Sinonim: gudigan, budug, kudis, mange.
A. PENDAHULUAN
Scabies atau kudis adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi tungau Sarcoptes scabiei dan bersifat zoonosis. Penyakit ini telah dikenal sejak lama, yaitu ketika Bonoma dan Cestoni mampu mengilustrasikan sebuah tungau sebagai penyebab scabies pada tahun 1689. Literatur lain menyebutkan bahwa scabies telah diteliti pertama kali oleh Aristotle dan Cicero dengan menyebutnya sebagai “lice in the flesh”. Sejauh ini dilaporkan terdapat lebih dari empat puluh spesies dari tujuh belas famili dan tujuh ordo mamalia yang dapat terserang scabies, termasuk manusia, ternak dan hewan kesayangan (pet animal) maupun hewan liar (wild animal). Angka kejadian skabies pada manusia diperkirakan mencapai tiga ratus juta orang per tahun.
B. ETIOLOGI
Penyakit skabies disebabkan oleh berbagai jenis tungau atau kudis. Tungau merupakan arthropoda yang masuk dalam kelas Arachnida, sub kelas Acarina, ordo astigmata, dan famili Sarcoptidae. Contoh tungau (acariformis) astigmata adalah Sarcoptes scabiei, Psoroptes ovis, Notoedres cati, Chorioptes sp, dan Otodectes cynotys. Notoedres sp. dan Chonoptes sp. umumnya menyerang kambing dan domba, namun terkadang dapat pula menyerang kerbau, sapi dan kuda. Sementara Notoedres sp. umumnya menyerang kelinci dan terkadang kucing.
C. EPIDEMIOLOGI
1. Siklus Hidup
Infestasi diawali dengan tungau betina atau nimfa stadium kedua yang aktif membuat liang di epidermis atau lapisan tanduk. Di liang tersebut, sarcoptes meletakkan telurnya. Telur tersebut akan menetas dalam 3-4 hari, lalu menjadi larva berkaki 6. Dalam kurun waktu 1-2 hari larva akan berkembang menjadi nimfa stadium I dan II yang berkaki 8. Kemudian tungau akan berkembang menjadi dewasa dan mampu berkembang biak dalam 2-4 hari.
Scabies atau kudis adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh infestasi tungau Sarcoptes scabiei dan bersifat zoonosis. Penyakit ini telah dikenal sejak lama, yaitu ketika Bonoma dan Cestoni mampu mengilustrasikan sebuah tungau sebagai penyebab scabies pada tahun 1689. Literatur lain menyebutkan bahwa scabies telah diteliti pertama kali oleh Aristotle dan Cicero dengan menyebutnya sebagai “lice in the flesh”. Sejauh ini dilaporkan terdapat lebih dari empat puluh spesies dari tujuh belas famili dan tujuh ordo mamalia yang dapat terserang scabies, termasuk manusia, ternak dan hewan kesayangan (pet animal) maupun hewan liar (wild animal). Angka kejadian skabies pada manusia diperkirakan mencapai tiga ratus juta orang per tahun.
B. ETIOLOGI
Penyakit skabies disebabkan oleh berbagai jenis tungau atau kudis. Tungau merupakan arthropoda yang masuk dalam kelas Arachnida, sub kelas Acarina, ordo astigmata, dan famili Sarcoptidae. Contoh tungau (acariformis) astigmata adalah Sarcoptes scabiei, Psoroptes ovis, Notoedres cati, Chorioptes sp, dan Otodectes cynotys. Notoedres sp. dan Chonoptes sp. umumnya menyerang kambing dan domba, namun terkadang dapat pula menyerang kerbau, sapi dan kuda. Sementara Notoedres sp. umumnya menyerang kelinci dan terkadang kucing.
C. EPIDEMIOLOGI
1. Siklus Hidup
Infestasi diawali dengan tungau betina atau nimfa stadium kedua yang aktif membuat liang di epidermis atau lapisan tanduk. Di liang tersebut, sarcoptes meletakkan telurnya. Telur tersebut akan menetas dalam 3-4 hari, lalu menjadi larva berkaki 6. Dalam kurun waktu 1-2 hari larva akan berkembang menjadi nimfa stadium I dan II yang berkaki 8. Kemudian tungau akan berkembang menjadi dewasa dan mampu berkembang biak dalam 2-4 hari.
