bezziana bersifat obligat parasit yang hanya memakan jaringan hidup tubuh inangnya. Lalat ini pertama kali di koleksi di Kongo (Zaire) pada tahun 1909 dari sapi dan diidentifikasi oleh Professor Bezzi. Meskipun identifikasinya kurang tepat, tetapi untuk menghargai jasa beliau maka lalat tersebut diberi nama “bezziana” oleh Entomologis dari Perancis, Joseph Villeneuve. Adapun myiasis di Australia disebabkan oleh Lucilia cuprina dan L.sericata, myiasis di benua Amerika disebabkan oleh Cochlyomyia hominivorax (the New World Scerwworm Fly) dan myiasis di benua Eropa dan sebagian Asia disebabkan oleh Wohlfahrtia magnifica.

C. EPIDEMIOLOGI

1. Siklus hidup
Siklus hidup lalat C.bezziana terbagi menjadi empat tahap, yaitu telur, larva, pupa dan lalat. Dari telur menetas menjadi larva instar I (L1) sampai dengan larva instar III (L3) memerlukan waktu enam hingga tujuh hari, selanjutnya L3 akan jatuh ke tanah dan membentuk pupa. Dalam waktu tujuh sampai delapan hari, pupa menetas menjadi lalat (imago). Setelah kawin pada umur 4 – 8 hari, lalat betina akan bertelur pada jaringan yang terluka

Lalat betina akan meletakkan kumpulan telurnya di tepi luka pada sore hari atau menjelang petang dalam waktu 4,1 menit. Jumlah telur yang dikeluarkan oleh lalat betina berkisar antara 95 sampai 245 (rata-rata 180 telur). Telur akan menetas menjadi L1 dalam waktu 12-24 jam atau sepuluh jam pada suhu 30oC, selanjutnya L1 menuju ke daerah luka yang basah. Sehari kemudian, L1 akan berubah menjadi L2 dan mulai membuat terowongan yang lebih dalam di daerah luka tersebut dengan cara masuk ke dalam jaringan inang.

Larva instar II akan berkembang menjadi L3, selanjutnya pada hari keempat bermigrasi keluar dari daerah luka tersebut dan jatuh ke tanah. Larva instar III (L3) akan membuat terowongan sepanjang dua sampai tiga sentimeter untuk menghindari sinar matahari secara langsung. Larva akan membentuk pupa dalam waktu 24 jam pada suhu 28oC. Penetasan lalat dari pupa sangat tergantung dari lingkungan. Pupa akan menetas menjadi lalat selama seminggu pada kondisi 25-30oC sedangkan pada temperatur yang lebih rendah akan lebih lama bahkan sampai berbulan-bulan.

2. Patogenitas
Patogenesis myasis pada hewan dan manusia tidak berbeda. Awal terjadinya myasis adalah apabila ternak mengalami luka alami akibat berkelahi, tersayat benda tajam, gigitan caplak/predator dan pasca partus atau terputusnya tali pusar/umbilikus. Luka lain juga disebabkan oleh campur tangan manusia, misalnya pada kasus pemotongan tanduk (de-horning), kastrasi, pemotongan ekor, puncukuran bulu dan lain-lain. Bau darah segar

yang mengalir akan menarik lalat betina C.bezziana untuk meletakkan telurnya di tepi luka tersebut. Telur ini mempunyai daya rekat yang kuat sehingga tidak mudah jatuh ke tanah oleh gerakan hewan. Dalam waktu kurang dari 12 jam, telur akan menetas menjadi larva dan bergerak masuk ke dalam jaringan. Aktivitas larva di dalam jaringan tubuh mengakibatkan luka semakin besar dan kerusakan jaringan semakin parah. Kondisi ini menyebabkan bau yang menyengat dan mengundang lalat yang lain (lalat sekunder dan tersier) untuk hinggap (Sarcophaga sp, C.megachepalla, C.rufifacies, Musca sp) dan memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri. Apabila tidak ada pengobatan, penderita dapat mengalami kematian.

3. Spesies Rentan
Semua jenis hewan yang bertulang belakang dan berdarah panas rentan terhadap penyakit myiasis. Kasus myasis banyak terjadi pada induk sapi yang diikuti oleh pedet, kerbau, kuda, babi, kambing, cempe dan domba yaitu, pada induk pasca partus (myasis vulva) dan anak yang baru lahir (myasis umblikus), sedangkan sisanya sebagai akibat luka traumatika.