Gambar 1. Siklus hidup S.scabiei |
2. Sifat Alami Agen
Tidak seperti pada tungau lainnya, tungau scabies mampu menerobos stratum corneum kulit. Tungau dewasa bertelur pada tempat terobosan tadi dan setiap tungau menghasilkan telur antara 2-3 telur setiap hari, dengan masa bertelur sampai 2 bulan,selanjutnya tungau betina tersebut mati setelah bertelur.
Tungau S.scabiei diketahui sangat peka terhadap keadaan lingkungan. Di luar tubuh inang, pada kondisi lingkungan yang kering, tungau hanya dapat bertahan hidup selama 2-3 minggu, terkadang dapat sampai 8 minggu. Pada kondisi kering tersebut, telurnya mempunyai daya tetas sampai dengan 6 hari, dan sekitar 6 minggu dalam kondisi lingkungan yang lembab.
3. Spesies Rentan
Tungau Sarcoptes dapat menyerang berbagai spesies hewan, yaitu sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, babi, anjing, kucing, kera, unta, serigala, beruang, hyena, musang, wombat, dan coyote. Nampak bahwa S.scabiei memiliki cakupan inang (host range) yang sangat luas atau dengan kata lain ia tidak memiliki spesifitas inang. Manusia, umumnya anak-anak, dapat tertular skabies yang berasal dari hewan.
Hewan muda umumnya lebih peka terhadap skabies dibandingkan dengan hewan dewasa. Faktor predisposisi pada inang yang ikut memperparah gejala klinis skabies, antara lain kekurangan vitamin A, kekurangan protein, infestasi parasit atau penyakit lainnya.
4. Cara Penularan
Penularan scabies terutama terjadi secara kontak, baik antar hewan piaraan, maupun antara hewan piaraan dan hewan liar yang menderita scabies. Penyakit scabies pada suatu peternakan umumnya terjadi akibat masuknya hewan penderita sub-klinis (belum terlihat gejalanya) ke peternakan tersebut, atau hewan penderita dalam stadium awal penyakit.
Di samping itu, penularan dapat pula terjadi melalui alat peternakan yang tercemar tungau Sarcoptes, walaupun tungau ini hanya mampu bertahan hidup dalam waktu yang relatif singkat di luar tubuh inang.
D. PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala Klinis
Masa inkubasi bervariasi antara 10-42 hari. Pada awal infestasi, kulit mengalami erithema, kemudian akan berlanjut dengan terbentuknya papula, vesikula dan akhimya terjadi peradangan yang diikuti oleh pembentukan eksudat karena adanya iritasi. Hewan penderita tampak gelisah karena rasa gatal, menggaruk atau menggesek tubuhnya sehingga terjadi luka dan perdarahan. Eksudat mengendap pada permukaan kulit dan terbentuk keropeng atau kerak.
Proses selanjutnya, akan terjadi keratinasi dan proliferasi yang berlebihan dari jaringan ikat sehingga menyebabkan penebalan kulit dan pengkeriputan. Perubahan ini akan mengakibatkan kerontokan bulu yang pada seluruh permukaan tubuh. Nafsu makan penderita terganggu sehingga menjadi kekurusan dan akhirnya mati karena kurang gizi (malnufisi). Apabila pengobatan tidak dilakukan secara tuntas, maka sering terjadi infeksi sekunder akibat bakteri atau jamur sehingga timbul abses dan bau busuk. Pada hewan muda, angka kematian dapat mencapai lebih dari 50 % bila diikuti oleh infeksi sekunder.
2. Patologi
Tidak ada lesi yang khas kecuali adanya jejas pada kulit.
3. Diagnosa
Diagnosa dapat ditetapkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan kerokan kulit. Kerokan kulit diambil pada bagian sekitar lesi, dan kulit dikerok hingga sedikit berdarah. Hasil kerokan diletakkan pada kaca objek dan ditetesi KOH 10 %, kemudian ditutup dengan kaca penutup. Setelah 15 menit, preparat kemudian diamati di bawah mikroskop.
Tes tinta pada terowongan di dalam kulit dilakukan dengan cara menggosok papula menggunakan ujung pena yang berisi tinta. Papula yang telah tertutup dengan tinta didiamkan selama dua puluh sampai tiga puluh menit, kemudian tinta diusap/dihapus dengan kapas yang dibasahi alkohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig-zag. Visualisasi terowongan yang dibuat tungau juga dapat dilihat menggunakan mineral oil atau flourescence tetracycline test.
4. Diagnosa Banding
Dermatitis yang disebabkan oleh jamur, dan kadang sulit dibedakan dengan demodecosis tipe skuamosa (pada anjing).
E. PENGENDALIAN
1. Pengobatan
Penderita scabies dapat diobati secara langsung mengenai kulit (perendaman/dipping, disikat/brushing, penyemprotan/spraying), oral dan paranteral. Pengobatan sebaiknya diulang sampai 2-3 kali dengan interval 1-2 minggu, untuk memutuskan siklus hidup tungau.
Obat yang digunakan secara langsung pada kulit antara lain larutan coumaphos 0,1 %, benzena hexa chloride (1 % larutan yang berisi serbuk BHC dengan kadar 0,625 %), emulasi benzyl benzoate 25 %, kombinasi benzyl berzoate dan BHC, phosmet 20 %, odylen 20 % (dimenthyl-diphenylene disulphide), lindane 20 %, amitraz 0,1 %, malathion, phoxim.
Mengingat lokasi tungau Sarcoptes berada di dalam kulit, maka pengobatan agak sulit dan membutuhkan kesabaran. Pada kasus yang sudah lanjut, keropeng yang tebal dapat menghambat penetrasi akarisida. Hasil yang baik baru diperoleh bila keropeng tersebut dibersihkan terlebih dahulu, namun hal ini kurang praktis di lapangan.
Obat yang bersifat sistemik dan cukup ampuh adalah ivermectin, diberikan secara subkutan dengan dosis 200 mg/kg bb. Secara oral, ivermectin tablet diberikan dengan dosis 100-200 mg/kg bb setiap hari selama 7 hari.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
Tidak seperti pada tungau lainnya, tungau scabies mampu menerobos stratum corneum kulit. Tungau dewasa bertelur pada tempat terobosan tadi dan setiap tungau menghasilkan telur antara 2-3 telur setiap hari, dengan masa bertelur sampai 2 bulan,selanjutnya tungau betina tersebut mati setelah bertelur.
Tungau S.scabiei diketahui sangat peka terhadap keadaan lingkungan. Di luar tubuh inang, pada kondisi lingkungan yang kering, tungau hanya dapat bertahan hidup selama 2-3 minggu, terkadang dapat sampai 8 minggu. Pada kondisi kering tersebut, telurnya mempunyai daya tetas sampai dengan 6 hari, dan sekitar 6 minggu dalam kondisi lingkungan yang lembab.
3. Spesies Rentan
Tungau Sarcoptes dapat menyerang berbagai spesies hewan, yaitu sapi, kerbau, kambing, domba, kuda, babi, anjing, kucing, kera, unta, serigala, beruang, hyena, musang, wombat, dan coyote. Nampak bahwa S.scabiei memiliki cakupan inang (host range) yang sangat luas atau dengan kata lain ia tidak memiliki spesifitas inang. Manusia, umumnya anak-anak, dapat tertular skabies yang berasal dari hewan.
Hewan muda umumnya lebih peka terhadap skabies dibandingkan dengan hewan dewasa. Faktor predisposisi pada inang yang ikut memperparah gejala klinis skabies, antara lain kekurangan vitamin A, kekurangan protein, infestasi parasit atau penyakit lainnya.
4. Cara Penularan
Penularan scabies terutama terjadi secara kontak, baik antar hewan piaraan, maupun antara hewan piaraan dan hewan liar yang menderita scabies. Penyakit scabies pada suatu peternakan umumnya terjadi akibat masuknya hewan penderita sub-klinis (belum terlihat gejalanya) ke peternakan tersebut, atau hewan penderita dalam stadium awal penyakit.
Di samping itu, penularan dapat pula terjadi melalui alat peternakan yang tercemar tungau Sarcoptes, walaupun tungau ini hanya mampu bertahan hidup dalam waktu yang relatif singkat di luar tubuh inang.
D. PENGENALAN PENYAKIT
1. Gejala Klinis
Masa inkubasi bervariasi antara 10-42 hari. Pada awal infestasi, kulit mengalami erithema, kemudian akan berlanjut dengan terbentuknya papula, vesikula dan akhimya terjadi peradangan yang diikuti oleh pembentukan eksudat karena adanya iritasi. Hewan penderita tampak gelisah karena rasa gatal, menggaruk atau menggesek tubuhnya sehingga terjadi luka dan perdarahan. Eksudat mengendap pada permukaan kulit dan terbentuk keropeng atau kerak.