Gambar 1. Ternak yang terserang myasis akibat infestasi larva C. bezziana. A: Myasis pada pedet;B: Myasis pada

                        unggas; C. Myasis vulva; D: Myasis moncong dan E. Myasis kaki pada kerbau

4. Sifat Penyakit
Penyakit ini tidak menyebabkan kematian apabila cepat dilakukan pengobatan. Namun apabila hewan penderita tidak diobati dalam waktu 1 – 2 minggu maka akan terjadi keracunan akibat aktivitas bakteri (infeksi sekunder) seperti yang dilaporkan di Texas bahwa kematian tahunan akibat myiasis pada rusa muda berkisar 20-80%.

D. PENGENALAN PEYAKIT

1. Gejala Klinis dan Patologi
Infestasi larva myasis tidak menimbulkan gejala klinis yang spesifik dan sangat bervariasi tergantung pada lokasi luka. Gejala klinis pada hewan demam, radang, peningkatan suhu tubuh, kurang nafsu makan, tidak tenang sehingga mengakibatkan ternak mengalami penurunan berat badan dan produksi susu, kerusakan jaringan, infertilitas, hipereosinofilia serta anemia. Apabila tidak diobati, myasis dapat menyebabkan kematian ternak sebagai akibat keracunan kronis ammonia.

Gajala umum yang terjadi pada myasis manusia antara lain demam, gatal- gatal, sakit kepala, vertigo, eritrema, radang (inflamasi), pendarahan serta memicu terjadinya infeksi sekunder oleh bakteri. Gambaran darah penderita myasis akan menunjukkan gejala hipereosinopilia dan meningkatnya jumlah neutropil.

2. Diagnosa
Periode antara adanya telur lalat diluka sampai menunjukkan gejala sakit karena larva membuat terowongan di dalam tubuh inang adalah 1 – 2 hari. Tidak jarang, luka hanya nampak kecil (lubang kecil) dari luar dan terlihat pembengkaan yang berair pada lokasi luka. Apabila luka tersebut dibuka, maka akan dijumpai larva yang bergerombol ataupun terpisah.

3. Diagnosa banding
Diagnosa banding penyakit myiasis adalah infestasi jaringan oleh lalat-lalat yang lain, seperti C.megacephala, Sarcophaga sp dan Phormia regina.

E. PENGENDALIAN

1. Pengobatan
Pada peternakan komersial, umumnya dilakukan dipping (perendaman) menggunakan coumaphos atau golongan organophospat yang lain dengan dosis maksimal untuk pemberantasan parasit eksternal. Disamping itu, pengobatan dapat dilakukan menggunakan insektisida sistemik, seperti ivermectin pada dosis 200 mg/Kg. Untuk pencegahan agar luka tidak mendapat serangan larva lalat, dapat digunakan doramectin (200 mg/ Kg) yang dilaporkan efektif sampai 12-14 pasca pengobatan. Pemberian insektisida topikal 1 % larutan fipronil (10 mg/Kg) kurang efektif. Hewan yang dikastrasi dapat diberikan dicyclanil untuk melindungi luka dari serangan lalat myiasis. Adapun spinosad (formula dari produk fermentasi bakteri) dapat digunakan untuk pengobatan dan pencegahan dengan cara disemprot. Selama ini pengobatan umum yang dilakukan oleh peternak di Indonesia adalah peyemprotan luka dengan Gusanex®.

Pengobatan myiasis pada manusia diawali dengan pengambilan larva dari daerah luka, selanjutnya diirigasi dengan larutan saline normal dan diikuti dengan pembedahan. Antibiotik yang berspektrum luas umumnya diinjeksikan untuk mencegah adanya infeksi sekunder, kemudian campuran dari 1 x kloroform : 4 minyak terpentin digunakan untuk pengobatan lokal.

2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Pelaporan
Tidak diperlukan tindakan pelaporan ke Dinas Peternakan apabila ditemukan kasus myiasis pada hewan. Peternak dapat menghubungi dokter hewan / klinik hewan terdekat untuk melakukan pengobatan. Namun demikian, pengobatan perlu segera dilakukan untuk mencegah luka semakin parah yang dapat disertai dengan infeksi sekunder oleh bakteri dan berakhir dengan kematian.

b. Pencegahan
Ternak yang menderita myiasis harus diobati hingga tuntas sebelum dijual atau dimasukkan ke wilayah yang lain untuk mencegah penyebaran lalat semakin luas.

c. Pengendalian dan Pemberantasan
Untuk mengendalikan populasi lalat myiasis di daerah endemik myiasis, perlu dilakukan pemasangan perangkap lalat. Setidaknya ada dua jenis trap yang sering digunakan di lapang, yaitu perangkap yang dilapisi perekat (sticky trap) atau perangkap yang terbuat dari plastik dengan banyak lubang dipermukaannya (Lucitrap).


F. DAFTAR PUSTAKA

Hall MJR 1991. Screwworm flies as agents of wound myiasis. Pp. 8 17 in, World Animal Review, Special Issue ‘New World Screwworm: Response to an Emergency’ , October 1991, R.D.S. Branckaert (Ed.) 52 pp.


Hall MJR and Wall R 1995. Myiasis of humans and domestic animals. Advances in Parasitology 35, 257-334.

Hall MJR, Farkas R and Chainey EJ 1998. Use of odour-baited boards to traps Tabanid flies and investgate repellents. Medical and Veterinary Entomology. 12 (3), 241-245.

Hall MJR and Farkas R 2000. Traumatic myiasis of humans and animals. Chapter 1.18, pages 751-768, In “Contributions to a Manual of Palaearctic Diptera” Volume 1. General and Applied Dipterology, Editors, L Papp, B Darvas, Science Herald, Budapest. 978 pp.

Hall MJR, Edge W, Testa, JM, Adams, ZJO and Ready PD 2001. Old World screwworm fly, Chrysomya bezziana, occurs as two geographical races. Medical Veterinary Entomology, 15 (4), 393–402.

Hall MJR 2008. New world screwworm (Cochliomyia hominivorax) and Old world screwworm (Chrysomya bezziana). Chapter 2.1.10. OIE Terrestrial Manual 2008, 265-275.

Hall MJR, Wardhana AH, Shahhosseini G, Adams ZJO And Read PD 2009a. Genetic diversity of populations of Old World screwworm fly, Chrysomya bezziana, causing traumatic myiasis of livestock in the Gulf region and implications for control by sterile insect technique. Medical and Veterinary Entomology, 23 (Suppl.1), 51-58.

Hendrichs J 2000. Use of the sterile insect technique against key insect pests. ICG-Publishing Ltd. Sustainable Development International, 2, 75 - 79.

Hendrichs J, Vreysen MJB, Enkerlin WR and Cayol JP 2005. Strategic options in using sterile insects for area-wide integrated pest management, in, Dyck V.A., Hendrichs J., Robinson A.S. (Eds.), Sterile insect technique. Principles and practice in area-wide integrated pest management, Springer, Dordrecht, The Netherlands, pp. 563-600.

Humphrey JD, Spradbery JP and Tozer RS 1980 Chrysomya bezziana, pathology of Old World screw-worm fly infestations in cattle. Experimental Pathology. 49, 381-397.

IAEA 1998. Thematic Plan for the Sterile Insect Technique for Old and New World Screwworm. IAEA-TP-D4-01. Vienna, Austria, 10-12 November 1998.

IAEA/FAO, InternationalAtomic EnergyAgency/Food andAgriculture Organization. 2000. Genetic sexing and population genetic of screwworms. 31 pp. International Atomic Energy Agency, 7-11 August 2000, Vienna, Austria.

Jarret S, Morgan JAT, Wlodek BM, Brown GW, Urech R, Green PE and Lew-Tabor AE 2010. Specific detection of the Old World Screwworm fly, Chrysomya bezziana, in bulk fly trap catches using real time PCR. Medical and Veterinary Entomology. 24 (3), 227-235.

Jess ATM, Jarrett S, Wlodek B, Brown GW, Urech R, Green PE and Lew AE 2008. Specific detection of Chrysomya bezziana (SWF) in bulk trap cathes using real-time PCR. Final Report. Department of Primary Industries and Fisheries, Queensland. Meat and Livestock Australia Limited, Locked Bag 991, North Sydney.

Joe KL and H Kern 1955. Myiasis di Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia, 5-7, 259-264.

Joe KL, Poo TK and Wannee E 1957. Myiasis di Sumatera Selatan. Majalah Kedokteran Indonesia, 7-9, 278-281.

Kementan, 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia

Lindquist DA and Abusowa M 1992. Eradicating the New World Screwworm from the Libyan Arab Jamahiriya. IAEA Bulletin 4, 17-24.

Mangkusumo E and Utama R 1999. Miasis hidung. Maj. Kedok. Indon. 49 (2), 77- 80.

Muharsini S, Wardhana, AH, Habib and Bahagiawati A 2003. Characterization of Bacillus thuringiensis isolates from several localities of Java and South Sulawesi for Biological Control of myiasis, Chrysomya bezziana. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 8 (3), 256-263.

Muharsini S, Wardhana AH and Maryam R 2010. Collection and incidence of myiasis caused by the Old World Screwworm fly, Chrysomya bezziana, in West Java Indonesia. Report. IAEA Coordinating Research Meeting in Bali. 22-26 February 2010.