Proses selanjutnya, akan terjadi keratinasi dan proliferasi yang berlebihan dari jaringan ikat sehingga menyebabkan penebalan kulit dan pengkeriputan. Perubahan ini akan mengakibatkan kerontokan bulu yang pada seluruh permukaan tubuh. Nafsu makan penderita terganggu sehingga menjadi kekurusan dan akhirnya mati karena kurang gizi (malnufisi). Apabila pengobatan tidak dilakukan secara tuntas, maka sering terjadi infeksi sekunder akibat bakteri atau jamur sehingga timbul abses dan bau busuk. Pada hewan muda, angka kematian dapat mencapai lebih dari 50 % bila diikuti oleh infeksi sekunder.
2. Patologi
Tidak ada lesi yang khas kecuali adanya jejas pada kulit.
3. Diagnosa
Diagnosa dapat ditetapkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan kerokan kulit. Kerokan kulit diambil pada bagian sekitar lesi, dan kulit dikerok hingga sedikit berdarah. Hasil kerokan diletakkan pada kaca objek dan ditetesi KOH 10 %, kemudian ditutup dengan kaca penutup. Setelah 15 menit, preparat kemudian diamati di bawah mikroskop.
Tes tinta pada terowongan di dalam kulit dilakukan dengan cara menggosok papula menggunakan ujung pena yang berisi tinta. Papula yang telah tertutup dengan tinta didiamkan selama dua puluh sampai tiga puluh menit, kemudian tinta diusap/dihapus dengan kapas yang dibasahi alkohol. Tes dinyatakan positif bila tinta masuk ke dalam terowongan dan membentuk gambaran khas berupa garis zig-zag. Visualisasi terowongan yang dibuat tungau juga dapat dilihat menggunakan mineral oil atau flourescence tetracycline test.
4. Diagnosa Banding
Dermatitis yang disebabkan oleh jamur, dan kadang sulit dibedakan dengan demodecosis tipe skuamosa (pada anjing).
E. PENGENDALIAN
1. Pengobatan
Penderita scabies dapat diobati secara langsung mengenai kulit (perendaman/dipping, disikat/brushing, penyemprotan/spraying), oral dan paranteral. Pengobatan sebaiknya diulang sampai 2-3 kali dengan interval 1-2 minggu, untuk memutuskan siklus hidup tungau.
Obat yang digunakan secara langsung pada kulit antara lain larutan coumaphos 0,1 %, benzena hexa chloride (1 % larutan yang berisi serbuk BHC dengan kadar 0,625 %), emulasi benzyl benzoate 25 %, kombinasi benzyl berzoate dan BHC, phosmet 20 %, odylen 20 % (dimenthyl-diphenylene disulphide), lindane 20 %, amitraz 0,1 %, malathion, phoxim.
Mengingat lokasi tungau Sarcoptes berada di dalam kulit, maka pengobatan agak sulit dan membutuhkan kesabaran. Pada kasus yang sudah lanjut, keropeng yang tebal dapat menghambat penetrasi akarisida. Hasil yang baik baru diperoleh bila keropeng tersebut dibersihkan terlebih dahulu, namun hal ini kurang praktis di lapangan.
Obat yang bersifat sistemik dan cukup ampuh adalah ivermectin, diberikan secara subkutan dengan dosis 200 mg/kg bb. Secara oral, ivermectin tablet diberikan dengan dosis 100-200 mg/kg bb setiap hari selama 7 hari.
2. Pelaporan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan
a. Tindakan Pelaporan
Disarankan agar peternak tidak mememperjualbelikan hewan yang diketahui menderita scabies, karena hal tersebut dapat mempercepat perluasan penyakit.
b. Pencegahan
Jaga kebersihan kandang dan lingkungannya, awasi secara cermat ternak yang masuk ke dalam peternakan, dan populasi ternak (densitas) agar disesuaikan dengan luas lahan/kandang yang tersedia, sehingga tidak terlalu padat.
c. Pengendalian dan Pemberantasan
Tindakan pengendalian yang terpenting adalah manajemen pengobatan dan penggunaan obat yang tepat, serta pengawasan yang ketat terhadap lalu lintas hewan penderita, baik klinis maupun subklinis. Di samping itu, perhatian juga harus ditujukan terhadap induk dan pejantannya. Pejantan yang menderita scabies dapat menulari induk, dan selanjutnya induk dapat menulari anaknya.