Partoutomo S 2000. Epidemiologi dan pengendalian myiasis di Indonesia. Wartazoa, Indonesian Bulletin of Animal Science 10 (1), 20–27.

Ready PD, Testa JM, Wardhana AH, Al-Izzi M, Khalaj M and Hall JR 2009. Phylogeography and recent emergence of the Old World screwworm fly, Chrysomya bezziana, based on mitochondrial and nuclear gene sequences. Medical and Veterinary Entomology, 23 (Suppl.1), 43-50.

Savitri D and Sjamsulhadi D 1998. Kasus myiasis di Kabupaten Garut. Laporan Dinas Peternakan Tingkat II Kabupaten Garut, Garut, Jawa Barat.

Sembiring DK 1991. Kasus myiasis (Screwworm) yang berhasil diamati di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Laporan Dinas Peternakan Kabupaten Tingkat II Wajo, Sulawesi Selatan.

Spradbery JP, Tozer RS, Robb JR and Cassells P 1989. The screw-worm fly Chrysomya bezziana Villeneuve (Diptera, Calliphoridae) in a sterile insect release trial in Papua New Guinea. Researches on Population Ecology, 31. 353-342.

Spradbery JP 1990. Australian Screwworm Fly Unit. Manual of Operations. Canberra, CSIRO Division of Entomology Technical Report. No. 49.

Spradbery JP 1991. A Manual for the Diagnosis of Screwworm Fly. CSIRO Division of Entomology. Canberra. Australia.

Spradbery JP, Tozer RS and Pound AA 1991. The efficacy of insecticides against the screwworm fly (Chrysomya bezziana). Australia Veterinary Journal. 62, 311-314.

Sukarsih, Partoutomo S, Satria E, Eisemann CH and Willadsen P 1999. Pengembangan vaksin myasis, Deteksi in vitro respon kekebalan protektif antigen protein Peritrophic Membrane, pelet dan supernatan larva L1 lalat Chrysomya bezziana pada domba. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner. 4 (3), 202-208.

Sukarsih, Partoutomo S, Weijffels G and Willadsen P 2000b. Vaccination trials in sheep againts Chrysomya bezziana larvae using the recombinant peritrophin Antigens Cb 15, Cb 42, and C 48. JITV. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner Special Edition. 5 (3), 192-196.

Urech R. Green PE, Brown GW, Wardhana AH, Sukarsih, Tozer RS and Spradbery JP 2002. Improvement to screwworm fly surveillance traps. In Proceedings of screwworm fly emergency preparedness conference Canberra. Departement of agriculture fisheries and forestry Australia. OCVO, Canberra, 12-13 November 2001, 120 - 129.

Wardhana AH, Muharsini S and Suhardono 2003a. Koleksi dan kejadian myasis yang disebabkan oleh Old World Screwworm Fly, Chrysomya bezziana di daerah endemik di Indonesia. In Prosiding Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner 2003. Bogor, 29-30 September 2003. 235-239.

Wardhana AH, Muharsini S and Suhardono. 2003b. Studi biologi Chrysomya bezziana (Diptera, Calliphoridae) dalam kondisi laboratorium. Prosiding Seminar Teknologi Peternakan dan Veteriner 2003. Bogor, 29-30 September 2003. 230-234.

Wardhana AH, Widyastuti E, Wiratmana AWA, Muharsini S and Darmono. 2004a. Uji efikasi ekstrak heksan daging biji srikaya (Annona squamosa L) terhadap pertumbuhan larva lalat Chrysomya bezziana secara in vitro. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner, 9 (4), 272-285.

Wardhana AH and Muharsini S 2004b. Studi pupa lalat penyebab Myiasis di Indonesia, Chrysomya bezziana. In Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor. 4 - 5 Agustus 2004, 702-709.

Wardhana AH and Muharsini S 2005. Kasus Myasis yang disebabkan oleh Chrysomya bezziana di Pulau Jawa. Dalam, Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 12 - 13 September. 2005, 1078-1084.

Wardhana AH 2006. Chrysomya bezziana, the cause of myiasis on animal and human, Problem and control. Wartazoa, Indonesian Bulletin of Animal Science. 16 (3), 146-159.

Wardhana AH, Kumarasinghe SPW, Arawwawala LDAM and Arambewela LSR 2007. Larvacidal efficacy of essential oil of betel leaf (Piper betle) on the larvae of the old world screwworm fly, Chrysomya bezziana in vitro. Indian Journal of Dermatology. 52 (1), 43-47.www.forestryimages.org www.seabrookeleckie.com