Tindakan pemberantasan scabies pada peternakan yang bersifat intensif (pada satu pemilik peternakan) akan mudah dilakukan, yang ditunjukkan oleh banyaknya laporan keberhasilan yang sangat memuaskan. Sebaliknya, tindakan pemberantasan pada suatu daerah dengan pola peternakan tradisional, hasilnya seringkali kurang memuaskan, karena infeksi ulang dapat kembali terjadi, sehubungan dengan kurangnya pengawasan terhadap lalu lintas ternak.
Perlakuan Pemotongan Hewan dan Daging
Hewan penderita scabies dapat dipotong dan dagingnya dapat dikonsumsi, setelah bagian kulit yang rusak dibuang atau dimusnahkan dengan pembakaran.
Disarankan agar peternak tidak mememperjualbelikan hewan yang diketahui menderita scabies, karena hal tersebut dapat mempercepat perluasan penyakit.
b. Pencegahan
Jaga kebersihan kandang dan lingkungannya, awasi secara cermat ternak yang masuk ke dalam peternakan, dan populasi ternak (densitas) agar disesuaikan dengan luas lahan/kandang yang tersedia, sehingga tidak terlalu padat.
c. Pengendalian dan Pemberantasan
Tindakan pengendalian yang terpenting adalah manajemen pengobatan dan penggunaan obat yang tepat, serta pengawasan yang ketat terhadap lalu lintas hewan penderita, baik klinis maupun subklinis. Di samping itu, perhatian juga harus ditujukan terhadap induk dan pejantannya. Pejantan yang menderita scabies dapat menulari induk, dan selanjutnya induk dapat menulari anaknya.
Tindakan pemberantasan scabies pada peternakan yang bersifat intensif (pada satu pemilik peternakan) akan mudah dilakukan, yang ditunjukkan oleh banyaknya laporan keberhasilan yang sangat memuaskan. Sebaliknya, tindakan pemberantasan pada suatu daerah dengan pola peternakan tradisional, hasilnya seringkali kurang memuaskan, karena infeksi ulang dapat kembali terjadi, sehubungan dengan kurangnya pengawasan terhadap lalu lintas ternak.
Perlakuan Pemotongan Hewan dan Daging
Hewan penderita scabies dapat dipotong dan dagingnya dapat dikonsumsi, setelah bagian kulit yang rusak dibuang atau dimusnahkan dengan pembakaran.
F. DAFTAR PUSTAKA
Anonim 1981. Pedoman Pengendalian Penyakit Hewan Menular. Jilid 3. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian, Jakarta, halaman: 78-83.
Anonim. 2012. Scabies.http://en.wikipedia.org/wiki/Scabies [22 Oktober 2012] Abu-Samra MT, Hago BED, Aziz MA and Awad FW 1981. Sarcoptic Mange in Sheep in the Sudan. Annals of Tropical Medicine and Parasitology 75: 639-645.
Airlian LG and Vyszenki-Moher DL 1988. Life Cycle of Sarcoptes scabiei var canis. Journal of Parasitology 74- 427-430.
Kementan, 2014. Manual Penyakit Hewan Mamalia
Morsy GH, Turek JJ and Gaafar SM 1989. Scanning Electron Microscopy of Sarcoptic Mange Lesions in Swine. Veterinary Parasitology 31: 281- 288.
Putra AAG 1994. Kajian Epidemiokogi dan Kerugian Ekonomi Scabies. Buletin Sains Veteriner X (26): 88-109.
Wardhana, A. H., Manurung, J dan T. Iskandar. 2006. Skabies: Tantangan Penyakit Zoonosis Masa Kini dan Masa Datang. Wartazoa. 16 (1). 40-52.
Putra AAG 1994. Kajian Epidemiokogi dan Kerugian Ekonomi Scabies. Buletin Sains Veteriner X (26): 88-109.
Wardhana, A. H., Manurung, J dan T. Iskandar. 2006. Skabies: Tantangan Penyakit Zoonosis Masa Kini dan Masa Datang. Wartazoa. 16 (1). 40-52.